Cerita Horor di Sekolah dan Telepon Lintas Waktu ke Kelas 5A

MOJOK.CO ‘Kamu baru saja terhubung ke masa lalu dan menelepon penghuni kamar hotel yang sekarang jadi kelas 5A,’ kata kawanku, melengkapi pengalamanku dalam arsip cerita horor di sekolah.

Cerita horor dan cerita hantu sering kali menjadi momok di banyak gedung Sekolah Dasar (SD) di beberapa kota. Banyak yang menyebutkan SD-nya dulu merupakan bekas gedung senjata, rumah sakit, atau bahkan sawah yang terbengkalai. Kalau kisahku sendiri, sih, bukan ketiga-tiganya—SD tempatku mengajar adalah bekas hotel tua.

Letaknya di tengah kota—SD tempatku menjadi guru bahasa Inggris untuk anak-anak ini. Dari luar, gedung sekolah tampak megah dan bersih, tak ada kesan horor sama sekali yang tersirat. Bahkan, kalau temanku tidak bercerita, aku tak akan tahu.

Kejadiannya hari Kamis sore. Kala itu, aku sedang tidak sengaja menjaga meja front office  karena temanku yang bertugas sedang pergi ke toilet. Aku sendiri sudah selesai mengajar sejak siang.

“Hai, Miss, saya ibunya Atta. Saya terlambat jemput Atta. Bisa tolong dipanggilkan?” seorang ibu datang dengan terburu-buru. Aku langsung mengenalinya sebagai orang tua salah satu murid kami.

“Atta kelas berapa, Ibu?”

“Kelas 5A, Miss.”

Aku mengangguk tersenyum, lalu meraih telepon. Setiap kelas di sekolahan kami dilengkapi telepon. Meski jam pelajaran terakhir sudah berakhir, aku rasa tak ada salahnya menelepon kelas 5A terlebih dulu. Siapa tahu, guru terakhir di kelas itu masih ada di sana bersama dengan Atta, kan?

“Halo,” sebuah suara terdengar di ujung telepon. Aku langsung menyambarnya, “Halo, Mister, ini dengan Miss Dena. Apa di sana masih ada siswa bernama Atta? Ibunya datang menjemput.”

Tidak ada jawaban dengan cepat. Justru, aku merasa orang yang menjawab teleponku malah kebingungan, “Ha-halo?”

“Halo, Mister, ini Miss Dena. Di sana ada Atta?”

Sori—ini maksudnya apa, ya?”

“Ini dengan siapa, ya?” tanyaku balik, berusaha mengingat-ingat suara guru kelas yang berbicara—seharusnya kan aku mengenali suara temanku!

“Loh, harusnya saya yang tanya. Ini maksudnya apa? Ini dengan siapa? Saya mau istirahat!”

Tiba-tiba rasanya tidak enak, begitu saja. Telepon langsung kumatikan. Aku meraih hapeku dan bertanya di grup WhatsApp guru-guru sekolahku: “Barusan siapa yang angkat telepon saya ke 5A, ya?”

Agak lama sampai akhirnya seseorang menjawab: “Kelas 5A sudah kosong daritadi, Miss. Ini kuncinya ada di saya. Saya sekarang di perpustakaan sama anak yang belum dijemput.”

Aku merutuki diri sendiri—kenapa tadi tidak langsung saja chat di grup kalau tahu bakal semerinding ini setelah telepon? Sedikit tergagap, aku meminta ibu Atta menunggu Atta datang dengan diantar si guru—temanku itu. Setelah akhirnya Atta dan ibunya pergi, guru tadi—namanya Gio—langsung mencecarku.

“Apa yang mengangkat teleponmu laki-laki?”

“Iya, aku kira itu kamu!”

Gio menarik napas, seolah-olah hal ini pernah terjadi sebelumnya. Lalu katanya, “Kamu baru saja terhubung ke masa lalu. Dia dulu penghuni kamar hotel yang sekarang jadi kelas 5A.”

Kalau kamu pikir cerita horor di sekolah ini aneh dan tidak masuk akal, aku pun mulanya begitu. Mana bisa aku percaya aku baru saja menelepon melintasi waktu? Tapi rasanya, aku tak bisa mengelak lagi bahwa memang ada sesuatu di kelas 5A, setidaknya beberapa bulan kemudian.

Sekolah kami mengadakan acara kemah dan pentas seni suatu hari. Sampai acara berakhir, waktu sudah keburu larut malam. Aku dan temanku, Nita, memutuskan untuk tidur menginap di kelas saking lelahnya badan kami. Tak ada pikiran satu pun yang terlintas di kepalaku bahwa aku akan, sekali lagi, merasakan ‘teror’ cerita horor di sekolah.

Bedanya Nita denganku adalah kemampuan kami ‘melihat’ apa yang normalnya tidak terlihat. Tapi sungguh, malam itu aku tidak mengira Nita bakal menunjukkan kemampuannya.

Kami kelelahan dan tidur selonjor di kelas, persis di tepi ruangan tempat murid-murid menaruh tas dan sepatu. Nita beberapa kali mengeluh kepanasan dan tidak nyaman, tapi matanya terpejam saking lelahnya. Aku pikir tidak ada yang aneh—AC kelas kami memang sedang dimatikan.

Saat akhirnya aku dan Nita bergeser ke tepi ruangan tempat bantal-bantal ditumpuk, Nita tiba-tiba berteriak, “Astagfirullahaladzim!”

Aku mematung, “Kenapa?”

“Di atas situ,” dia menunjukkan dengan isyarat mata, “ada orang?”

Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Nita. Tidak ada orang. Mana mungkin pula ada orang menggantung di atap?!

“Oke, itu berarti bukan orang, tapi dia melihat kita sejak tadi. Tidak berhenti. Laki-laki.” Aku menelan ludah mendengar kata-kata Nita. Ia melanjutkan, “Bajunya agak terkoyak. Aku rasa dulu dia tukang bangunan di sini. Mungkin jatuh karena kecelakaan kerja, tapi dia… menggantung di atas sana,” bisik Nita. Suaranya lemas—separuh ngantuk, separuh shock.

Lelahku lantas berubah ngeri. “Kita pulang aja, yuk,” kataku kemudian. Nita setuju.

Malam itu tidak kami habiskan menginap di sekolah. Sepanjang jalan, aku cuma bisa bergumam doa, berharap tidak ada suatu apa pun yang mengikuti kami pulang. Sialnya, yang teringat di kepalaku justru bukan hal yang menyenangkan. Aku teringat kejadian tadi siang—mungkin sebuah cerita horor di sekolah lagi yang sebenarnya tidak aku sadari.

Sebelum aku datang ke kelas, murid-muridku bermain air. Mereka mencelupkan telapak tangan di ember kamar mandi depan kelas mereka—kelas 5A, lalu menempelkannya ke dinding hingga berbekas telapak tangan. Beberapa anak antusias mengikuti permainan ini, mengagumi bentuk telapak tangan yang tercetak jelas.

Saat itulah aku datang, lalu semua murid duduk rapi masuk ke dalam kelas. Aku tidak menyadari ada yang aneh saat kemudian salah seorang dari mereka berseru, “Siapa yang ngecap telapak tangan setinggi itu?”

Dari deretan cap telapak tangan anak-anak, ada yang menonjol: sebuah cap telapak tangan berukuran lebih besar dan letaknya tinggi—di area atas dinding, nyaris mencapai plafon.

Padahal, tidak ada yang setinggi itu di ruangan kelas kami…

…kecuali jika yang tak terlihat itu ikut bermain. (A/K)

Exit mobile version