Islam Nusantara di Indonesia dan Islam Konghucu di Cina

MOJOK.CO – Meski Islam Konghucu di Cina bermazhab Hanafi dan Islam Nusantara bermazhab Syafi’i, selebihnya hampir sama. Bahkan Islam di Cina kenal sama tahlilan juga.

Sebelum masuk ke pembahasan inti, saya perlu pertegas kalau Konghucu adalah seorang mahaguru yang diagungkan dan—di Cina—ajarannya tidak dijadikan agama sebagaimana di Indonesia.

Di tanah kelahirannya, ajaran Konghucu—yang utamanya termaktub dalam kitab klasik serupa hadis berjudul Lun Yu susunan murid-muridnya yang konon berjumlah tiga ribu—tak lebih dianggap sebagai ajaran moral yang menjadi falsafah hidup fundamental orang Cina sejak baheula hingga zaman now.

Nah, yang namanya ajaran moral, ya isinya mengajarkan kita seputar tata krama. Mulai dari yang remeh-temeh tapi krusial semacam bagaimana anak sepatutnya bersikap kepada orang tua serta adab terhadap leluhur yang meninggalkan kita, sampai pada yang ndakik-ndakik seperti bagaimana negara mesti dikelola dan orang macam apa yang layak menjadi pemimpinnya.

Khusus soal yang terakhir, “politikus sontoloyo” yang demen memakai cara-cara “politik genderuwo” sudah barang tentu tidak masuk dalam kategori pemimpin ideal di mata Konghucu.

Pasalnya, dalam Lun Yu bab 2 ayat 19 dan 20, Konghucu mematok pemimpin suatu negara haruslah orang yang bisa “menghadapi rakyatnya dengan keluhuran budi” (lin zhi yi zhuang), “memberi suri teladan dengan sikap bakti dan kasih sayang” (xiao ci), serta dapat “mengangkat orang jujur dan menyingkirkan para munafikun” (ju zhi cuo zhu wang) buat menjalankan pemerintahannya.

Oh iya, sekadar bocoran, pemimpin demikian, lanjut Konghucu dalam Lun Yu bab 4 ayat 24, umumnya “pelan bicaranya, tapi tangkas kerjanya” (ne yu yan er min yu xing).

Oke, supaya nggak melebar ke mana-mana, pembahasan mengenai ajaran Konghucu yang relevan dengan perpolitikan Indonesia kontemporer, saya lanjutkan kapan-kapan. Sekarang kita bicarakan Islam Nusantara yang menjadi pokok perbincangan kita kali ini.

Begini, kendati sepertinya belum menemui pengertian yang baku, namun agaknya tak sedikit yang sepakat bahwa Islam Nusantara merupakan Islam yang berlainan dengan Islam Arab. Dianggap benar-benar dua kepercayaan yang berbeda.

Kiai Said Aqil Siradj, umpamanya, dalam wawancaranya dengan BBC, terang-terangan menyatakan Islam Arab ialah Islam yang “selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara.”

Sebaliknya, kata Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU) dimaksud, Islam Nusantara berciri “ramah, anti radikal, inklusif dan toleran” karena tempaan sejarah panjang persebarannya yang “didakwahkan [dengan cara] merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya” asli negeri kita.

Bukan cuma ulama NU yang berpendapat begitu. Profesor Azyumardi Azra selaku cendekiawan Muhammadiyah, contohnya, menegaskan Islam Arab “terlalu kering dan sederhana bagi kaum Muslimin Nusantara” yang “telah dan terus mengamalkan Islam [Nusantara] yang kaya dan penuh nuansa.”

Makanya, muslimin Nusantara yang kerap merayakan maulid Nabi dan ikut tasawuf, akan “dianggap sebagai pelaku bid’ah dhalalah (ritual tambahan sesat) yang bakal membawa mereka masuk neraka” oleh penganut Islam Arab yang pemahaman Islamnya cenderung kaku.

Jika betul Islam Nusantara dan Islam Arab berbeda, terawangan saya menunjukkan hal yang sama dengan Islam Nusantara malah justru Islam Cina, atau yang lebih dikenal dengan istilah Islam Konghucu. Dalam bahasa aseng sebut sebagai “Huiru”.

Saya rasa, yang membedakan keduanya hanyalah sebatas mazhab yang dipraktikkan: Islam Konghucu bermazhab Hanafi, sedangkan Islam Nusantara bermazhab Syafi’i. Selebihnya sih ya 11:12.

Tak percaya? Berikut saya suguhkan sekilas tiga kesamaannya. Sengaja saya ganjilkan biar nyunnah aja.

Pertama, Islam Konghucu juga disebarkan dengan pendekatan budaya. Sama seperti ketika Islam masuk ke Indonesia yang waktu itu kebanyakan masyarakatnya menganut Hindu, Buddha, atau animisme. Islam datang ke Cina kala mayoritas penduduk dan penguasa kedinastian menjadi pemeluk Buddha atau kepercayaan lokal.

Namun, alih-alih memberangus dan mengkopar-kapirkan, mubalig-mubalig Islam Konghucu malah sibuk berdakwah dan mengarang kitab demo berjilid-jilid untuk menjelaskan kepada khalayak ramai bahwa terdapat banyak titik temu antara Islam dengan kebudayaan Cina.

Walhasil, bentuk masjid dibiarkan mempertahankan corak arsitektur Cina yang lebih menyerupai kelenteng. Pun bacaan Al-Quran muslim Cina, tidak dipaksakan sefasih orang Arab melafazkan makhraj bahasanya sendiri. Alfatekah, eh Alfatihah, misalnya, dipersilakan dibaca sebagai Alefatihaiha atau Alefatiha sebab muslim Cina sulit mengucapkan huruf-huruf bersukun.

Terbukti, metode dakwah yang lebih mengedepankan esensi ketimbang emosi tersebut, berhasil membentuk karakter Islam Konghucu yang—layaknya Islam Nusantara—bersifat moderat, ramah, dan toleran. Andai dulu dai-dai di Cina gampang ngamukan, mungkinkah Islam bertahan di Cina dan Nusantara sampai sekarang? Hm, tak semudah itu, Ferguso.

Kedua, Islam Konghucu juga bermaulid Nabi dan menghelat tahlilan. Kalau tuan bepergian ke Cina di bulan maulid seperti saat ini, niscaya tak sulit menemukan muslim yang tengah berkumpul merayakan Shengji jie (Maulid Nabi) di masjid-masjid. Apalagi di wilayah Cina barat laut yang populasinya didominasi muslim semisal Ningxia, Qinghai, dan Gansu.

Acara ini biasanya dihelat cukup meriah dengan acara pengajian perihal akhlak rasul yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan shalawat bersama lantas diakhiri dengan suguhan penganan khas berlimpah buat hadirin.

Adapun tahlilan bagi muslim Cina, juga menjadi agenda penting untuk mendoakan yang meninggal. Seperti muslimin Nusantara, muslim Cina mengadakan kenduri tahlilan guna menyelamati 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari kematian.

Di Cina, tradisi tahlilan disebut “ermaili” yang merupakan transliterasi dari kata “’amal” dalam bahasa Arab. Sesuai namanya, ermaili memang ditujukan untuk beramal yang pahalanya diharapkan bisa sampai kepada yang wafat.

Bedanya, di Indonesia, wabil khusus di kampung saya, tahlilan umumnya cuma dapat makan-minum dan berkat ala kadarnya; sedangkan di Cina, sahibulhajat ermaili biasanya masih menghadiahi sejumlah uang kepada setiap yang berpartisipasi.

Kalau tahlilan meniru ermaili, bagi anak kos yang tengah ketar-ketir menghadapi tanggal tua, boleh jadi akan menjadi berkah tersendiri yang senantiasa diharapkan ketibaannya.

Ketiga, Islam Konghucu juga bertasawuf dan melakukan ziarah kubur. Muslim Cina termasuk muslim yang rajin bertasawuf dengan mengikuti tarekat-tarekat. Selain Nakeshibandiye (Naqsyabandiyah), sepemantauan saya, Kuburenye (Kubrawiyah), atau Gadelinye (Qadiriyyah) adalah tarekat utama yang cukup masif diikuti.

Tarekat-tarekat itu masih terbagi lagi menjadi beragam aliran dan cabang sesuai daerah atau mursyidnya.

Biasanya, mereka menghelat ritualnya di gongbei: makam sesepuh yang dikeramatkan. Tarekat Naqsyabandiyah aliran Hufuye (Khufiyya), umpamanya, akan menggelar zikir di gongbei-nya almarhum Ma Laichi yang notabene pencetus tarekat tersebut di Cina.

Karena itu, laiknya muslimin Nusantara, ziarah ke pusara ulama adalah hal yang lumrah dilakukan muslim Cina untuk melangkahi makamnya, aduh maaf keceplosan, maksud saya untuk tabaruk, ngalap berkah.

Begitulah kira-kira secuil persamaannya.

Sebagai informasi penutup, baik Indonesia maupun Cina, kini sama-sama dibikin puyeng oleh menjamurnya fundamentalisme, ekstremisme, dan radikalisme agama. NU menawarkan Islam Nusantara sebagai penawarnya. Meski tentu ada banyak lascar penjaga kemurnian agama yang tidak suka.

Intelektual muslim Cina juga menegaskan perlunya pribumisasi Islam ala Islam Konghucu yang akomodatif terhadap tradisi Cina untuk menangkal paham-paham radikal yang berkembang di negaranya. Bahkan sama seperti Presiden Jokowi yang mengamini Islam Nusantara, Presiden Xi Jinping juga mengamini pribumisasi Islam di Cina.

Meski begitu, justru dari hal itu saya malah khawatir. Soalnya bisa saja Islam Nusantara dituding sebagai proyek terselubung Cina lantaran kemiripan-kemiripannya dengan Islam Konghucu yang sudah diwacanakan sejak akhir pemerintahan Dinasti Ming di abad ke-16.

Akan tetapi sejak Om Prabowo Subianto bilang, “Cina sangat penting bagi Indonesia,” retorika anti aseng tampaknya sudah tak begitu renyah digoreng dadakan lagi sekarang.

Exit mobile version