Honda Astrea, Vespa dan Bisnis Motor Tua yang Harganya Nggak Masuk Akal

Honda Astrea dan Vespa merupakan merek motor yang akhir-akhir ini kembali naik daun. Seperti bisnis barang klangenan lainnya, motor-motor keluaran lama ini dijual dengan harga suka-suka. Ada pemodal besar yang bermain hingga harga menjadi nggak masuk akal.

****

Motor klasik memang menjadi tren akhir-akhir ini. Beberapa waktu lalu ada gempuran Vespa yang membuat semua orang merasa ingin memilikinya. Tak sedikit teman saya yang latah dan ikut membeli vespa. Ketika gelombang vespa mulai redup, kini tampak tren baru. Honda Astrea mulai digandrungi banyak orang. Penasaran dengan fenomena ini, saya berkesempatan menemui beberapa orang yang terlibat di balik tren ini.

Saya mengenal Ihsan (22) sudah lumayan lama sejak kami bertemu di kedai kopi sekitar Universitas Gajah Mada. Ia adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM, yang kesehariannya beraktivitas menggunakan mobil Ford Fiesta tahun 2011. Namun, suatu waktu ia datang menggunakan motor jadul Honda Astrea tahun 1985. Saya belum sempat ngobrol banyak perihal motor tuanya, dan ketika hendak mengajaknya ketemuan di kedai kopi di lain hari, ia sudah berada di Jakarta. Jadilah saya menghubungi Ihsan via zoom pada 03 April 2021 lalu.

Honda Astrea, mesin waktu yang bertahan hingga sekarang

Ihsan mengatakan bahwa ia memang sudah lama tertarik dengan motor tua, tetapi tidak mengkhususkan jenis motor tertentu. Ketika ia datang ke salah satu dealer motor klasik di Yogyakarta dan melihat Honda Astrea tahun 1985, ia langsung jatuh cinta dan meminangnya seharga empat juta dua ratus rupiah.

“Mesinnya masih enak. Sparepartnya juga banyak yang ori,” tuturnya melalui sambungan zoom. “Niatnya saya restorasi (pengembalian motor ke kondisi seperti saat pertama kali keluar dari dealer) pelan-pelan. Seadanya duit.” Ia melanjutkan ketika saya singgung akan dirawat seperti apa motornya itu.

Suara lampu sen terdengar dari sambungan zoom, pertanda bahwa Ihsan tengah mengendarai mobilnya ketika kami melakukan perbincangan. “Astrea itu bukan kendaraan transportasi, sih. Bukan transportasi utama lah. Kendaraan santai,” ujarnya ketika saya tanya apakah motor tua itu akan dia gunakan untuk aktivitas sehari-hari.

“Ada kenikmatan tersendiri saat mengendarai Astrea. Jadi teringat Pak Guru zaman SD dulu. Kebanyakan Pak Guru kan naik motor Astrea di sekolah saya,” tutur pria yang lahir di Solo, berdomisili di Jakarta, dan kuliah di Jogja itu.

Saya lantas membahas apakah Astreanya akan dijual seusai restorasi selesai nanti, mengingat harga jual motor tua pascarestorasi bisa mencapai puluhan juta rupiah, tetapi ia menjawab menjual bukanlah tujuannya membeli motor. “Saya beli karena suka, jadi nggak ada niatan dijual kalau memang nggak kepepet. Lagipula restorasi itu kan lama dan mahal, kalau emang nanti harus dijual, harus mikir banyak hal terkait harga, dan tentunya siapa yang mau beli.

Ihsan menegaskan, value utama Astrea adalah pada nilai historisnya. Kenangannya. Maka dari itu, jika ia harus menjual motornya, ia hanya akan menjual ke orang yang benar-benar akan merawat motor itu nantinya. “Harus jual ke orang yang mau ngerawat. Sayang banget kalau nanti malah nggak keurus.”

Ia juga melanjutkan, daya tarik dari Astrea adalah pada kesederhanaannya. “Sederhana banget. Astrea itu juga bebek, tapi bagian depannya itu kekar. Dan nilai historisnya itu juga yang penting banget. Astrea itu ibarat mesin waktu yang masih bertahan sampai sekarang.”

Saya kemudian bertanya ketertarikan Ihsan kepada motor tua lainnya, terutama Vespa yang akhir-akhir ini menjadi primadona di banyak kalangan anak muda. “Sejauh ini belum tertarik Vespa. Ya meski ada ungkapan ‘Semua akan Vespa pada waktunya’, mungkin waktu saya belum tiba. Masih di Astrea sukanya.”

Saya kemudian menggoda Ihsan tentang harga jual Astrea yang tinggi, berkisar enam juta sampai sepuluh juta rupiah. Bisa sampai dua puluhan juta rupiah jika sudah full restorasi, bahkan pada tahun 2020 silam, seorang pria menjual Honda Astrea full ori, masih memiliki plastik di joknya, berkilometer rendah, dan bukan hasil restorasi, seharga seratus juta rupiah. Tetapi sekali lagi Ihsan memang tidak ada niatan untuk menjual dalam waktu dekat. Ia malah lebih berkeinginan menjual Ford Fiesta 2011-nya yang mulai rewel dan membutuhkan perawatan terus menerus.

Bagi komunitas, tidak ada tren Honda Astrea

Saya sempat menanyakan apakah Ihsan ingin bergabung dengan komunitas motor Astrea Jogja atau tidak, dan ia menjawab sebenarnya ada keinginan untuk itu, akan tetapi saat ini ia tengah menjadi koas (co-assistant, fase yang harus ditempuh dokter muda selepas lulus kuliah kedokteran) sehingga akan susah membagi waktu dengan komunitas.

Menyinggung perihal komunitas motor Astrea, saya berkesempatan berkumpul bersama beberapa anggota Astrea Jogja Cycle (AJC) pada malam hari selepas perbincangan saya dengan Ihsan. Berlokasi di sekitar Jalan Kabupaten, saya bertamu ke rumah Hurry (26), salah satu petinggi AJC yang pernah membangkitkan komunitas itu dari mati suri pada 2013 silam.

Saya sampai di rumah Hurry, ngobrol-ngobrol santai sambil menikmati roti bakar rasa stroberi, coklat, dan kacang. Kopi panas yang tidak terlalu pahit pun tak terlalu manis tersaji sebagai penyeimbang udara malam yang begitu dingin. Saya lantas menanyakan perihal tren Honda Astrea yang mulai diminati anak-anak muda, tak luput membahas harga jualnya yang sekarang lumayan tinggi.

“Semua motor itu ada komunitasnya, Mas. Jadi sebenarnya kalau dibilang Astrea sekarang lagi naik daun, bagi saya dan temen-temen komunitas melihatnya enggak seperti itu,” kata pria yang kesehariannya berprofesi sebagai supir pribadi itu.

“Peminatnya selalu ada. Khusus Astrea, kami mewadahi siapa saja yang mau ngumpul bareng dan membangun persaudaraan,” terangnya sambil mengisap rokok Surya Pro, lantas mengembuskan asapnya ke udara lepas. “Tujuan kami itu biar bisa saling bantu. Kalau ada yang ada apa-apa di jalan, bisa langsung umumin di grup WhatsApp, nanti yang lokasinya terdekat bakal bantuin.”

Ketika saya singgung apakah semua yang memiliki motor Astrea bisa bergabung, Hurry menjelaskan beberapa hal yang baru saya ketahui.

“Pada dasarnya AGC ini menaungi semua pemilik motor Honda Astrea. Di tas AGC ada Honda Astrea Club Indonesia (HACI), nah tetapi khusus Astrea Grand, itu ada komunitasnya sendiri. Di Jogja ada, dan itu bukan berpusat ke HACI, tetapi ke IKAGI (Ikatan Astrea Grand Indonesia). HACI dan IKAGI itu dua komuntias yang berbeda. Nah, kalau punya komunitas yang khusus Astrea Grand, nggak bakal nerima anggota dari yang punya motor Astrea selain Grand. Tapi kalo kami, nerima semua anggota dari yang punya Astrea apa saja.”

Hurry lantas menegaskan bahwa untuk resmi menjadi anggota membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun. “Kalau resmi jadi anggota, dapat jaket dan sticker, itu prosesnya bertahun-tahun. Soalnya yang kami lihat itu dia konsisten apa enggak. Kalau cuma sekali atau dua kali ngumpul dan langsung jadi anggota, biasanya nanti setelah itu ngilang.”

Menurut Hurry, selain untuk menguji keseriusan calon anggota, AGC juga harus hati-hati untuk menerima anggota karena akan membawa nama AGC selama berkendara di jalan. “Kami itu harus mengampanyekan berkendara yang baik. Nggak boleh ugal-ugalan, nggak boleh melanggar peraturan lalu lintas, dan tentunya harus punya surat-surat lengkap. Makanya kita nggak bisa asal nerima anggota.”

Meski begitu, sekalipun belum menjadi anggota resmi, siapa saja boleh ikut berkumpul di semua acara yang dilakukan AGC. “Ngumpul setiap Rabu malam di bunderan UGM dan Sabtu malam di Halte Tugu memang harus rutin untuk yang anggota dan yang mau jadi anggota. Di situ bakal kelihatan keseriusannya, kalau cuma ngumpul beberapa kali dan ngilang, ya sudah, ngapain jadi anggota?”

Hurry lantas menegaskan, di sela-sela menikmati roti bakar kacang, bahwa selama pandemi kegiatan ngumpul tidak dilaksanakan. “Nggak bisa ngumpul selama pandemi. Anggotanya juga kebanyakan pulang ke kota asal masing-masing. Sebagian besar anggota itu justru dari luar kota.”

Komunitas Honda Astrea tidak mengenal tren. Foto dok. AGC.
Komunitas Honda Astrea tidak mengenal tren. Foto dok. AGC.

Saya lantas menanyakan apakah di AGC sekaligus melakukan transaksi jual beli motor atau tidak, dan Hurry menegaskan bahwa sebisa mungkin komunitasnya tidak melakukan jual beli. “Kita kan komunitas Astrea, bukan kumpulan pebisnis motor, jadi ya sebisa mungkin malah jangan dijual. Mentok kalo dijual karena butuh duit, sebisa mungkin di lingkup yang masih bisa dipantau. Jadi masih tau motor ada di mana, kondisinya seperti apa, dan kalau ada uang bisa dibeli lagi.”

Sambil menyeruput kopinya, Hurry melanjutkan, “Kalau jual beli sparepart iya, soalnya sparepart sekarang kan susah, wong sudah nggak diproduksi lagi.” Diisapnya lagi Surya Pro yang tinggal setengah batang.

“Biasanya ada yang beli Astrea rusak dari orang, terus daripada diperbaiki dan ngeluarin banyak duit, malah dijualin sparepart-nya. Kalau yang seperti itu ada, dan justru membantu kami kalau mau servis.”

Ketika Hurry mengisap Surya Pro-nya sekali lagi, tangan saya gatal dan sudah tidak tahan untuk mengambil roti bakar rasa cokelat yang sedari tadi tampak melambai-lambai menggoda saya. Sambil mengunyah roti bakar itu, pun mengusap cokelat lumer yang belepotan di mulut saya, saya menanyakan adakah komunitas yang khusus melakukan jual beli Astrea maupun motor tua lainnya.

Hurry lantas menjawab ada komunitas itu di daerah Bantul. Langsung lah saya kepikiran menghubungi teman saya yang berdomisili di sekitar lapangan Paseban untuk menanyakan perihal aktivitas jual beli motor tua di sekitar Bantul.

Malam telah begitu larut ketika saya pamit dari kediaman Hurry. Berat rasanya menyudahi obrolan seru tentang motor tua, pun berat pula berpisah dari roti-roti bakar yang masih tersisa di meja itu, tetapi karena sudah begitu ngantuk, pun agenda esok hari harus menembus jalan Bantul dan menemui teman saya, saya terpaksa untuk undur diri.

Motor tua dan harganya yang menggila

Gilang (25), teman saya yang ternyata paham aktivitas jual beli motor tua, mengajak saya bertemu di rumahnya esok hari. Jadilah saya ngebut mobat-mabit menelusuri jalan bantul di siang hari teramat terik, macet, pun dihadang perbaikan jalan selepas ringroad.

Gilang sendiri memang sedari dulu menyukai motor tua, terutama yang dua tak dan bukan pabrikan Indonesia. Motor-motor build up, yang didatangkan langsung dari luar negeri. Gilang pernah memiliki Yamaha 125Z yang tampangnya tampak biasa saja, tetapi begitu digas, jarak antara Paseban dan Jalan Magelang hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja—tentu saja ini dilebih-lebihkan.

Motor itu akhirnya ia jual seharga lima belas juta rupiah ke kakaknya yang memang pelaku jual beli motor build up, dan ternyata motor itu dijual kakaknya ke orang lain seharga enam puluh juta rupiah.

Di tempat Gilang, ada pula Adok (30) yang sempat aktif melakukan jual beli motor tua dan menjadikannya sebagai sumber penghasilan utamanya. Pria kurus dan jangkung itu mengatakan bisa mendapat untung hingga puluhan juta per satu unit yang ia jual.

“Tetapi syarat saya beli motor itu harus saya suka dulu,” tegasnya ketika saya tanya apakah ia menjual segala jenis motor tua.

“Saya kudu pengin motor itu dulu, saya beli, dan biasanya saya pakai dulu beberapa waktu, baru saya lepas ke orang yang mau beli.”

Adok mengatakan bahwa sangat mudah untuk menjual motor, terutama karena lingkungannya memang kebanyakan penyuka motor tua. “Nggak perlu ngiklan di Facebook atau semacamnya. Saya bikin story di WhatsApp saja, pasti banyak yang nawar,” lanjutnya.

Ia mengatakan, semua motor yang dibelinya, ketika dijual, harus dalam keadaan pajak hidup. “Banyak yang pas saya beli itu pajaknya mati. Karena saya beli itu emang mau dipakai dulu, ya saya hidupin pajaknya.”

Menurutnya, menghidupkan pajak motor tua tidaklah begitu sulit. Semua ada jasanya. Ada biro khusus untuk menghidupkan pajak, sehingga motor dengan plat luar kota bisa dengan mudah dihidupkan. “Kan biro itu bisa nembak KTP juga. Ada harganya sendiri, jasa biro berapa, jasa nembak KTP berapa, dan pajak yang harus dibayar berapa,” terangnya saat saya singgung perihal bagaimana memperpanjang pajak tanpa menggunakan KTP.

Adok juga mengatakan, harga jual motor yang berpajak dan tidak berpajak bisa selisih sampai satu jutaan. “Motor yang sama dengan kondisi yang nggak beda jauh, kalau satu pajaknya hidup dan satu enggak, bisa sampai sejutaan selisihnya.”

Saat saya tanya perihal motor apa yang paling sering ia jual, Adok mengatakan Vespa adalah yang paling laris. “Pada dasarnya saya suka Vespa, makanya sering main di situ. Dulu Vespa itu masih murah-murah, dua jutaan dapet. Jual belinya juga masih gampang. Saat ini Vespa sudah mahal-mahal, dan itu bikin saya prihatin. Pemain kecil seperti saya nggak bisa berbuat banyak. Kalah modal.”

Adok mengatakan bahwa ada pemain besar yang telah memborong begitu banyak Vespa sehingga siapa pun yang ingin beli harus melalui pemain-pemain besar itu. “Ya kan barang ada di mereka. Harga ya harus sesuai sama mereka. Dibikin mahal-mahal. Itu sudah nggak masuk akal, sih.”

Di sisi lain, Adok merasa bahwa media digital juga turut ikut andil dalam melambungnya harga motor-motor tua. “Ada orang yang jual motor lawas harga ratusan juta rupiah, media mengabarkan, lalu pasar terbentuk sendirinya. Gitu lah modelnya.”

Permainan yang didominasi pemodal besar membuat Adok merasa tidak memiliki celah lagi untuk melakukan aktivitas jual belinya, terkhusus untuk motor Vespa. Itulah yang membuatnya terpaksa bekerja menjadi pegawai di sebuah hotel di Jogja.

“Kalau harganya mahal-mahal gitu, nggak kebeli. Nggak kebeli, ya nggak bisa ngejual. Ngejual juga harganya bakal jauh lebih tinggi lagi. Makanya saya berhenti dan milih bekerja saja. Padahal dulu pernah ada transaksi jual yang untungnya sampai dua puluh juta rupiah.”

Adok menceritakan, di tahun 2013, ia masih mudah cari Vespa bekas dengan harga di bawah Rp 5 juta rupiah. “Tiga juta masih dapetlah, sekarang cari Rp 10 juta saja jarang. Rata-rata sudah di atas Rp 20 juta,” katanya.

Adok mengenang masa lalunya ketika memiliki mobil VW Beetle seharga 35 juta rupiah. VW itu lantas ditukar tambah dengan motor BSA seharga 45 juta rupiah. Motor BSA itulah yang kemudian dijual Adok seharga 65 juta rupiah.

“Itu untung banget saya, Mas. Di satu sisi seneng, tapi di sisi lain sedih banget soalnya BSA itu motor keren banget.”

Setelah Adok selesai mengenang motor BSA-nya, saya menanyakan adakah keinginan untuk kembali ke dunia jual beli motor tua. “Kalau sekarang belum ada niatan. Saya punya dua vespa di rumah, sudah banyak yang nawar, tetapi belum mau saya jual. Soalnya kalau saya jual, pas saya pengin punya vespa lagi, saya bakal susah nyarinya, Mas.”

BACA JUGA  Ghosting: Antara Perih Korban dan Kepuasan Pelakunya liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version