Ketika AS Roma Mengalahkan Barcelona: Sebuah Pengakuan

KEPALA SUKU-MOJOK

KEPALA SUKU-MOJOK

MOJOK.CO Kemenangan AS Roma atas Barcelona bukan keajaiban, melainkan buah kerja keras para pemain, kejelian dari pelatih, dan dukungan luar biasa dari Romanisti.

Saya kira, hampir sebagian fans AS Roma tidak begitu bersemangat menyaksikan laga kandang saat Roma menjamu Barca di leg kedua babak delapan besar Liga Champions. Pasalnya sederhana saja, saat tandang, Roma dikalahkan Barcelona dengan skor telak: 4-1.

Dengan hasil seperti itu, lalu mempertimbangkan kualitas pemain kedua kesebelasan, wajar jika romanisti hanya berharap hasil yang tak begitu mengecewakan pada leg kedua. Kalau kalah ya jangan banyak, sokur bisa seri, dan lebih baik lagi jika menang walaupun tipis. Menang 2-1 atau 1-0 bagi Roma saja sudah cukup menghibur.

Wajar pula jika orang seperti saya yang sudah 18 tahun mencoba setia mencintai Roma, saat membaca pernyataan Ramon Redriguez Vardejo alias Monchi, sang Direktur Olahraga Roma, yang dengan nada optimistik menyatakan bahwa Roma bisa menang tiga gol saat menjamu Barcelona, saya hanya bisa tersenyum kecut. Saya lebih lama mencintai Roma dibanding dia.

Ketika sang pelatih, Eusebio Di Franscesco alias Difra menyatakan bahwa Roma bisa saja memiliki keajaiban mengalahkan Barcelona dengan skor 3-0, saya juga tersenyum masam. Teringat di kepala saya, racikan anehnya saat tandang ke Barcelona. Tapi Difra jelas jauh lebih dulu mencintai Roma dibanding saya. Dia mantan pemain penting tim serigala ibukota.

Tapi siapa pun fans Roma bakal cukup gembira ketika Difra membuat terobosan skuat dengan menggelar formasi yang agak ganjil: 3-4-1-2. Dengan menempatkan tiga bek di depan kiper, lalu memasang 4 pilar pemain tengah, dan menempatkan Nainggolan sebagai trequartista yang akan menyuplai bola kepada dua penyerang: Edin Dzeko dan Patrik Schick.

Menempatkan dua striker yang timpang secara prestasi dan kapasitas, jelas bukan sesuatu yang menarik. Tapi posisi Nainggolan dan memasang 3 bek lalu menempatkan 4 pilar di tengah, jelas ini formasi yang menjanjikan. Setidaknya bagi saya, terlihat ada upaya jelas dari Difra untuk memenangi lini tengah, dan menempel ketat dua striker Barca yang dikenal buas: Lionel Messi dan Luis Suarez.

Rasanya, mungkin dengan formasi itu, Roma punya peluang untuk menang tipis. Kalaupun toh skenario itu tidak berjalan dengan baik, paling hanya akan mengganti Schick dengan Cengiz Under atau Stephan El Shaarawy. Itu sih pikiran saya.

Tapi faktanya, Roma langsung menghadapi beberapa manuver cepat Messi, yang akhirnya hanya bisa membuat saya kembali pesimistis, paling banter ini akan imbang. Lagian, di luar dugaan, Barca memainkan semua pemain kunci. Seakan ajang pembantaian akan diulang di Stadion Olimpico.

Namun, harapan kembali bangkit saat Dzeko melesakkan gol pertama di menit ke-6. Asa mulai menyala. Bisalah ini menang tipis 2-1. Atau kalau mau seru ya 3-2.

Setelah itu, banyaknya peluang Roma yang gagal membuahkan gol tidak membuat saya pesimis. Justru menggembirakan. Seru. Deg-degan. Sekaligus merasa ada yang aneh. Barca bermain seperti tanpa nyawa. Messi sesekali membahayakan. Tapi selebihnya, dia hanya seperti striker semenjana.

Lini tengah Barca bahkan boleh dibilang amburadul. Permainan salah satu tim terbaik dunia ini seperti tanpa visi yang jelas. Saat babak pertama usai, harapan saya mulai tumbuh lagi. Kayaknya Roma bisa menang 2-0. Tetap tidak lolos, sih, tapi setidaknya agregat gol Roma tak begitu memalukan.

Namun, sekian menit setelah babak kedua dimulai, meskipun daya gedor agak menurun, tapi saya melihat ada sesuatu yang sedang diincar Roma. Para pemain tenang, fokus, tapi tetap tak mengendurkan serangan.

Kreasi serangan datang dari semua lini. Dan tepat di saat Dzeko dilanggar Gerard Pique, mungkin muka saya pucat dan berkeringat. Bagaimana tidak? Di satu sisi, harapan berkecambah. Di sisi lain, agak lemas karena yang mengeksekusi penalti adalah Daniele De Rossi.

Ya, memang mestinya De Rossi yang mengambil penalti karena Diego Perotti tidak main. Hanya saja, De Rossi bukan eksekutor penalti yang baik. Tapi lhadalah! Gol juga. Walaupun arah tendangan De Rossi bisa dibaca dengan baik oleh Marc-Andre Ter Stegen.

Entah kenapa, saat itu pula, saya diam-diam menaikkan harapan. Kayaknya bisa Roma menang 3-0. Dengan demikian, sekalipun agregat gol kedua kesebelasan sama, tapi Roma yang lolos karena agresivitas gol tandang.

Dada saya makin dag-dig-dug. Tapi gila, Roma tetap bisa mengontrol irama pertandingan. Kesempatan emas beberapa kali sempat singgah ke Barcelona, namun Alisson Becker tampil gemilang. Sangat gemilang. Ya dia memang hebat sih. Salah satu kiper terhebat yang pernah dimiliki Roma, setidaknya selama saya mulai menjagoi klub ini.

Persis ketika Manolas membuat gol, saya hanya bisa kamitenggengen. Apa? Gol? Haaaaah? Gooool? Gak salaaaaah? Ya. Gol.

Gol. Benar gol. Ya. Beneran. Gol beneran. Saya cuma ndomblong. Dan bersorak telat. Telat sekali. Kaki dan tangan saya makin dingin. Dada saya makin deg-degan. Apalagi setidaknya dua kali, Barca hampir membuat gol.

Ketika peluit panjang berakhir, saya menitikkan air mata. Ini bukan keberuntungan. Ini kemenangan yang bersih. Lahir dari strategi yang bagus, mental pemain yang hebat, dan tentu saja fans Roma yang memadati stadion.

Tiga gol yang rasanya mustahil. Aneh. Susah digambarkan bagaimana perasaan saya. Perasaan yang mungkin akan tertinggal lama. Kegembiraan yang susah dibayangkan. Barca datang dengan percaya diri. Memiliki barisan pemain hebat. Berbekal kemenangan telak. Tapi Roma mampu menjamu dengan luar biasa. Bukan. Ini bukan keajaiban sebagaimana yang dilansir banyak media massa.

Saya juga tidak bisa mengatakan bahwa permainan Barca buruk. Memang tidak cemerlang, tapi bukan buruk. Dan yang membuat Barca bermain tidak cemerlang karena pemain-pemain Roma bermain gemilang.

Bukan. Ini bukan keajaiban sebagaimana banyak orang bilang. Bukan. Roma memang sedang hebat.

Tidak salah rasanya jika kemudian saya punya harapan Roma akan memenangi Liga Champions. Sudah begitu jelas di mata saya. Tapi segera saya redam sedikit perasaan itu. Bukan apa-apa, belajar dari yang sudah, kalau Roma diberi harapan tinggi, biasanya hasilnya mengecewakan.

Tapi Roma bakal menjuarai Liga Champions kok. Kalau Chelsea dan Barca bisa digasak 3 gol tanpa balas, hal yang sama pun bisa dilakukan kepada tim lain yang tersisa.

Exit mobile version