Menguji Nalar Soal Perda Syariah

kepala suku

MOJOK.CO Yang patut dicermati adalah jika perda syariah itu sudah melanggar batas etis kaidah universal yang kita sepakati bersama, atau tidak kontekstual dengan kondisi daerah.

Belakangan ini, perda syariah kembali menjadi perbincangan hangat di kalangan politikus Indonesia, termasuk para pakar hukum. Tapi para pemerhati budaya belum sempat ambil bagian. Padahal, setiap perda erat kaitannya dengan budaya setempat.

Kebijakan soal perda syariah (atau semacamnya) muncul sebagai bagian dari aspirasi atas pentingnya prinsip kebijakan atas otonomi daerah. Kebijakan atas pentingnya otonomi daerah mengacu pada dua hal penting: pertama, respons atas watak sentralistik rezim Soeharto selama 30-an tahun; kedua, mengamanatkan bahwa Indonesia itu beragam. Satu kebijakan belum tentu tepat diimplementasikan di semua daerah. Perbedaan agama, bahasa, kultural, dll, harus menjadi pertimbangan, termasuk dari sisi ekonomi.

Kalau menilik dari nalar di atas, perda syariah itu bukan hanya sah, tapi juga kontekstual. Legitimasi politiknya ada, legitimasi hukumnya juga ada, dan punya landasan filosofis serta sosiologis. Apalagi, pembuatan perda itu otomatis sudah diawali dengan ‘pertarungan’ demokrasi. Di tingkat legislatif sudah ada pemilu, di tingkat eksekutif sudah ada pilkada. Jadi sah pula secara nalar demokrasi.

Jadi, kenapa perda syariah dianggap bermasalah?

Saya kira, orang-orang atau kelompok masyarakat yang merasa bermasalah dengan perda syariah bisa dikelompokkan menjadi dua. Pertama, mereka yang merasa paranoid atas satu kasus agama, yang kasus semacam itu takut menyebar ke semua wilayah Indonesia. Kedua, aspirasi masyarakat sipil setempat berdasarkan pengalaman ketika perda tersebut diberlakukan.

Keberatan itu juga sah. Sebab mereka juga warga negara. Dan warga negara yang baik, berhak melayangkan nota keberatan dan bahkan protes keras atas kebijakan yang dianggap tidak pas dan tidak pantas. Asumsinya bisa beragam. Salah satunya, tidak ada jaminan bahwa proses demokrasi yang dilalui dalam pemilu dan pilkada, akan menghasilkan rezim daerah yang juga demokratis. Dengan begitu, masyarakat sipil berhak mengoreksi dan keberatan dengan kebijakan tersebut.

Persoalannya adalah kita sudah memilih jalur demokrasi liberal dengan sistem elektoral langsung. Dalam hal ini, perubahan kebijakan tidak bisa lewat jalan lain. Hanya ada dua pintu: legislatif dan eksekutif. Jalur advokasi yang tersedia pun pasti masuk ke kedua lorong tersebut.

Dengan memahami nalar di atas maka kita bisa mendudukkan perkara ini dengan jernih. PSI yang punya agenda keberatan dengan berbagai perda syariah, punya hak untuk memperjuangkan keberatannya. Sebab PSI adalah partai politik yang sah dan diakui untuk bertarung pada pemilu legislatif 2019.

Sementara PKS yang berupaya membantah (baca: melawan) argumen PSI juga tepat. PKS juga partai politik yang diakui dan punya kursi baik di daerah maupun pusat. Maka pertarungan ini sesungguhnya pertarungan politik biasa saja. Dan itu bagus-bagus saja. Sebab banyak partai di Indonesia, yang kalau tidak ada pertarungan gagasan dan agenda politik, malah lucu. Lalu apa gunanya ada banyak partai politik?

Namun yang patut dicermati adalah jika perda syariah itu sudah melanggar batas etis kaidah universal yang kita sepakati bersama, atau tidak kontekstual dengan kondisi daerah. Misal, di Bali akan jadi pertanyaan politik penting jika ada perda syariah yang justru mengakomodasi hukum Islam. Padahal mayoritas warga Bali beragama Hindu.

Hal lain, setiap partai politik harus paham bahwa masyarakat itu dinamis. Apa yang terjadi di masyarakat tak pernah mandek. Kesadaran mereka bergerak. Parpol harus mampu menangkap bukan hanya jagat batin masyarakat setempat, tapi juga dinamika pergerakan kesadaran masyarakat.

Di titik itulah, parpol diuji nyali dan sikap kritisnya, dalam membela aspirasi warga.

Exit mobile version