Minuman Tradisional Tak Legal, Impor Mahal, Air Rebusan Pembalut Jadi Pilihan

MOJOK.CO – Kalau minum dengan cara sesuai yang dianjurkan, maka arak atau alkohol itu pada dasarnya menyehatkan (layaknya minum jamu). Bahkan konon sekaligus menggembirakan.

Tradisi dan peradaban Indonesia mengenal sangat banyak minuman beralkohol. Baik minuman itu yang melalui proses destilasi seperti arak, sopi, ciu, maupun yang tidak didestilasi seperti tuak, brem, dan anggur.

Banyaknya varian minuman beralkohol di Indonesia seperti ini bisa dengan sangat mudah dipahami karena negeri kita memang sangat kaya akan aneka jenis tanaman sebagai bahan bakunya. Ada banyak jenis palma seperti kelapa, aren, dan lontar yang semuanya bisa menghasilkan tuak yang kalau didestilasi akan menjadi tuak.

Ada berbagai buah dan biji-bijian untuk difermentasi menjadi anggur atau brem. Ada apel, salak, beras, ketan, dan tentu saja—yang paling dikenal—anggur.

Harus diakui bersama bahwa tradisi minuman alkohol adalah peradaban yang usianya jauh lebih tua ketimbang usia Indonesia sebagai sebuah negara. Tradisi yang sebenarnya sudah dikenal oleh hampir semua suku yang ada di Nusantara.

Di Bali misalnya, ada sebuah naskah kuno yang berisi mengenai tahapan dan tata cara minum arak. Esensi dan pesan dalam tatacara yang tertulis tersebut adalah, kalau minum dengan cara sesuai yang dianjurkan maka arak atau alkohol itu pada dasarnya menyehatkan (layaknya minum jamu) sekaligus menggembirakan.

Kalau ada ekses buruk dari minum arak atau alkohol semata karena si peminum tidak taat asas atau sudah melanggar kaidah tatacara minum arak.

Coba kita lihat urut-urutannya.

Satu seloki itu menyehatkan, disebut dengan nama “Eka Padma Sari”. Padma Sari itu artinya sarinya bunga.

Dua seloki itu menggembirakan dan menghibur sehingga disebut Dwi Martani dan martani berarti menghibur.

Tiga seloki menaikkan rasa percaya diri. Namanya Tri Kawula Busana. Jadi seperti kawula yang diberi penampilan yang indah sehingga menjadi percaya diri dan tidak minder. Di sinilah sebetulnya batas toleransinya. Sampai disini minum harus dihentikan.

Sebab seloki keempat sudah mulai berpengaruh buruk, mulai kehilangan kendali diri. Dalam naskah yang disebut “Catur Wanara Rukem”, atau setelah meminum seloki ke empat itu perilaku si peminum jadi seperti monyet berebut buah.

Seloki kelima disebut “Panca Sura Panggah”. Sudah tidak ada rasa malu dan takut.

Seloki keenam disebut “Sad Guna Wiweka”, sudah selalu curiga dan gampang salah paham.

Seloki ketujuh disebut “Sapta Kukila Warsa” yang artinya burung kehujanan yang mulai meracau.

Seloki kedelapan disebut “Asta Kacara-cara” yang artinya sudah mulai berbicara sembarangan tanpa ujung pangkal.

Yang lucu itu istilah seloki kesembilan, “Nawa Wagra Lupa”, yang artinya macan lunglai setelah muntah-muntah, dan seloki kesepuluh disebut “Dasa Buta Mati” atau bangkai raksasa.

Dari penyebutan atau penamaan istilah batas seloki itu maka bisa dipahami bahwa arak seharusnya diminum dalam batas-batas tertentu. Minumlah sewajarnya saja, jangan sampai berlebihan. Kalau bisa dibatasi dengan baik maka hal tersebut justru bisa untuk kesehatan, kegembiraan, dan penghiburan yang pas.

Masalahnya kemudian menjadi ironi ketika di negeri yang memiliki peradaban alkohol yang kuat ini justru sangat sulit mendapatkan alkohol lokal secara legal. Pada kenyataannya, yang bisa dibeli di tempat umum sebagian besarnya merupakan minum-minuman impor. Entah itu bir, anggur, atau liquor—yang harganya tentu saja sangat mahal.

Inilah ajaibnya negeri kita. Bahan melimpah, teknologinya tidak sulit karena kita sudah mengenal alat-alat fermentasi yang sederhana, tetapi kebutuhan kita malah diisi dengan barang impor.

Dari perbincangan dengan beberapa teman di Bali, saya medapatkan informasi bahwa permasalahan utama dari situasi semacam ini adalah soal urusan perijinan.

Walau para perajin dan pengusaha lokal sudah tidak kurang-kurang upayanya mencari terobosan untuk bisa mendapatkan ijin. Tetapi sebagian terbesarnya berakhir dengan kegagalan. Sebagian kecil yang berhasil malah pemodal asing atau pemodal besar.

Masalahnya, ketika minuman lokal digusur karena tidak dapat izin produksi, para penyuka alkohol Indonesia yang tidak mampu membeli barang legal yang mahal itu memang tidak pernah mati gaya untuk menemukan akal mencari jalan keluar.

Ketika perijinan tidak berujung, ganja masih diharamkan, setelah dulu banyak kreasi arak oplosan yang sudah merenggut banyak jiwa, kini mereka punya solusi baru, yang dari namanya saja kita sudah harus rela terheran-heran sambil tidak bisa berkomentar. Dan penemuan yang luar biasa itu adalah: “air rebusan pembalut”.

Sungguh kreativitas penemuan yang mencengangkan.

Exit mobile version