Surat untuk Virus Corona

es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres

MOJOK.CO Corona, selamat pagi….

Sudah hampir tiga minggu ini, kamu nyaris tidak pernah hilang dalam pikiranku. Awalnya, kamu menarik hasratku untuk mengetahuimu, ketika tersiar kabar kamu berbiak di Wuhan. Setelah itu, aku mulai terserang rasa khawatir. Kedatanganmu di negeriku ini, nyaris lebih cepat dari informasiku tentangmu.

Corona, sebagaimana kebanyakan orang di negeri ini, dan mungkin di belahan dunia lain, aku marah sama kamu. Geregetan. Kamu membuat segalanya tiba-tiba menjadi kacau. Orang-orang panik. Lalu mati. Ekonomi rontok. Orang-orang menderita. Lalu makin banyak yang mati. Payahnya, sampai sekarang, kami tak tahu sampai kapan ini bakal terus terjadi. Di China pun, yang lebih dulu dianggap bisa menanggulangimu, mulai tersiar kabar anyar bahwa kamu kembali menyerang negeri itu dengan serangan gelombang kedua. Aku tak bisa memastikan dengan baik karena situasi di sini bertambah rumit.

Corona, semua orang menggelorakan semangat memerangimu. Tapi kamu pasti tahu, di balik gelora itu, sebetulnya kami semua ketakutan. Kami hanya percaya spesies manusia tidak akan punah karena kamu, sebagaimana kami tidak punah menghadapi pandemi lain sebelumnya. Manusia pasti menang. Termasuk ketika kami menghadapimu.

Tapi, Corona… semangat memerangimu dengan kenyataan akan kematian dan penderitaan merupakan dua hal yang berbeda. Ketika leluhur kami menghajar wabah selain kamu, itu semua dilakukan dulu. Dulu sekali. Ketika kematian tak sedekat ini. Kami menyaksikan orang-orang bergelimpangan. Para jurumedis dan peneliti tak bisa menyembunyikan ketakutan mereka. Para pemberani bermuka lesi ketika mesti berhadapan denganmu.

Mungkin orang-orang akan menganggapku gila ketika mengirim surat ini kepadamu. Manusia akan menempuh segala hal untuk menyelesaikan masalahnya. Kami punya ilmu pengetahuan dan teknologi, yang sekarang kami kerahkan untuk menghadapimu. Kami juga punya doa-doa dan mencoba menumbuhkan pikiran positif agar bisa tegar menghadapimu. Dan karena aku percaya dengan kelembutan, percaya bahwa kamu juga makhluk Tuhan, aku ingin bercakap denganmu. Dari hati ke hati. Walaupun aku tak tahu persis makhluk sejenis apakah virus itu. Setidaknya, aku berharap, getaran ini, kelembutan ini, akan sampai ke dirimu. Entah dengan cara apa.

Saat ini, aku tidak sedang ingin mengulik apakah kemunculanmu karena keserakahan kami sebagai manusia yang keliru memperlakukan alam tempat kami hidup. Apakah ini bentuk serangan balik, dendam, atau rasa tersinggung berbagai elemen energi di bumi karena keserakahan kami. Faktanya, kamu ada, dan itu menyakiti kami sebagai manusia.

Para ahli bilang, kamu menyerang orang tak kenal kasta, ras, tingkat ekonomi, umur, dan segala hal yang membedakan manusia satu dengan yang lain. Tapi mereka yang berpotensi berguguran adalah manusia yang rentan secara ekonomi dan yang fisiknya lemah. Kamu memang tidak pandang bulu menyerbu, tapi faktanya orang-orang yang menderita punya kesempatan lebih banyak untuk lebih dulu takluk kepadamu.

Kalau ini jalanmu untuk memperingatkan kami agar tidak terlalu pongah dan membuat kerusakan di muka bumi ini, aku pikir peringatanmu sudah terlalu cukup. Kalau kedatanganmu memberi pesan agar kami segera mengakhiri pertikaian di antara kami entah karena agama atau perebutan lahan ekonomi, semoga isyarat itu sudah kami tangkap dengan gamblang. Katakanlah dan ungkapkan itu dalam ekspresi yang lain, jangan lewat jalan kematian dan kenestapaan. Kalau sudah cukup, hentikanlah. Beristirahatlah. Kembalilah kepada kelembutanmu sebagai bagian dari semesta.

Lihatlah, para orangtua menangis. Orang-orang panik. Kalau memang harus ada kibaran tanda menyerah, kami akan kibarkan. Asal kamu berhenti. Atau kamu tak cukup puas melihat kami bertikai, berebut kesempatan untuk lebih lama hidup dibanding yang lain? Berebut strategi merasa paling bisa menghadapimu? Semua negara berantakan, tatanan masyakarat kacau. Apakah kamu tega menyaksikan ini semua?

Biarkanlah kami merenungkan ini semua dengan kepala dingin dan hati yang jernih. Kalaulah kamu tidak pergi benar, jangan ada kematian lagi. Ancamlah kami di luar rumah kematian. Jika kami tidak menemukan solusi yang lebih baik untuk kehidupan kami ke depan, seranglah kami lagi. Tapi beri kami waktu. Beri kami jeda. Beri kami kesempatan untuk memikir ulang apa yang telah keliru kami lakukan di muka bumi ini.

Berikanlah kami kesempatan untuk berpikir, berjumpa satu sama lain dalam situasi yang agak tenang, untuk bercakap dengan hangat di antara kami sesama manusia. Kalau perlu, tulislah ancamanmu bahwa jika kami tak segera menemukan cara hidup yang lebih adil dan lebih indah, maka kamu akan balik memorak-porandakan kami semua. Setidaknya kami butuh waktu. Itu sudah terlalu cukup buat kami.

Kami yakin, pagi setelah tragedi ini adalah pagi yang berbeda. Pagi yang akan membuat kami lebih rendah hati lagi. Pagi tanpa kompetisi. Pagi yang akan membuat kami bertemu dengan memeluk satu sama lain untuk bicara baik-baik tentang apa yang terbaik yang bisa kami lakukan bersama untuk kehidupan yang lebih nyaman tanpa saling serang dan saling merusak.

Sebab jika akhir dari ini semua adalah ternyata kami bisa mengalahkanmu, bisa jadi sikap angkuh kami akan lebih menonjol lagi. Dunia kembali ingin kami kuasai dengan jemawa. Dan justru dengan itu, kepongahan kami akan menjadi-jadi sebagai spesies yang paling hebat dan mumpuni.

Pelajaran dan hukuman, jika memang ini adalah bagian dari apa yang keliru kami perbuat, sudah terlalu cukup. Jika kamu adalah bagian dari isyarat semesta untuk mengingatkan kami, percayalah bahwa itu sudah jelas dan terang. Tenangkanlah dirimu. Duduklah dulu. Jangan bergerak dulu. Mari kita melakukan gencatan senjata, dan beri kesempatan untuk melakukan negosiasi.

Entah kenapa aku percaya bahwa kamu lembut dan bisa menangkap bahasa kelembutan kami. Bahasa yang kadang kami sampaikan dalam bentuk mantra, doa, dan puisi. Kadang dalam kidung-kidung menyayat hati untuk mengusir dan membentengi kami dari setiap pagebluk.

Kami makhluk Tuhan, kamu juga. Kami bagian dari semesta, kamu juga. Kita harus lebih punya cara untuk saling membuka diri. Jangan terlalu lama menjadi misteri. Kita harus sama-sama menemukan cara untuk mengakhiri ini semua. Jangan biarkan kami berputus asa.

Corona, kembalilah, kembalilah kamu ke dalam kelembutanmu. Endapkanlah dirimu menjadi flu yang biasa saja dan tak mematikan, dan biarkan kami memperbaiki diri kami.

Semoga surat ini bisa kamu pahami.

BACA JUGA Letak Kita dalam Masalah Corona dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.

Exit mobile version