Obrolan Utusan Manusia dengan Utusan Corona

es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres

MOJOK.COObrolan Kiai Irfan dan utusan corona membuatnya tersedu. Ia merasa pesan dari sang utusan akan sia-sia jika ia sampaikan kepada sesama manusia.

Barangkali tidak terpintas di kepala Kiai Irfan kalau dia terpilih sebagai utusan manusia untuk bertemu dan berdialog langsung dengan utusan corona. Kiai muda yang sehari-hari bersikap sederhana itu sebetulnya merasa kaget ketika sekelompok spiritualis di negeri ini mendatanginya, tentu saja lewat mimpi. Sebab para spiritualis juga tahu, ini masih era physical distancing.

Awalnya, Kiai Irfan yang nama lengkapnya Ahmad Irfan Afifi ini sempat menolak. Dia merasa usianya masih muda, tahun ini baru berusia 40 tahun. Dan dia merasa tidak pede karena sehari-hari hanya mengelola langgar kecil di pojok kampung, di daerah sungai di mana Kanjeng Sunan Kalijaga pernah bertapa. Tapi para spiritualis yang mendatanginya—lewat mimpi lho ya, jauh lebih canggih dari sekadar lewat aplikasi Google Meet, Zoom, atau aplikasi sejenis itu–menyampaikan pesan yang jelas dan jernih. Dia memang utusan manusia, tapi yang memilihnya utusan corona.

Singkat cerita, setelah merasa bahwa itu tanggung jawab yang mau tidak mau harus diembannya, maka Kiai Afifi segera melakukan serangkaian ritual. Hingga di hari yang telah dijanjikan, lewat kelembutan hati dan ketenangan pikiran, masuklah dia ke sebuah medium yang memungkinkan dia bertemu dengan utusan corona.

Hal pertama begitu dia bertemu dengan utusan corona, Kiai Irfan agak syok. Dia membayangkan wajah dan penampilan utusan itu mirip apa yang selama ini digambarkan di berbagai media tentang virus itu yakni penuh sulur dan benjolan. Tapi ternyata tidak. Wajah utusan itu teduh, kulitnya halus, ada cahaya jingga yang memancar lembut dari wajahnya. Tutur katanya pun sangat santun.

Mereka berdua pun berkenalan. Lalu berkabar, selayaknya orang yang sudah lama berteman. Setelah cukup, akhirnya Kiai Irfan pun mulai masuk ke babak yang penting, yang berurusan dengan corona dan kehidupan manusia.

“Maaf, Kisanak… sebetulnya Anda dan teman-teman itu mau pergi dari muka bumi kapan?” tanya Kiai Irfan dengan kalem.

“Itu pertanyaan yang sulit saya jawab, Kiai….”

“Kenapa? Bukankah saya diutus ke sini, dan Anda pilih, untuk rembukan soal itu?”

“Pertama, perkenankan saya menyampaikan kebingungan kami melihat gelagat dan respons yang dilakukan oleh teman-teman Anda….”

“O ya, silakan… saya akan mendengarkan. Dan kalau memang bisa saya jawab, saya akan menjawabnya.”

“Selama kami muncul di bumi, dan kemudian membuat geger, hanya ada dua respons manusia kepada kami. Pertama, mereka mencari obat dan vaksin untuk menghadang kami.”

“Lho bukankah itu wajar, kami sebagai manusia diberi akal budi, dan kewajiban kami melakukan ikhtiar untuk menjawab setiap persoalan yang kami hadapi. Ada banyak manusia yang meninggal dunia dan sakit karena polah Anda dan teman-teman….”

“Sebentar, Kiai. Saya belum selesai…,” potong si utusan corona.

“O, maaf. Silakan, silakan Anda lanjutkan….”

“Respons yang lain adalah bagaimana secepatnya manusia bisa segera pulih dari polah kami, ekonomi bergerak lagi.”

“Kami ini makhluk ekonomi,” kalimat Kiai Irfan tersendat, merasa belum saatnya menjawab dan memotong. Tapi si utusan corona memberi tanda agar Kiai Irfan melanjutkan omongannya. Setelah merasa dipersilakan, Kiai Irfan melanjutkan, “Kami butuh uang. Kami butuh makan. Roda ekonomi harus bergerak. Di mana letak kesalahan kami?”

“Maaf, Kiai. Saya tidak sedang menolak dua respons tersebut….”

“Lantas?”

“Kami hanya bingung.”

“Kenapa bingung? Bukankah saya sudah menjelaskan kenapa ada dua respons tersebut?”

“Karena begini, Kiai. Bukankah manusia tahu kenapa kami ada?”

“Ya….”

“Kami kan ada karena selama ini manusia memperlakukan dengan buruk alam tempat mereka hidup. Mereka merusaknya.”

“Paham….”

“Mereka membawa kerusakan di muka bumi ini dengan pongah, dan tidak merasa bersalah. Lingkungan hancur, ekosistem berantakan.”

“Persis.”

“Tapi kenapa yang dilakukan manusia adalah hanya mencari obat dan vaksin, dan hanya memikirkan bagaimana roda ekonomi bergerak lagi?”

“Seharusnya bagaimana menurut Kisanak?”

“Kami ini polah seperti ini kan hanya akibat saja. Akibat selanjutnya adalah manusia sengsara. Kenapa manusia tidak berpikir untuk menyelesaikan akar masalahnya? Kenapa hanya fokus menangani akibat-akibatnya saja?”

“Maksud Kisanak?”

“Mestinya di dalam skenario hidup manusia, ada penekanan untuk berperilaku yang baik kepada alam. Manusia yang bertingkah kemudian membuat bumi gonjang-ganjing, lalu kami muncul.”

Kiai Irfan terdiam.

“Kalau itu yang dilakukan, sesungguhnya manusia hanya mencoba menyelesaikan akibatnya saja. Bukan akar persoalannya. Bukan mengatasi sebabnya. Masak manusia tidak paham hal seperti itu, Kiai?”

“Mestinya kami paham, Kisanak….”

“Lalu kenapa itu tidak dilakukan manusia? Kenapa tidak ada skenario mengatasi hal itu?”

Kembali Kiai Irfan terdiam.

“Jangan-jangan setelah kami reda sejenak, manusia makin kalap merusak alam. Makin pongah dengan lingkungan di mana tempat mereka tinggal? Jangan-jangan mereka kembali rakus dan tidak punya adab kehidupan? Kalau begitu caranya, Kiai, percayalah kami akan bermutasi lebih ganas lagi.”

“Lho ya jangan, dong….”

“Kenapa kata ‘jangan’ itu tidak dipakai manusia untuk tindakan mereka yang terus berbuat kerusakan di muka bumi ini?”

Kiai Irfan tertunduk. Dia beristighfar. Air mata keluar dari sepasang matanya.

“Kenapa Kiai menangis? Apakah ada tutur kata saya yang salah?”

“Tidak…,” kata Kiai Irfan sambil tersedu.

“Lantas kenapa, Kiai?”

“Saya menangis karena rasanya saya tidak mungkin sanggup mengatakan ini kepada manusia. Rasanya, pertemuan saya dengan Anda ini akan sia-sia karena mereka tidak akan mendengarkan apa yang Anda keluhkan. Dan saya menjadi bakal tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya kalau manusia tidak memperbaiki dan memperbarui cara mereka, cara kami lebih tepatnya karena saya juga manusia, kepada alam tempat kami hidup.”

Kembali Kiai Irfan tersedu. Dia sedih sekaligus bingung. Lalu dia hanya bisa menangis lagi. Menangis lama sekali. Hingga kemudian dia keluar dari medium tempatnya ngobrol dengan utusan corona.

Di langgarnya yang sunyi, Kiai Irfan menangis kembali.

BACA JUGA Setelah Pandemi Ini, Masihkah Kita Merusak Alam Lagi? dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.

Exit mobile version