Letak Kita dalam Masalah Corona

es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres

MOJOK.COSalah satu kemampuan manusia adalah melakukan permenungan terhadap setiap masalah yang dihadapinya. Demikian juga ketika kita menghadapi persoalan pandemi corona.

Banyak orang dulu mengeluh betapa internet, terutama media sosial, menjadi ajang penyebaran kebencian. Banyak orang bilang, pandemi corona makin simpang siur karena media sosial. Tapi pernahkah kita berpikir bagaimana seandainya kita menghadapi virus corona tanpa internet dan media sosial? Berapa banyak informasi penting yang tidak tersampaikan dengan cepat? Bagaimana bisa seruan “di rumah aja” atau “stay at home” bisa disebarkan ke masyarakat luas? Letak persebaran corona bisa dipantau oleh publik dengan relatif baik lewat perkembangan teknologi informasi. Berbagai gerakan sosial membantu menyelesaikan corona juga dilakukan lewat berbagai aplikasi teknologi informasi. Tinggal mana yang Anda pilih, apakah menggerutu karena banyaknya disinformasi, atau membantu menyebarkan informasi yang tepat dan berdaya guna.

Corona membuat kita takut lalu masuk ke jurang pesimistis. Tapi sekaligus kita mengerti bahwa ketakutan adalah alarm paling purba yang dimiliki manusia untuk menjaga keberlangsungan eksistensinya. Takut menjadi titik pijak untuk waspada dan bertindak. Takut membuat orang berusaha. Takut bisa berevolusi menjadi sikap optimistis. Tinggal kita mau memilih yang mana.

Tinggal di rumah bisa membuat kita stres. Namun, di sisi yang lain, kita bisa berinteraksi lebih berkualitas dengan anggota keluarga. Rumah yang dulu hanya menjadi persinggahan untuk istirahat dari kerja, berubah menjadi tempat yang bisa membantu kita selamat dari pandemi corona. Pilihan ada di tangan kita, mau berlama-lama stres atau bangkit mengambil pundi-pundi hikmah selama berada di rumah.

Corona menghantam banyak lini bisnis. Sebagian besar dari kita adalah korbannya. Mungkin ketika pandemi ini berakhir, kehidupan bisnis kita bukan dimulai dari nol melainkan dari minus. Tapi sekaligus kita menjadi tahu, ada hal yang tak mungkin sesuai dengan rencana kita. Ada hal yang jauh lebih buruk dari rancangan bisnis terburuk yang pernah kita buat. Selama ini kita mungkin menganggap bahwa slogan “rencanakan yang terbaik, persiapkan yang terburuk” sebagai hal yang tak perlu ditakuti. Kini semua hadir nyata dan faktual dalam kehidupan kita. Ini mungkin akan membuat kita lemah dalam waktu yang lama, tapi sekaligus membuat kita punya pengalaman personal dan sosial yang penting untuk berjalan lebih tegap ke depan.

Perkembangan peradaban membuat kita makin egoistis. Kamu bersama urusanmu, aku bersama urusanku. Corona memorak-porandakan konsep itu. Kamu bisa menularkan corona kepadaku, dan aku bisa menularkan corona kepadamu. Dan kita makin sadar bahwa sebagaimana setiap pandemi serta tragedi, kemanusiaan akan kembali mempertautkan kita.

Mencari uang dan memupuk kekayaan telah menjadi mantra penting dalam kehidupan manusia mutakhir. Tapi uang dengan cepat lepas, kekayaan dengan cepat bisa kandas. Bahkan yang masih punya uang dan kekayaan ada pada titik di mana mungkin tidak bisa menjamin kehidupan. Dari sini kita bisa melihat cakrawala kehidupan lebih luas lagi. Merenungkan kehidupan lebih dalam dan lebih lembut lagi.

Corona menautkan kembali kemanusiaan kita yang sempat koyak. Menunjukkan dengan gamblang bahwa kerja sama dan komunitas yang sudah lama kita tanggalkan menjadi modal sosial yang tak terbantahkan. Sekecil apa pun usaha kita untuk melakukan kontribusi, menetapkan pilihan kita pada satu titik di dalam peta komunalitas dan kerja sama umat manusia.

Dan lewat corona, kita mungkin makin sadar, hidup ini singkat. Manusia adalah makhluk yang rentan dan rapuh. Kesombongan dan keserakahan membuat kita terus merusak alam, mengeksploitasinya seakan tak peduli itu semua adalah titipan dari generasi yang akan datang. Hidup manusia memang singkat, tapi manusia adalah makhluk yang harus bertahan sampai panjang. Bumi ini bukanlah sesuatu yang kita wariskan kepada generasi mendatang, melainkan sesuatu yang kita pinjam dari generasi mendatang.

Kita yang jarang merenung, corona memaksanya. Sebagaimana ujaran penting seorang filsuf: hidup yang tidak bisa direnungkan adalah hidup yang tak perlu dilanjutkan.

BACA JUGA Lockdown Mandiri ala Kampung di Yogya dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.

Exit mobile version