Bumi Manusia dan Pembaca yang Boro-Boro Nonton, Sudah Buru-Buru Kecewa

MOJOK.COKecewa ketika menonton film yang diangkat dari buku adalah hal biasa. Tapi, kecewa bahkan sebelum filmnya dibuat? Seposesif itukah para pembaca Bumi Manusia?

Sudah lama sekali saya mendengar berita bahwa Bumi Manusia akan difilmkan. Sepertinya sudah lebih dari 10 tahun lalu. Proyek ini juga sudah pindah tangan dari sineas satu ke sineas lainnya. Seperti tebak-tebak buah manggis, siapa yang bisa bikin film ini paling manis? Beberapa nama seperti Riri Riza dan Anggi Umbara kabarnya pernah mencoba memegang proyek ini, tetapi belum berjodoh. Lebih baik menunggu orang yang tepat untuk bisa merealisasikan karya sastra ini ke layar lebar ketimbang jadi proyek abrakadabra yang digarap tergesa-gesa.

Tetapi, ternyata waktu lebih dari 10 tahun pun bagi netizen dirasa kurang lama untuk menentukan siapa yang paling pantas menggarap film Bumi Manusia. Buktinya, Hanung yang segitu masternya di bidang film masih banyak diprotes. Kenapa musti Hanung sih? Dia kan anu, anu, anu. Dia nggak akan bisa menangkap esensi Bumi Manusia! Terus… yang bisa mendapat esensi Bumi Manusia siapa, dong? Sebutkan nama! Kasih nama itu ke Falcon Pictures, saya yakin mereka punya jawaban kenapa tidak memilih nama itu sebagai sutradara Bumi Manusia.

Kenapa harus ke Falcon? Kenapa nggak dipilih suara terbanyak aja kayak pemilu? Kamu pikir bikin film itu kayak negara, dibiayai pakai pajak bersama? Sorry to say ya, gaes, but film is business. Mau seidealis apa pun materi yang diangkat, ya… business is business. Apalagi film sebesar Bumi Manusia, sudah jelas ini bukan film murah yang bisa digarap cuma dengan uang semiliar dua miliar.

Buku, terutama fiksi, adalah wahana bebas bagi penulis untuk bisa mengungkapkan apa pun, sepanjang apa pun, sebanyak-banyaknya tokoh, setua-tuanya setting waktu, seunik-uniknya setting tempat, dengan media yang sangat sederhana: alat tulis dan imajinasi.

Tetapi, tidak demikian dengan film. Modalnya jauh lebih besar dari sekadar token listrik, rokok, dan kopi yang membuat mata penulisnya melek semalaman buat ngetik. Film membutuhkan seabrek kru dan pemain, seperangkat properti, sebidang lokasi yang meyakinkan, penulis skenario yang cerdas, dan sutradara bermental baja yang bisa menjadi jenderal lapangan.

Ada beban besar ketika film diangkat dari karya sastra. Oleh sebab itulah, semua film yang dialihwahanakan dari media apa pun selalu berutang pada media aslinya. Selalu ada bagian buku yang tidak tertangkap oleh kamera.

Jika Pram masih hidup, dia juga harus bersiap-siap sakit hati bukunya “dicacah-cacah” menjadi skenario oleh Salman Aristo. Sebab, ada kemungkinan bagian cerita yang menurutnya penting justru tidak bisa dimasukkan ke adegan film. Atau mungkin penggambaran satu adegan sangat detil di buku, tetapi tidak bisa diantarkan dengan baik oleh Hanung Bramantyo.

Sebagai penulis skenario, saya pribadi lebih suka menulis cerita yang sama sekali baru ketimbang mengangkat dari buku. Sebab, saya tahu pasti ada kemungkinan penulis bukunya akan kecewa. Tapi, itulah film, bahkan dengan dana miliaran pun, masih banyak kemungkinan karya itu tidak terakomodasi dengan baik sebagai film. Ketika seorang penulis menyerahkan karyanya untuk dialihwahanakan, dia sudah harus siap dengan segala konsekuensi itu. Kalau tidak yakin, ya jangan mau diangkat ke layar lebar. Sesederhana itulah pilihannya.

***

Selain Hanung, yang paling diprotes tentu saja Iqbaal Ramadhan. Dunia ini memang ibarat roda, muter terus, sebentar di atas, sebentar di bawah. Baru kemarin Iqbaal dipuji-puji memainkan peran Dilan. Sekarang, bahkan filmnya belum jadi pun ia sudah dihujat. Kok Iqbaal? Kok nggak Reza Rahadian, Adipati Dolken, atau Nicholas Saputra?

Semua pembaca Bumi Manusia punya imajinasi sendiri seperti apa sosok Minke. Sebagai penulis sastra, saya paham itu. Minke adalah pria pribumi yang menonjol di antara orang-orang Belanda, sesuatu yang istimewa dalam situasi kolonial. Pikirannya merdeka, sikapnya tak tunduk pada keangkuhan kulit putih.

Saya tahu saya akan diprotes karena ngomong ini, tapi saya harus jujur: saya adalah orang yang setuju dengan pilihan Iqbaal Ramadhan sebagai Minke.

Kenapa? Mari kita lihat karakter Minke dalam novel Bumi Manusia. Di pembukaan novel, Minke adalah pemuda lulusan Hollandsche Inlandsche School (HIS) yang kira-kira pada masa itu setingkat SMA. Jadi, usia Minke + 18 tahun. Dibandingkan Reza Rahadian (lahir 1987), Adipati Dolken (1991), Nicholas Saputra (1984), usia Iqbaal Ramadhan (lahir 1999) adalah yang paling pas dengan tokoh Minke. Namanya yang tengah naik daun tentu tidak luput dari pertimbangan.

Memang, perannya sebagai Minke belum terbukti lebih bagus dibanding Reza Rahadian yang sudah lebih dahulu memerankan Minke di teater Bunga Penutup Abad. Tetapi, setidaknya kita semua tahu dia punya kemampuan akting yang cukup baik di film sebelumnya. Saya yakin, Hanung pasti tak akan membiarkan Iqbaal membawa Dilan ke dalam Bumi Manusia. Tidak ada sutradara andal yang akan membiarkan hal semendasar itu terlewat, bukan?

Lagi pula, tidak adil jika kita mengadili Iqbaal tanpa memberi diri sendiri kesempatan menonton langsung seperti apa aktingnya. Dengan banyaknya keraguan netizen serta komentar ngotot bahwa Dilan yang sangat berbeda karakter dari Minke, Iqbaal akan berusaha keras menghapus ke-Dilan-annya.

Belum lagi Nyai Ontosoroh, perempuan Indonesia mana yang tidak ingin jadi dia? Perempuan mandiri, bisa memimpin, cantik, kaya, pintar, dan feminis. Jika Minke istimewa, Nyai Ontosoroh jauh lebih spesial. Sebab, ini harus digarisbawahi, dia hidup di masa penjajahan ketika laki-laki pribumi sekalipun masih berada di bawah kaki meneermeneer Belanda. Sekeren itulah Nyai Ontosoroh. Tidak heran Happy Salma sampai jatuh cinta pada karakter ini sampai-sampai ia mengalihwahanakannya ke teater.

Salah satu teater produksi Happy Salma yang saya tonton dan diangkat dari Tetralogi Pulau Buru adalah “Bunga Penutup Abad”. Happy Salma memerankan Nyai Ontosoroh, Chelsea Islan sebagai Annelies, dan Reza Rahadian sebagai Minke.

Saya yakin, Falcon Pictures sudah mempertimbangkan para aktor di atas, yang namanya jelas bukan ecek-ecek. Tetapi, kenapa tidak ada satu pun dari mereka yang nyantol? Sha Ine Febriyanti justru terpilih memerankan Nyai Ontosoroh. Tak perlu meragukan kemampuan akting Ine. Dia aktif di teater dan tahun 2016 perannya di film Nay memenangkan sejumlah penghargaan Pemeran Utama Wanita Terbaik.

Yang paling unik bagi saya justru terpilihnya Mawar Eva de Jongh sebagai Annelies. Gadis ini adalah pesinetron yang sebelumnya lebih sering mendapat peran di FTV. Instagramnya diikuti 577k follower, belum terlalu banyak untuk ukuran artis. Tetapi, mungkin memang di situ poinnya: wajah baru di perfilman. Bukankah itu yang selalu digembar-gemborkan netizen? Bosan ah artisnya si itu lagi. Nih, dikasih deh yang seger-seger.

***

Saya lupa kapan tepatnya membaca Bumi Manusia kali pertama, yang jelas masih versi Hasta Mitra (1980). Itu pun boleh pinjam. Inilah buku yang di masa Orde Baru dikategorikan terlarang, kalau ketahuan punya, bukunya akan dibakar. Satu buku yang selamat akan disimpan kayak jimat, lalu beredar diam-diam untuk dibaca bergantian. Mau baca bukunya saja ketika itu sudah drama banget.

Setelah Reformasi, penerbit Lentera Dipantara mencetak ulang semua karya Pram dengan kover yang lebih menarik. Novel Bumi Manusia mulai dijual terbuka.

Teman-teman saya di Facebook kebanyakan adalah orang-orang yang satu generasi dengan saya. Generasi yang pernah merasakan belenggu Orde Baru, protes di jalan, pembakaran buku, dan… mencuri baca Bumi Manusia dengan adrenaline rush yang mengalir hebat (mungkin itulah mengapa pembaca Pram bisa seposesif itu).

Coba sekarang kita lihat FB-nya si Tasya, Andrew, Erika, dan para milenial atau gen Z lain yang hidupnya asyik-asyik aja. Mereka lebih kalem. Mereka nggak ngerti kenapa sih yang tua-tua ini pada protes? Cuma satu yang mereka tunggu: nonton Iqbaal Ramadhan di film lagi. Dengan komposisi pemain seperti di atas, merekalah target penonton yang sesungguhnya. Film ini menjadi media penting perkenalan antara generasi milenial dan generasi Z dengan Minke yang hidup di era kolonialisme.

Dan itulah yang saya tunggu: momen ketika anak-anak yang jarinya lincah mengeklik dan menggeser layar smartphone di mana pun dan kapan pun, anak-anak yang sebelumnya tidak kenal siapa itu #PramoedyaAnantaToer, akan mengutip #quote pamungkas #BumiManusia yang berbunyi, “Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Jika itu terjadi, film ini bisa dipastikan berhasil.

Exit mobile version