Beragama yang Dikit-Dikit Nanya “Dalilnya Mana?”

MOJOK.CO Duh, beragama kok cuma pakai kepala dan ngecekin dalilnya mana? Padahal, beragama itu, kan, juga melibatkan kerja hati, sensitifitas rasa, dan ketajaman intuisi!

Kalis Mardiasih menggerutu. Di kelas Muslimah dan Media Islam yang dia gawangi, satu peserta bertanya: kenapa umat beragama sekarang ingin cari selamat sendiri-sendiri? Kalis kemudian menjelaskan panjang lebar mengenai keberagamaan orang modern yang punya kecenderungan individualis.

Selesai penjelasan berbusa-busa, si peserta menimpali dengan enteng:

“Itu ada dalilnya nggak, ya?”

Iya, rasa-rasanya pertanyaan Dalilnya mana?” makin sering kita temui. Bisa jadi, hal ini karena orang cenderung berhati-hati dalam beragama, atau malah justru karena naif, alias merasa perlu mendasarkan semua perbuatannya melulu kepada dalil agama—yang sumber utamanya ada di Alquran dan sunnah Nabi.

Prinsip serba-dalil itu sendiri sebenarnya menunjukkan cara berpikir orang beragama modern. Sebab, ia terkonstruksi dari nalar keilmuan modern yang mensyaratkan bukti empiris atau kevalidan referensi, setidaknya dalam bentuk teks. Namun celakanya, tradisi modern secara tidak langsung sudah memisahkan antara akal-rasionalitas di satu kotak, lantas memasukkan intuisi dan empati manusia ke dalam kotak yang lain.

Akibatnya, ketika seseorang bertemu dengan satu peristiwa baru, secara otomatis peristiwa ini bakal diukur dengan nalar modern itu, termasuk dalam beragama.

Duh, duh, beragama kok cuma pakai kepala? Padahal, beragama itu, kan, juga melibatkan kerja hati, sensitifitas rasa, dan ketajaman intuisi!

Nah, sekarang ini, manusia modern makin merasa berislam dengan hitungan dan simbol yang harus tampak. Dengan kata lain, mereka ini semacam punya kalkulator pahala yang, ironisnya, sering dipakai buat alat hitung amal orang lain.

Secara sederhana, logikanya begini: aku cari pahala sebanyak-banyaknya, maka aku akan masuk surga. Loh, loh, kok enak betul, Kak? Jangan lupa loh, masih ada yang namanya unsur keberkahan buat sesama manusia di bumi, sekaligus soal rida yang merupakan hak prerogatif Allah untuk menentukan manusia masuk surga.

Namun begitu, perihal “Dalilnya mana?” dan hitung-hitungan amal ini tidak sepenuhnya salah, kok. Dalam Alquran memang disebutkan iming-iming kalkulatif dalam beramal. Contohnya, sedekah jariyah yang pakai “iming-iming” timbangan. Disebutkan, bahwa satu keping yang kita masukkan ke kotak amal itu nanti bercabang jadi 700.

Tapi, masalah dimulai ketika kita menganggap amal sama dengan deretan angka. Padahal, dalam contoh sedekah, ada aspek lain yang tidak kalah penting: apakah sedekah kita benar-benar lahir dari empati? Niatnya ikhlas atau untuk dipertontonkan? Uluran sedekah kita ini menyakiti si penerima atau tidak?

Nah, aspek-aspek inilah yang bikin sedekah terbang ke langit dan diterima Gusti Allah.

Kalau mengabaikan unsur-unsur tadi, salah-salah bisa keblinger. Alhasil, ada saja orang yang nggak terima, misalnya, pas kasir minimarket nyumbang cuma seribu lantaran dianggap merendahkan perjuangan Islam, terus marah, terus main geruduk.

Hal yang sama berlaku juga terkait puasa. Wong tujuannya saja untuk menahan diri dari lapar, dahaga, dan emosi, eh lha kok mencak-mencak melihat warung pecel buka?

Padahal, kan, bisa diingatkan baik-baik, sambil diajak ngobrol, dan minum es teh di siang hari.

Ya, begitulah kalau berislam cuma dari yang tampak. Kuatnya Islam dihitung dari banyaknya masjid dan jumlah aksi. Takbir, kalimat agung itu, memang ditebar di jalanan, tapi kesalehan orang diukur dari dandanannya yang ikut tren syar’i. Enggan makan kalau tidak ada cap halalnya. Sampai deterjen, pasta gigi, bahkan kulkas sekalipun, harus dicap halal supaya mantap dimakan, eh, dipakai.

Kelihatan baik, bukan? Ya betul, kelihatannya saja. Tampak makin berislam, tapi kok makin terasa kering, ya?

Kembali ke perkara dalil. Tahlilan misalnya. Kalau cuma diukur dari dalil, ya sulit. Kanjeng Nabi tidak pernah diriwayatkan mengundang warga untuk bersama-sama mendoakan orang mati, kan? Apalagi pakai makan-makan ingkung ayam dan berkat.

Tapi, apakah ini salah dan layak diharamkan hanya karena nggak ada dalil? Ya nggak gitu juga cara mainnya.

Urutan tahlilan itu dari awal sampai akhir dipenuhi lantunan ayat Alquran dan kalimat thayyibah, loh. Mengundang tetangga, duduk makan bersama—apakah itu tidak mengandung nilai silaturahmi? Seporsi berkat untuk dibawa pulang—apa itu bukan sedekah?

Nah, begini ini, loh. Tampak bidah dari luar, tapi manis dan lembut di dalam.

Tahlilan memang tidak bisa ditemukan di dalil tekstual Alquran dan sunnah. Ya jelas, wong Alquran dan sunnah itu terbatas dan jumlah teksnya segitu-gitu aja. Makanya perlu ada yang namanya Ijma’, yaitu hasil kajian para ahli dan Qiyas, analogi hukum. Jadi tidak bisa sembarangan.

Saya teringat dawuh Kiai Abdul Karim, pengasuh Pesantren Alquran Azzayyady di Solo, ketika sowan tempo hari. Berislam itu tidak hanya selesai dengan sederet pertanyaan “Dalilnya mana?” yang ada di kepala seseorang saja. Wajib hukumnya berislam dengan guru sebagai pembimbing. Gunanya, tentu saja, agar kita bisa mencerna Islam sesuai kadar dan porsi kita masing-masing.

Islam dengan segala tetek bengeknya dari zaman Rasul sampai sekarang ibarat makanan mentah. Untuk mengolahnya, kita memerlukan ilmu, padahal tidak semua orang memiliki hal itu. Maka dari itulah, kita memerlukan guru yang mampu mengupaskan, lalu memberi tahu: yang mana kulit, yang mana biji. Guru yang mampu menakar porsi yang cocok dengan ukuran perut kita.

“Contohnya saja buah duren. Apa kamu mau langsung nglethak kulitnya, sekaligus menelan bijinya?” ujar Gus Karim kepada saya.

Tenang, ini bukan kampanye gerakan Indonesia Tanpa Dalil. Dasar Islam tentu saja tetap ada pada teks Alquran dan sunnah Nabi. Tapi, tentu kita harus paham betul bahwa tidak semua sisi kehidupan bisa selesai dengan pertanyaan “Dalilnya mana?”. Lantas, ukurannya apa, dong?

Dalam ilmu ushul fiqh ada logika begini: semua bentuk ibadah itu haram, kecuali ada dalil yang memerintahkan. Sebaliknya, semua bentuk interaksi manusia (muamalah) diperbolehkan, kecuali ada dalil yang mengharamkan.

Saya kadang heran kalau orang merasa perlu dikuatkan dengan dalil untuk berbuat baik. Giliran untuk menjelekkan orang, kita nggak pernah tuh, nanya-nanya “Dalilnya mana?”

Sudahlah, percuma kalau pinter ndalil di kepala, tapi kepekaan batin tidak terlibat. Bisa-bisa, malah kita yang keliru.

Lantas, jangan-jangan, yang selama ini kita makan cuma kulit dan biji, sementara dagingnya kita buang percuma dengan senang hati. Iya, nggak?

Exit mobile version