Ketika Wak Kadirun Marah

KEPALA SUKU-MOJOK

KEPALA SUKU-MOJOK

Sudah dua minggu Wak Kadirun tidak ke masjid. Dia pergi menjenguk keluarganya di daerah Lamongan. Begitu pulang, dan mau salat Ashar di masjid, sepasang matanya tampak melotot.

“Fud, siapa yang memasang pengumuman itu?” tanya laki-laki berusia 50-an tahun yang terkenal lugas dan tegas itu.

Mahfud, si ketua remaja masjid, nggregeli. Dia tahu betul watak Wak Kadirun. “Saya yang memasang, Wak…”

“Copot.”

Mahfud ragu. Dia serba salah. Dua temannya lain, juga tampak pucat. “Copot, kubilang…” suara Wak Kadirun pelan tapi bergetar seperti suara petasan bumbung.

Mahfud akhirnya bangkit, lalu mencopot kertas bertuliskan: “Anak kecil dilarang salat Jumat di masjid.”

“Wak…” Mahfud melipat kertas itu, lalu menggulungkan ke Wak Kadirun. “Ini kesepakatan warga masjid, Wak. Jadi baiknya, diobrolin.”

“Ya. Kumpulkan semua habis Isya’ nanti,” ucap Wak Kadirun dengan dingin. “Sudah, ayo salat Ashar…”

Malamnya, sehabis jamaah salat Isya’, berkumpul sekira 20-an orang di beranda masjid. Ada para pengurus masjid, para imam, remaja masjid, dan beberapa orang yang dituakan. Keadaan agak tegang.

Mahfud kemudian membuka suara, memaparkan apa yang terjadi sore harinya. Dia memberi penekanan agar masalah ini dibicarakan baik-baik, dan tidak menjadi polemik yang berlarut-larut.

Haji Hambali, salah satu donatur masjid, bersuara. “Wak Kadirun, kamu tidak bisa sembarangan seperti itu. Ini hasil kesepakatan semua pihak.”

“Ya, Wak.” Kali ini Yai Murtado yang ngegongi. “Anak-anak itu sudah cenderung mengganggu kekhusyukan jamaah salat Jumat. Mereka teriak-teriak. Ramai. Lari ke sana ke mari.”

“Jamaah pada protes, Wak. Kita harus akomodir protes mereka,” suara dari Pak Toyib, Guru Agama di SD kampung itu, ikut nimbrung.

Wak Kadirun diam. Sepasang matanya yang tajam beredar. Orang-orang merasa tidak jenak. “Sudah? Ada yang mau komentar lagi?”

Orang-orang diam. Tapi diam mereka bukan berarti takut. Mereka siap mendebat Wak Kadirun.

“Pertama, coba aku pengin tahu, ada tidak riwayat dari Kanjeng Nabi yang tidak memperbolehkan anak-anak di masjid?”

“Lha kan semua tidak harus ada dalilnya, Wak?” Mahfud mulai menyerang.

“Aku tahu. Tapi aku tanya hal ini dulu. Hal yang biasanya dipakai untuk landasan perdebatan,” sahut Wak Kadirun cepat.

Orang-orang tampak berpikir keras. “Pernah dengan riwayat Kanjeng Nabi yang salat dengan hati-hati karena kedua cucunya, Hasan dan Husein, sedang bergelayut dan minta dimanja Sang Kakek?”

“Kita kan bukan Kanjeng Nabi, Wak…” kali ini Anas, wakil ketua remaja masjid yang membantah.

“Lha itu semua tahu! Kita memang bukan Kanjeng Nabi! Ngomong kok gak ada artinya…” Suara Wak Kadirun menggelegar.

“Bahwa dua hal itu mestinya sudah cukup memberi tahu kepada kita bahwa anak-anak itu ya tidak apa-apa di masjid. Bagus. Merekalah penerus kita. Lebih baik mereka berlarian dan bermain di masjid daripada berlarian dan bermain di jalanan….”

“Dan namanya anak-anak, sudah sunatullah kerjanya bermain-main. Apa yang salah? Ibadah anak-anak ya bermain. Kalau ada anak-anak sudah salat khusyuk itu malah nganeh-anehi. Nggak masuk akal…”

Orang-orang saling berpandangan. Siap membantah. Tapi sebelum ada salah satu yang bersuara, Wak Kadirun kembali berkata, “Siapa yang merasa kekhusyukannya terganggu karena polah anak-anak kecil itu?”

Semua orang mengangkat tangan.

“Benar?” tantang Wak Kadirun.

“Ya, Wak!” Hampir berbarengan mereka bersuara.

“Kalau anak-anak kecil itu sudah tidak lagi salat Jumat di masjid, siapa yang bisa menjamin salat kalian jadi khusyuk?”

Orang-orang kembali berpandangan. Mereka tampak ragu…

“Ayo, acungkan tangan bagi yang yakin kalau anak-anak itu nggak ada di masjid kemudian salatmu jadi khusyuk. Ayo, mana orangnya?”

Kembali orang-orang celingukan. Beberapa akan mengangkat tangan, tapi segera mengurungkan.

“Kalian ini punya kebiasaan menyalahkan orang. Tidak khusyuk itu persoalan di dalam dirimu. Kalau memang salatmu khusyuk ya khusyuk saja. Tidak khusyuk kok yang disalahkan anak-anak kecil…”

“Kalian berusaha khusyuk itu baik. Anak-anak di masjid itu baik. Mereka bercanda di masjid juga baik, namanya juga anak kecil…

“Memangnya kalian waktu kecil gak bercanda di masjid? Kamu, Muf, Nas, memangnya kalian waktu kecil nggak mbeling apa waktu di masjid?”

Mahfud dan Anas langsung menundukkan kepala.

“Lha wong kelakuan kalian waktu kecil juga begitu, kok sekarang hobi nyalahin anak kecil. Jadi orang itu mbok jangan berlebihan. Mestinya kalian bersyukur, anak-anak kecil itu mau di masjid. Dikasih tahu pelan-pelan. Dididik yang baik. Main larang saja. Kayak sudah paling benar saja!”

Habis berkata begitu, Wak Kadirun bangkit. Lalu dia berkata, “Masih mau dilarang lagi anak-anak salat Jumat di masjid?”

Kembali orang-orang saling berpandangan. Tapi kemudian menundukkan kepala.

“Masjid itu rumah Allah. Siapa saja boleh datang di sini. Termasuk anak-anak. Dan anak-anak punya dunianya sendiri. Allah yang menciptakan mereka. Jangan bikin larangan yang aneh-aneh. Larangan yang malah bisa bikin Allah murka.”

Wak Kadirun lalu pergi, keluar dari masjid. Mampir ke salah satu warung kopi. Pesan nasi goreng pedas kesukaannya dan segelas kopi. Sambil jedal-jedul ngudud dengan tenang.

Exit mobile version