MOJOK.CO – Inilah beberapa strategi yang bisa Suzuki terapkan supaya tidak terpuruk dan hilang. Salah satunya meniru sisi gelap Honda dan Yamaha.
Kami bertemu di sebuah kedai minuman dalam acara reuni dadakan pada liburan akhir tahun lalu. Namanya Mawar, atau sebut saja begitu, dan dia adalah mantan bos saya bertahun-tahun silam. Saat itu, saya masih bekerja di dealer motor Suzuki miliknya.
Sebenarnya ini akan menjadi reuni yang menyenangkan bila saja kami tak menyinggung bekas dealernya dulu. Namun, kesamaan tempat kerja membuat kami, mau tak mau, menyenggol topik sensitif itu. Lagipula, dia datang kemari naik Avenis, motor Suzuki yang tampang depannya mirip keledai.
“Itu motor terakhir di dealerku, Mit,” ujarnya dengan intonasi seberat seseorang yang terpaksa mengaku di depan orang tuanya bahwa dia adalah gay. “Sekarang dealernya udah jadi warung seblak.”
Saya menyukai pendekatannya yang pragmatis dalam berbisnis; orang-orang Jombang tampaknya memang butuh lebih banyak warung seblak ketimbang dealer motor. Akan tetapi, kecintaan pada Suzuki memaksa kami untuk merumuskan hal-hal yang semestinya didengarkan oleh para petinggi Suzuki di Indonesia, siapa pun mereka.
Berbagai saran untuk Suzuki
Saya sebenarnya pernah menulis serangkaian saran kepada Suzuki lewat Mojok. Intinya adalah menyarankan mereka untuk meniru langkah Kawasaki dengan membangun ulang citra jenama dan mengubah segmen pasar. Dua langkah itu berhasil membikin Kawasaki berubah, dari pabrikan pupuk bawang menjadi pemimpin pasar sepeda motor sport di Indonesia.
Itu tulisan 3 tahun lalu, dan tampaknya tak ada yang berubah pada Suzuki hingga hari ini. Barangkali hal itu disebabkan oleh keengganan para petinggi untuk meniru strategi Kawasaki. Ya ini hal wajar mengingat keduanya pernah bersaing sengit untuk memperebutkan remah-remah pasar.
Maka, ketimbang menyuruh mereka untuk meniru sesama medioker, kami menyarankan untuk sekalian meniru para juara penjualan sepeda motor di tanah air. Siapa lagi kalau bukan Yamaha dan Honda? Jadi, wahai petinggi Suzuki, bacalah tulisan ini baik-baik
Resep andalan Honda dan Yamaha
Ada satu resep andalan yang membikin Yamaha dan Honda begitu moncer penjualannya. Resep tersebut bukan terletak pada model terbaik atau harga termurah, melainkan layanan purnajual yang mumpuni.
Begini. Kita tahu kalau sepeda motor sejatinya adalah perkakas yang agak rewel. Untuk menjamin performanya tetap tokcer, kita mesti membawanya ke bengkel sebulan sekali demi mengecek ini-itu meskipun. Padahal motor tak menunjukkan gejala ngadat dan ada pula beragam oli yang mesti diganti dalam periode tertentu.
Lantas, ke mana pelanggan mesti membawa motornya untuk mengerjakan itu semua? Tentu saja ke bengkel. Tetapi, ada begitu banyak bengkel dengan kualitas pengerjaan dan layanan yang beragam. Pelanggan tentu tidak punya waktu untuk melakukan survei bengkel satu demi satu.
Maka, Honda dan Yamaha menciptakan bengkel motornya sendiri. Bengkel-bengkel resmi ini terstandarisasi dengan ketat sehingga pelanggan dijamin mendapatkan kualitas pelayanan dan pengerjaan yang sama. Pokoknya tak peduli mereka memasukkan motornya ke bengkel resmi di Gunungkidul atau Kepulauan Bacan.
Layanan purnajual yang apik ini mendorong calon pelanggan untuk mantap memilih produk Honda dan Yamaha. Kesetiaan ini kemudian mendongkrak permintaan dan berefek pada melambungnya penjualan.
Layanan purnajual pula yang membikin harga produk seken kedua pabrikan tersebut relatif stabil. Pembeli motor bekas berasumsi bahwa, mengingat jumlah bengkel resminya yang sebanyak gugus galaksi di alam semesta, motor seken tentu telah dirawat sesuai kaidah buku petunjuk oleh pemilik sebelumnya.
Maka, Suzuki, bikinlah bengkel resmi sebanyak-banyaknya. Terapkan standardisasi yang ketat pada bengkel resmi tersebut.
Suzuki perlu menetapkan standar
Bengkel motor Suzuki di dealer tempat saya bekerja dulu tak mempermasalahkan montir yang memakai sandal dan kaos saat bekerja. Seto, montir tersebut, memanglah montir jempolan. Saya yakin dia bakal direkrut tim MotoGP berakal sehat manapun andai mampu berbahasa Inggris dan berani mengirim lamaran.
Tapi, pelanggan tak tahu itu. Mereka menilai tentu dari kesan pertama. Dan kesan macam apa yang muncul dari montir bengkel resmi yang tak berseragam?
Lupakanlah dulu ide membikin ribuan dealer. Orang zaman sekarang bisa beli motor lewat toko daring. Dan Suzuki semestinya memaksimalkan penjualan daring semestinya mengingat kantong mereka yang tak dalam.
Tapi, belum ada metode servis motor via daring, sehingga Suzuki mestinya mengalokasikan dananya untuk membikin bengkel resmi saja. Dengan jaminan bahwa motor puluhan juta mereka akan tertangani dengan standar yang baik dan ketat, pelanggan lama akan kembali melirik Suzuki dan pelanggan baru akan tercipta. Desain norak, ah, itu hanya perkara selera.
Baca halaman selanjutnya: Bikin produk yang …