Watak Politik Cina dari SARS sampai ‘Lockdown’ Corona

MOJOK.CODi saat wabah SARS dua dasawarsa lalu, Cina sempat promosi agar negerinya makin dikunjungi wisatawan. Beruntung pada kasus Corona, itu tidak terjadi.

Tanggal 20 Januari 2020 mendekati jam 10 malam. Boleh jadi itu adalah hari paling bersejarah sekaligus paling menakutkan bagi penduduk Cina secara umum dan penduduk Wuhan secara khusus. Soalnya ini menyangkut nyawa mereka di tengah tak menentunya situasi negeri lantaran COVID-19 atau corona.

“Pasti bisa menular dari orang ke orang!” tegas dr. Zhong Nanshan dalam siaran langsung wawancaranya dengan jurnalis sohor spesialis isu-isu besar, Bai Yansong, pada malam itu.

“Tenaga medis juga sudah ada yang tertular. Sudah waktunya kita tambah waspada,” imbuhnya, memperingatkan.

Tak akan ada yang mau mempermalukan diri dengan membantah pernyataan dr. Zhong yang sudah berusia 83 tahun dan memang terkenal blak-blakan itu.

Dia adalah ahli pernafasan (pulmonologi) yang diakui paling berjasa dalam penanggulangan wabah SARS yang melanda Cina pada 2003 silam. Setelah 17 tahun berlalu, pemerintah Cina memintanya turun gunung lagi untuk terjun langsung ke Wuhan mengindetifikasi corona.

Sebelum malam itu, Komite Kesehatan Wuhan dan para ahli kesehatan yang dikirim Komite Kesehatan Nasional Cina ke Wuhan untuk meneliti corona selalu berubah-ubah pendapatnya.

Tanggal 31 Desember 2019, mereka bilang, “Belum ditemukan fenomena nyata COVID-19 bisa menular dari orang ke orang, juga belum ditemukan anggota medis yang tertular, lantaran menangani pasien COVID-19.”

Tiga hari berselang, tanggal 3 Januari 2020, mereka mengubah pernyataannya: “Belum ditemukan bukti nyata COVID-19 bisa menular dari orang ke orang.” Pernyataan ini diulang kembali pada tanggal 5 dan tanggal 11 Januari. Tak ada kejelasan terkait nasib tenaga medis yang disebutkan sebelumnya.

Empat hari setelah itu, tanggal 15, pernyataan mereka diubah lagi:

“Belum ditemukan bukti tegas dan jelas COVID-19 bisa menular dari orang ke orang, tapi tidak boleh dikesampingkan kemungkinan bisa menular dari orang ke orang secara terbatas, namun risiko terus menular dari orang ke orang agak kecil.”

Benar-benar udah kayak skripsi ngilmiah yang mbulet dan tak kelar-kelar direvisi.

Dokter Zhong barangkali gregetan dengan pernyataan esuk dele sore tempe yang maksudnya sulit dimengerti macam itu. Sebab, mungkin itu mengingatkannya pada pernyataan-pernyataan Menteri Kesehatan Cina, Zhang Wenkang, ketika dr. Zhong sedang berada di garda terdepan berperang melawan SARS yang menyerang negaranya.

Dalam jumpa pers yang dihelat pada 3 April 2003, Pak Menteri Kesehatan itu berkali-kali menyatakan kepada para wartawan bahwa “wabah SARS sudah berhasil dikendalikan” seraya tak lupa menyeru orang-orang berbondong-bondong ke Cina untuk berbisnis atau berwisata karena Cina “aman”.

Iya ini serius. Di saat wabah SARS dua dasawarsa lalu, Cina sempat meminta negerinya dikunjungi wisatawan dengan cukup masif. Meski, yaaah, tak sampai mendanai buzzer untuk promosi itu sih.

Selang seminggu, tanggal 11 April 2003, dr. Zhong yang baru saja bertemu dengan perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Beijing langsung nyerocos kepada wartawan yang memberondongnya dengan pertanyaan mengenai kebenaran informasi yang disampaikan pemerintah melalui menteri kesehatan itu.

“Sudah berhasil dikendalikan apaan? Belum terkendali sama sekali!” kata dr. Zhong, ketus.

Seakan belum puas menumpahkan kekesalannya, dr. Zhong lanjut ngegas, “Virusnya berasal dari mana (patogen) nggak tahu, gimana cara mencegahnya juga nggak jelas, gimana mengobatinya pun belum nemu cara terbaik…. Sekarang wabahnya masih terus menular, kok bisa-bisanya bilang sudah berhasil dikendalikan?”

Menteri Kesehatan Cina tampaknya tak terima. Saat diwawancarai wartawan Hong Kong lima hari selepas pernyataan dr. Zhong itu, ia membuat pembelaan, “Kami tidak setuju kalau semua informasi harus diumbar ke publik. Karena itu akan membuat panik. Masyarakat nanti jadi tidak tenang hidupnya.”

Presiden Cina Hu Jintao tak tahan juga akhirnya. Sepuluh hari kemudian, 26 April 2003, diteken lah surat pemecatan Zhang Wenkang. Yup, politisinya ya kena, bukan pakarnya.

Kini, giliran Presiden Xi Jinping yang dibenturkan dengan keadaan yang hampir sama membingungkannya. Percaya sesama politisi demi stabilitas negara atau pada pendapat pakar dengan risiko ekonomi negeri jadi ambyar?

Untungnya, Xi Jinping mau ambil risiko, lebih memercayai pendapat pakar semacam dr. Zhong ketimbang pejabat-pejabat yang demen berkungfu lidah dan lebih demen main aman aja.

Buktinya, begitu tahu corona dipastikan bisa menular dari orang ke orang, Xi langsung bergerak cepat memerintahkan pembatasan secara ketat dan menyeluruh orang-orang yang hendak keluar/masuk Provinsi Hubei di mana Wuhan ada di dalamnya.

Meski akan mengakibatkan kerugian ekonomi yang parah (karena GDP Wuhan terbesar ke-9 di Cina), Xi sadar langkah itu harus dipilih karena dia tahu betul sudah kelewat banyak orang yang dengan santai keluar-masuk Wuhan lantaran sedari awal pemerintah setempat sempat bilang virus ini tidak menular dari orang ke orang.

Titah Xi untuk menyetop orang-orang keluar dari Hubei sudah terlambat, memang. Tapi jelas itu lebih baik daripada tidak bertindak sama sekali.

Bayangkan, terhitung dari dimulainya arus mudik Imlek pada 10 Januari 2020 sampai sebelum Wuhan di-lockdown pada jam 10 siang tanggal 23 Januari, ada sekitar 5 juta orang yang keluar dari Wuhan!

Maka maklum kalau Xi berang. Sang Presiden mungkin merasa dikibuli oleh bawahannya, terutama oleh petinggi Pemprov Hubei dan Pemkot Wuhan.

Coba Bung dan Nona baca pidato Xi tatkala memimpin rapat anggota tetap politbiro Partai Komunis Cina (PKC) pada 3 Februari 2020.

Di situ Xi menengarai lambannya penanganan corona di awal-awal, disebabkan oleh pemerintah daerah tertentu yang dibilangnya lebih banyak bertungkuslumus pada hal-hal yang bersifat formalitas (xingshizhuyi) dan birokratisme (guanliaozhuyi) alih-alih berfokus pada pencegahan penularan virus.

Dua hari selepas rapat dengan pemimpin papan atas PKC itu, dalam ceramahnya saat memimpin rapat ke-3 Komite Pusat Penyelenggaraan Negara Berdasar Hukum (quanmian yi fa zhi guo weiyuanhui) yang dihelat pada 5 Februari 2020, Xi kembali menuding ada pemerintah daerah yang “mencla-mencle” (zhao ling xi gai) dan “telah melakukan tindak kejahatan melanggar hukum dengan teramat parah menghalangi proses pencegahan wabah” sehingga COVID-19 menyebar ke mana-mana.

Kendati dalam pidato-pidatonya itu Xi tidak menyebut “merek”, tapi dari pencopotan Sekjen PKC Hubei Jiang Chaoliang dan Sekjen PKC Wuhan Ma Guoqiang tak lama setelah dua rapat tersebut, bisa kita tebak siapa pejabat-pejabat “nakal” daerah yang Xi bidik.

Jiang dan Ma bahkan tidak diberi muka untuk menghadiri upacara prosesi serah terima jabatan kepada pengganti mereka yang dilangsungkan pada 13 Februari 2020.

Xi berhak geram—tentu saja—tapi, boleh jadi sistem pemerintahan yang sekarang diterapkan Cina menempatkan Jiang dan Ma pada posisi yang dilematis. Kalau mereka melaporkan yang sebenarnya kepada pemerintah pusat, mereka mungkin takut dicap tak becus dalam memerintah. Sementara kalau langsung mengambil langkah politis dengan menutup kota padahal pemerintah pusat tidak memerintahkan, misalnya, mereka mungkin takut dicap membangkang.

Maklum, dalam sistem pemerintahan Cina, status pemerintah daerah tak lebih dari kepanjangan tangan pemerintah pusat belaka. Keputusan pemerintah daerah, wabil khusus yang terkait politik tingkat tinggi macam penanganan virus menular corona ini, sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat.

Cuma masalahnya, kebijakan politik yang akan diambil pemerintah pusat untuk daerah sangat lah bergantung kepada suguhan informasi dari pemerintah daerah itu sendiri. Tepat/tidaknya keputusan politis yang diambil pemerintah pusat untuk daerah, sangat bergantung kepada sahih/tidaknya laporan yang diterimanya dari daerah itu.

Namun demikian, sistem pemerintahan Cina yang begini ini ada kelebihannya juga: Kalau pemerintah pusat sudah mengambil keputusan, tak ada alasan bagi pemerintah daerah untuk tidak saminā wa aṭa‘. Beda dengan suatu negeri di ujung sana yang belum ambil keputusan saja sudah ribut debat kusir duluan.

Ada kalanya kayaknya kita mesti setuju pada apa yang dipetuahkan mendiang Deng Xiaoping, “Bu zhenglun, shi weile zhengqu shijian gan. Yi zhenglun jiu fuza le, shenme ye gan bucheng.”

“Tak usah berdebat, ini demi mengejar waktu supaya kita bisa bekerja. Sebab sekali berdebat malah bikin rumit segalanya. [Bakal] tak ada yang kita kerjakan sama sekali, akhirnya.”

BACA JUGA “Corona Series” dari NOVI BASUKI lainnya.

Penjelasan Sederhana Kenapa COVID-19 Sukses Serbu Cina (Bag. 1).

Watak Politik Cina dari SARS sampai ‘Lockdown’ Corona (Bag. 2).

‘Lockdown’ Wuhan Telat 5 Hari Aja, Korban Corona Bakal 3 Kali Lipat dari Sekarang (Bag. 3).

Cina Emang Bisa Bikin RS Saat ‘Lockdown’, tapi Indonesia Jago Bikin Ribuan Candi (Bag. 4).

Bagaimana Orang-orang Desa di Cina Melawan Corona? Apa Mirip dengan di Indonesia? (Bag. 5).

Alasan Simpel Kenapa Cina Akhirnya Bisa ‘Menang’ Lawan Corona (Bag. 6).

Exit mobile version