Yang Cina Ajarkan ke Dunia untuk Melawan Corona

MOJOK.COSatu-satunya sektor ekonomi Cina yang tak turun karena corona: angka pengangguran! Ya, angkanya naik 6,2%. Mereka tak peduli itu untuk sementara waktu.

Sun Simiao, tabib sohor era Dinasti Tang berjuluk “raja obat” (yao wang), mengkristalkan kata pengantar Qian Jin Fang (Resep Seribu Emas), dengan pernyataan begini:

Ren ming zhi zhong, you gui qian jin; yi fang ji zhi, de yu yu zhi.

Terjemahan ugal-ugalannya kira-kira:

“Betapa berharganya nyawa manusia, lebih mahal dari seribu emas harganya; barang siapa bisa menyelamatkannya, maka terpuji benar akhlaknya.”

Wejangan ini barangkali langsung terlintas di benak Presiden Xi Jinping begitu pada 20 Januari corona dipastikan bisa menular dari orang ke orang oleh dr. Zhong Nanshan.

Hanya butuh dua hari bagi Xi Jinping untuk pada tanggal 22 menitahkan pengontrolan secara ketat dan menyeluruh orang-orang yang akan keluar/masuk Provinsi Hubei di mana Wuhan, ibu kotanya, adalah episentrum virus corona.

Dan, cuma perlu sehari bagi Pemkot Wuhan untuk mengejawantahkan perintah presiden itu dalam bentuk lockdown kota. Libur dulu itu debat kusir. Semuanya harus sigap. Tak ada tawar-menawar. Ini nyawa, soalnya, bukan gorengan.

“Mulai hari ini, seluruh aktivitas wisata dihentikan. Seluruh perjalanan dinas dibatalkan. Seluruh acara promosi investasi distop.”

Begitu beberapa poin pengumuman Pemprov Hubei, sekitar jam 11 malam, selepas Wuhan resmi di-lockdown pada 23 Januari pukul 10 siang. Keputusan seradikal itu jelas mensyaratkan ekonomi Cina dijadikan tumbalnya.

Biro Statistik Nasional Cina baru-baru ini mengeluarkan datanya. Sepanjang Januari sampai Februari, produksi industri Cina melorot 13,5%, sektor jasa menurun 13%, penjualan ritel tersungkur 20,5%, ekspor tiarap 15,9%, investasi terjun 24,5%.

Tidak ada indikator ekonomi Cina yang tidak turun kecuali satu: jumlah pengangguran! Ya, angka pengangguran Cina selama 2 bulan itu naik 6,2%.

Itu yang skala nasional.

Yang di Wuhan? Jelas nyungsep berjemaah juga: investasi 72,9%, penjualan ritel 42,1%, produksi industri 32,6%, ekspor 28,8%.

Tapi tak masalah. Saya baru membaca riset kuantitatif yang dipublikasikan daring di majalah Science pada 31 Maret kemarin. Judulnya “An investigation of transmission control measures during the first 50 days of the COVID-19 epidemic in China“.

Ditulis keroyokan oleh Huaiyu Tian, ilmuan Beijing Normal University, beserta kawan-kawannya dari kampus-kampus ternama dunia. Mereka bilang dalam penelitiannya itu bahwa lockdown Wuhan telah berhasil memperlambat 2,91 hari tibanya corona ke daerah lain.

Daerah lain yang melakukan langkah-langkah preventif lebih dulu, masyarakatnya lebih sedikit yang terpapar corona ketimbang yang menerapkan belakangan. Bayangkan, andai pemerintah Cina tidak segera me-lockdown Wuhan, ketika yang kena corona di Wuhan hampir 38 ribu orang pada 19 Februari, tepat di hari ke-50 corona mewabah ini kemungkinan akan ada 744 ribu orang di luar Wuhan yang tertular corona!

Untungnya mimpi buruk itu tidak terjadi. Yang ada sekarang, dibandingkan dengan yang meninggal, nyawa rakyat Cina yang terselamatkan berkat lockdown dan usaha-usaha medis nan intensif jauh lebih banyak. Di Wuhan, misalnya, dari sekira 50 ribu orang yang kena corona, yang meninggal “Cuma” 2.567, sementara yang sembuh 46.611.

Namun, seandainya lockdown Wuhan lebih awal 5 hari dari tanggal 23 Januari, pengidap corona di Cina sebenarnya bisa hanya 1/3 dari yang sekarang yang sejumlah 82 ribuan.

Itu kata dr. Zhong Nanshan dalam penelitiannya, “Modified SEIR and AI prediction of the epidemics trend of COVID-19 in China under public health interventions“, yang dimuat di Journal of Thoracic Disease.

Tentu itu bukan sekadar angka-angka statistik belaka bagi pemerintah Cina. Sekalipun terkesan “sukses”, Cina tetap meratapinya.

Buktinya, Sabtu tanggal 4 April kemarin Pemerintah Cina menggelar upacara Hari Berkabung Nasional untuk mengenang mereka yang jadi korban corona. Seluruh instansi pemerintahan diharuskan mengibarkan bendera setengah tiang. Segala macam hiburan dihentikan.

Pukul 10 siang Xi Jinping memimpin upacaranya. Mobil, kereta, dan kapal diminta membunyikan klakson. Alarm peringatan juga dibunyikan dari udara. Semua rakyat Cina menunduk 3 menit mengheningkan cipta.

Mungkin itu belum seberapa. Dua hari sebelumnya, tanggal 2 April, dr. Li Wenliang (penemu pertama virus ini) dan 13 orang lainnya ditetapkan sebagai “lieshi” (martir). Bung pasti tahu, lieshi adalah gelar kehormatan tertinggi yang diberikan negara dan Partai Komunis Cina kepada warganya yang rela mengorbankan hidupnya demi bangsa dan negara.

Ini menyusul permintaan maaf secara terbuka dari Polresta Wuhan yang pada 19 Maret mengaku bersalah karena telah semena-mena memanggil dr. Li ke kantor polisi dengan tuduhan menyebarkan “hoaks”.

Dokter Li dijuluki sebagai “peniup peluit” (chui xiao ren) peringatan serangan wabah COVID-19. Ceritanya, ia pada 30 Desember 2019 mengirim pesan di grup Wechat kolega-koleganya bahwa ada 7 pasien yang dikarantina di salah satu cabang rumah sakit tempatnya bekerja gegara menderita penyakit mirip SARS. Pesan ini lantas di-screenshot temannya lalu diunggah ke medsos dan viral seketika.

Kepolisian Wuhan pada 3 Januari 2020 siang memanggil dr. Li dan memintanya meneken surat teguran yang berisi pernyataan akan berhenti menyebarkan “komentar palsu” yang “sangat mengganggu ketertiban umum” dan bersedia “diproses secara hukum” jika masih melanjutkannya.

Dokter Li benaran berhenti bersuara, tapi tidak kapok menangani pasien-pasien yang terjangkit corona hingga ia gugur pada 7 Februari sebab tertular virus yang sama. Padahal, jika saja pihak-pihak terkait di Wuhan mengindahkan peringatan dr. Li itu, boleh jadi corona bisa diantisipasi sejak dini.

Penganugerahan gelar lieshi kepada dr. Li ini barangkali merupakan bentuk sesal pemerintah Cina di mana Partai Komunis Cina adalah penguasa tunggalnya. Ini juga bisa kita baca sebagai ikhtiar Partai Komunis Cina untuk memulihkan citranya yang sempat tercoreng oleh “kasus Li Wenliang” itu.

Banyak pengamat Barat menengarai “kasus Li Wenliang” dan mewabahnya corona setelahnya akan menjadi semacam ‘Chernobyl moment‘ di mana ditutup-tutupinya dan lambannya penanganan meledaknya reaktor nuklir di Uni Soviet pada 1986, seperti diutarakan Mikhail Gorbachev, menjadi “penyebab utama” (main cause) kolapsnya negeri dedengkotnya komunisme itu lima tahun sesudahnya.

Hanya saja, saya pikir terlalu dini untuk menyebut mewabahnya corona akan menjadi ‘Chernobyl moment‘ bagi rezim Partai Komunis Cina. Sebab, sekarang bisa kita saksikan sendiri negara dengan pemerintahan demokratis pun naga-naganya tidak menunjukkan kinerja yang baik-baik amat dalam menangani serangan corona di negaranya.

Adakah yang akan petantang-petenteng menyebut penanganan corona di Amerika, Italia, dan Indonesia yang demokratis lebih baik dari Cina yang komunis? Coba tanyakan pertanyaan ini ke Lord Luhud: first of his name, hand of the king, lord of the many coal industry, protector of the oligarchy.

Francis Fukuyama yang meramalkan sejarah telah berakhir (the end of history) dengan kemenangan sistem pemerintahan demokratis itu baru-baru ini menulis tulisan reflektif di The Atlantic soal corona dan sistem pemerintahan negara-negara yang dilandanya.

Dalam esainya itu, Fukuyama bilang:

“Setelah pandemi ini surut, saya kira kita mesti membuang dikotomi yang kelewat menyederhanakan persoalan. Yang menjadi penentu apakah suatu negara bisa menangani krisis dengan efektif bukan lagi apakah sistem pemerintahan yang dijalankan pemerintahnya adalah demokratis atau otoriter … melainkan kemampuan pemerintahnya dan, lebih-lebih, kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya.”

Saya yakin pandemi corona bisa cepat surut di Cina karena kemampuan pemerintahnya itu—terutama kemampuan mereka untuk mengakui dan memperbaiki kesalahannya sehingga rakyat tidak kehilangan kepercayaan terhadap mereka.

“Sebenarnya siapa, sih, yang rela dibatasi kebebasannya dengan lockdown? Tapi kami bisa memaklumi sebab kami sadar bahwa pemerintah melakukan itu karena ingin wabah corona ini segera berakhir.”

Warga Wuhan bernama Gong menjawab begitu ketika saya tanyai tanggapannya mengenai pemerintah Cina yang tiba-tiba me-lockdown kotanya.

Sekarang, seiring menyurutnya wabah corona di negaranya, Cina mulai menunaikan apa yang dulu pernah diminta bekas Wakil Menlu Amerika, Robert Zoellick, agar Cina menjadi “pemangku kepentingan yang bertanggung jawab” (responsible stakeholder).

Dikirimlah bantuan-bantuan medis Cina ke mancanegara, termasuk pula ke Amerika—sekalipun ketika Cina masih sedang dalam masa-masa sulit memerangi COVID-19, baik media maupun presiden Amerika serempak mengolok-olok Cina sebagai “the real sick man of Asiayang megap-megap teserang apa yang oleh Donald Trump sebut sebagai “Chinese virus” alih-alih corona.

“Saya tegaskan bahwa sekarang adalah saatnya untuk melihat ke depan. Saya juga menyampaikan apresiasi kepada pemerintah Cina yang telah membantu pemerintah kami dalam mengekspor kebutuhan medis ke Amerika. …tidak ada negara yang bisa memerangi pertempuran ini sendirian,” tulis Duta Besar Amerika untuk Cina, Terry Edward Branstad, dalam surat terbukanya.

“Hanya Cina yang bisa membantu Serbia menangani corona. Solidaritas Eropa itu hanya dongeng di atas kertas belaka,” tegas Presiden Serbia Aleksandar Vučić dalam pidatonya yang disiarkan televisi.

“Cina siap membantu Indonesia!” Begitu pesan Wechat yang dikirimkan Konjen Cina di Surabaya, Gu Jingqi, kepada saya kapan hari.

Ironis, memang. “Mungkin corona [akan] mengubah peta kekuatan dunia dengan ambruknya Amerika,” kata Puthut EA dalam status Facebook-nya.

Entahlah. Amerika dan Barat mungkin tidak benar-benar ambruk dan peta kekuatan dunia mungkin tidak akan benar-benar berubah. Cina mungkin hanya ingin mengajari mereka mengamalkan apa yang dipetuahkan dalam jilid 1 mahakarya Sun Simiao yang saya nukil di muka itu:

Ruo you ji e lai qiu jiu zhe, bu de wen qi gui jian pin fu, zhang you yan chi, yuan qin shan you, hua yi yu zhi, pu tong yi deng, jie ru zhi qin zhi xiang.

“Kalau ada orang sakit datang meminta diobati kepadamu, kamu tidak boleh menanyainya apakah dia ningrat atau jelata, apakah dia kaya atau miskin, apakah dia tua atau muda, apakah dia cantik atau buruk rupa, apakah dia musuh atau sahabat, apakah dia beradab atau barbar, apakah dia pintar atau bodoh. Semuanya harus kamu pandang sama sebagai keluarga tersayangmu sendiri.”

BACA JUGA “Corona Series” dari NOVI BASUKI lainnya.

Penjelasan Sederhana Kenapa COVID-19 Sukses Serbu Cina (Bag. 1).

Watak Politik Cina dari SARS sampai ‘Lockdown’ Corona (Bag. 2).

‘Lockdown’ Wuhan Telat 5 Hari Aja, Korban Corona Bakal 3 Kali Lipat dari Sekarang (Bag. 3).

Cina Emang Bisa Bikin RS Saat ‘Lockdown’, tapi Indonesia Jago Bikin Ribuan Candi (Bag. 4).

Bagaimana Orang-orang Desa di Cina Melawan Corona? Apa Mirip dengan di Indonesia? (Bag. 5).

Alasan Simpel Kenapa Cina Akhirnya Bisa ‘Menang’ Lawan Corona (Bag. 6).

Yang Cina Ajarkan ke Dunia untuk Melawan Corona (Bag. 7).

Exit mobile version