Rindu pada Hal-hal Sederhana

es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres

MOJOK.COKalau Anda sedang rindu sesuatu, biarkan dia menjadi rindu saja. 

Sudah beberapa hari ini, saya merasa sangat rindu pada hal-hal sederhana yang pernah saya lakukan. Terutama di pagi hari. Mungkin rasa bosan terkurung di rumah karena pandemi corona ini, atau segala beban hidup, membuat antologi pagi saya membentang begitu jernih.

Saya termasuk orang yang punya masalah dengan pagi hari. Sejak kecil, saya sudah punya masalah dengan tidur cepat. Sehingga setiap hari, saya mesti dibangunkan Bapak. Dan tidak ada yang menyenangkan di memori saya. Bangun. Salat. Mandi. Sarapan. Pergi ke sekolah. Mungkin karena ini pula, saya tak begitu tertarik dengan sekolah.

Ketika teman-teman seusia saya mulai bergabung ke perusahaan-perusahaan, saya memilih takdir saya sendiri. Menjadi penulis. Semenjak itu saya tahu, saya tidak bisa menggantungkan hidup saya pada orang lain. Uang yang saya dapat hanya bisa diandalkan dari usaha saya. Makin rajin menulis, makin banyak uang yang saya dapatkan. Karena itu, saya tidak pernah merasakan apa yang sering dibilang oleh para motivator sebagai “zona nyaman”.

Tapi saya tak pernah mau kehilangan pagi hari. Bedanya, di pagi hari, lazimnya anak-anak muda seusia saya waktu itu bangun tidur dan siap bekerja, saya baru menutup komputer saya dan bersiap untuk tidur. Tapi saya tidak benar-benar langsung tidur. Saya akan keluar rumah naik sepeda motor, membeli sarapan—yang selalu saya bungkus, membeli rokok dan air mineral, dan tak lupa membeli koran. Kadang satu. Kadang dua. Kadang tiga. Tergantung hari apa. Kalau hari Sabtu atau Minggu, biasanya saya membeli tiga koran. Sesampai di kontrakan—yang saat itu disewa empat orang termasuk saya, saya makan, membuat kopi, lalu merokok. Sembari kadang menyimak acara televisi. Lalu sampailah pada ritual penting: menutup jendela, mengunci kamar, mematikan televisi, menyalakan lampu baca yang selalu saya letakkan di samping tempat tidur saya, lalu membaca koran. Hingga saya terlelap.

Kadang kalau sedang malas pergi terlalu jauh, saya hanya keluar membeli koran, air mineral, dan rokok. Balik lagi ke kontrakan. Menunggu penjual soto yang selalu lewat di depan kontrakan saya.

Ada pepatah bilang, the early bird gets the worm. Saya tidak cocok dengan pepatah itu, tapi kalau memang pepatah itu benar, saya yakin lebih dulu menjumpai pagi dibanding siapa pun. Karena mereka tidur di malam hari, dan saya tidak. Di era itu, ketika dunia digital belum semaju ini, ketika informasi didapat dari koran, saya lebih dulu membaca koran dibanding kebanyakan orang. Tentu saja karena saya sudah membacanya sebelum mereka sempat melakukannya.

Kalau bepergian di pagi hari dengan pesawat terbang, saya hampir tak pernah telat. Perkaranya, karena saya berangkat ke bandara tanpa risiko terlambat bangun. Mungkin Anda akan bertanya, tentu gaya hidup seperti itu bisa mengganggu produktivitas saya. Kalau itu dianggap karena di jam aktif saya malah tidur, itu keliru besar. Sebab saya punya kebiasaan lain, saya tahan tidak tidur berhari-hari. Sesekali menyempatkan tidur di di depan komputer tergeletak begitu saja tergantung di mana, dan sudah. Saya bangun, lalu bersiap bekerja kembali.

Mungkin karena gaya seperti itu, saya dianggap punya prestasi jika menyangkut penelitian lapangan atau memimpin tim. Tim apa saja. Karena saya paling akhir tidur sehingga masih bisa memikirkan apa yang terlewat dikerjakan.

Kebiasaan seperti itu sampai kemudian saya menikah, sulit untuk hilang. Saya sering sarapan dengan istri dan anak saya, sebelum istri saya bersiap mengantar anak saya pergi ke sekolah, dan setelah ditinggal mereka pergi, saya baru berangkat tidur. Istri saya hapal betul dengan kebiasaan saya itu. Dengan begitu, sampai sekarang, saya masih sering yang menyiapkan sarapan. Saya yang keluar untuk membeli sarapan, atau saat era ojol tiba, saya tinggal pesan sarapan.

Dan beberapa hari ini, saya mengenang pagi-pagi saya yang jauh terlewati. Pagi saat membeli sarapan dan membaca koran, pagi saat saya mesti ke bandara tanpa terlebih dulu mandi (karena mandi di saat belum tidur semalaman itu rasanya tidak enak sekali, dan bisa membuat saya meriang serta bersin-bersin di dalam pesawat).

Mungkin juga, sebagian besar dari Anda juga rindu dengan pagi-pagi yang sederhana seperti itu. Sekalipun kita berbeda ritme dan gaya hidup. Terutama setelah hampir sebulan kita dikurung di rumah karena pandemi corona ini. Mungkin Anda rindu dibangunkan weker, mandi, sarapan, lalu berangkat bekerja. Biasanya mungkin Anda benci lalu lintas pagi hari yang pikuk, dan pusing karena tertidur sementara pekerjaan belum tuntas. Tapi di saat seperti ini, mungkin Anda akan merindukan semua itu.

Kita mungkin sejenis makhluk yang terbiasa bosan dengan rutinitas, lalu beralih ke rutinitas yang lain sehingga menghasilkan sejenis kebosanan yang serupa. Tapi rutinitas tidak lenyap. Ia menggaritkan berbagai goresan di memori kita. Goresan-goresan itulah, yang kemudian bisa menyembulkan rasa rindu.

Dulu, sewaktu saya masih kecil, ada masa ketika tiba hari Minggu, Bapak membangunkan saya. Di dekat dapur kami yang sederhana ada setumpuk jagung muda dan satu tas kresek berisi arang. Saya mesti menyalakan arang lalu membakar jagung. Kemudian Ibu dan Bapak saya bergabung meriung. Bagi mereka berdua, mungkin itu sejenis rekreasi di hari libur. Bagi saya itu semacam kegiatan absurd. Mestinya saya bisa berlama-lama tidur sambil membaca buku.

Ketika saya dewasa, sering kangen dengan suasana itu. Sialnya, itu tidak bisa saya ulang. Bapak ibu saya pasti akan mau jika saya ajak mengulang hal yang sama, apalagi ketika saya dan keluarga pulang kampung. Tapi menyalakan arang lalu membakar jagung, menjadi kembali absurd jika saya kerjakan. Mungkin juga kikuk. Selebihnya menggelikan, sehingga saya tak mau mengulangnya lagi.

Dari situ saya tahu, rindu sesuatu bukan berarti harus melakukan hal serupa lagi. Sama halnya jika saya mesti pergi keluar lalu membeli koran. Itu bukan saja kayak kurang kerjaan, tapi penjualnya juga sudah makin susah ditemukan. Belum lagi berita yang saya baca dari koran sudan ada versi online-nya.

Kalau Anda sedang rindu sesuatu, biarkan dia menjadi rindu saja. Mungkin tempatnya ada di sana. Entah di bagian mana dari memori kita.

BACA JUGA Ketika Kita Punya Kecemasan yang Sama dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.

Exit mobile version