Reaksi Karni Ilyas Atas Fatwa Haram ILC oleh PWNU DIY dan Berbahayanya Sikap Generalisir

MOJOK.CO – Indonesia Lawyer Club (ILC) difatwa haram oleh PWNU DIY karena dinilai provokatif. Karni Ilyas bereaksi atas itu dan membantah tuduhan bahwa ILC berisi konten provokatif.

Beberapa waktu lalu, di Yogyakarta muncul fatwa haram dari Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terhadap tayangan televisi yang mengandung konten provokasi dan pencemaran nama baik. Tayangan televisi yang masuk kategori haram ini kemudian memasukkan Indonesia Lawyer Club (ILC) yang dipandu oleh Karni Ilyas sebagai salah satunya.

Di Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede, Yogyakarta, fatwa ini dirumuskan pada 10 Agustus 2018 lalu. Forum ini dipimpin oleh Ketua LBM PWNU DIY, Fajar. Menurut Fajar, bahtsul masail ini dilakukan setelah merespons keresahan masyarakat karena semakin banyak tayangan televisi yang isinya berupa provokasi. Fajar menyatakan masyarakat meminta fatwa dari LBM PWNU DIY mengenai hal ini.

“Pertanyaannya begini, ‘bagaimana hukum menayangkan program televisi yang mengandung konten provokatif dan pencemaran nama baik seperti ILC?’” kata Fajar seperti diberitakan detik.com.

“Kemudian kita jawab, ‘hukumnya menayangkan program televisi dalam acara apapun, termasuk ILC, yang mengandung konten provokatif dan ada unsur pencemaran nama baik hukumnya haram,” jawabnya.

Dijelaskan juga kemudian bahwa provokasi dan pencemaran nama baik bisa mengakibatkan masyarakat resah. Apalagi konten-konten seperti itu bisa saja terindikasi fitnah dan bisa membuat masyarakat saling tidak akur satu sama lain. Mengenai ILC yang disebut secara spesifik, Fajar menjelaskan bahwa ILC akhir-akhir ini menampilkan orang-orang yang berseberangan dalam acaranya.

“Sehingga di acara ILC itu nanti terjadi saling bully, saling mencaci, dan sebagainya. Baik di medsos maupun di dunia nyata,” tutur Fajar.

Menurut Ketua LBM PWNU DIY ini, diskusi yang dilakukan di ILC malah cenderung berdampak negatif ketimbang positif. “Seperti membuka aib orang lain, kan jelas dilarang agama. Membicarakan kesalahan orang lain di mana orang lain itu tidak ada di situ,” katanya.

Mengenai tuduhan bahwa fatwa ini berkaitan dengan pernyataan Mahfud MD soal Ketua PBNU, Kiai Said Aqil Sirad, dan Rais Aam PBNU, Kiai Ma’ruf Amin, lalu diduga sebagai “fatwa pesanan”, Fajar membantah kabar tersebut.

“Kita sama sekali tidak akan mengira ada acara Pak Mahfud (14 Agustus), karena (fatwa haram ILC) empat hari sebelumnya,” jelas Fajar.

Fajar menyesalkan bahwa fatwa ini dituduh sebagai bagian dari respons terhadap pernyataan Mahfud MD di ILC yang dalam pernyataannya memang sedikit banyak bicara panjang lebar mengenai beberapa tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama.

Di sisi lain, merespons soal fatwa haram ILC, Karni Ilyas sebagai Wakil Direktur TV One mengaku dugaan PWNU DIY itu tidak benar. “Kita selalu berimbang, selalu dua pihak, tidak ada orang yang kita cemarkan,” kata Karni.

Dari versi Karni, apa yang dituduhkan PWNU tidak benar, sebab selama ini ILC memang menghadirkan orang-orang berseberangan bukan untuk diadu domba, melainkan untuk diminta saling mengeluarkan pernyataan sebagai bagian dari klarifikasi. Jika cuma ada satu pihak saja, justru yang terlihat akan sangat tidak berimbang.

“Itu adalah tugas wartawan sebagai watch dog, sebagai anjing penjaga. Sebagai wartawan, nggak boleh diam kalau ada lembaga-lembaga resmi, semua yang menyangkut kepentingan publik harus kita kritisi. Kalau nggak benar itu kita beritain,” lanjut Karni.

Senada dengan Karni Ilyas, Komisi I DPR RI, Bambang Wuryanto, juga menegaskan bahwa ILC sudah mengikut Undang-Undang Penyiaran sehingga tidak bisa jika harus dibubarkan karena ada kelompok kecil yang mengeluarkan fatwa haram.

“Kalau memang suatu kelompok kecil mengeluarkan fatwa itu sifatnya internal. Kalau internal itu nggak perlu dipublikasikan. ‘Eh, itu nggak usah ditonton, nggak baik.’ Kan begitu. Itu bersifat untuk kelompok kecil. Kita kan negara hukum,” tutur Bambang.

Membikin acara fitnah dan konten provokatif memang masuk akal jika dimaksudkan sebagai bagian dari fatwa haram, akan tetapi menggeneralisir ILC sebagai acara yang berisi fitnah dan provokatif perlu kajian lebih lanjut yang perlu menggunakan pendekatan ilmu lain.

Jadi, ada kemungkinan dari pertanyaan awalnya saja fatwa ini sudah tidak cukup tepat, yakni pertanyaan; “Bagaimana hukum menayangkan program televisi yang mengandung konten provokatif dan pencemaran nama baik seperti ILC?”

“Seperti ILC” adalah bagian dari tuduhan yang celakanya malah dimasukkan sebagai bagian dari fatwa, padahal frasa terakhir itu hanya contoh dan tidak semua konten provokatif dan pencemaran baik ada (atau selalu ada) di ILC. Menuduh ILC selalu berisi konten provokatif dan pencemaran nama baik jelas merupakan tuduhan yang menggeneralisir.

Ini seperti menilai sebuah warung bakso sapi yang difatwa haram karena sapinya dianggap tidak sembelih pakai cara halal. Hukum dasar daging yang tidak disembelih dengan cara halal memang jelas-jelas haram, akan tetapi menuduh sebuah warung bakso sapi yang menyembelih sapinya tidak dengan cara halal adalah perkara yang perlu dikaji lebih lanjut. Sebab kalau tidak, jatuhnya malah jadi fitnah, yang juga jelas-jelas dilarang dalam agama. (K/A)

Exit mobile version