Cuma Kasih Uang 50 Ribu Sehari tapi Ceraikan Istri Karena Nggak Bisa Ngatur Duit

MOJOK.CO – Suami minta cerai karena menganggap istri nggak bisa mengatur keuangan keluarga. Padahal si istri cuma dikasih uang 50 ribu sehari. Memang si suami pingin dapat istri yang kayak apa?

Suatu hari saya bertemu teman kecil saya tanpa sengaja. Saya agak lupa namanya, tetapi ingat bahwa dulu dia termasuk penggembira ormas religius yang gemar ubyang-ubyung ke sana ke mari buat menghadiri pengajian dan tadarus kelililing.

Tak bertemu sekian tahun, saya kaget ketika tiba-tiba teman kecil saya ini curhat soal perceraiannya. Lebih kaget lagi karena saya kenal dengan istrinya, setahu saya dia perempuan baik-baik dan biasa-biasa saja. Maksud saya tipe ibu-ibu yang momong anak ke sana ke mari, belanja di pasar becek, ikut arisan kampung, dan sesekali jualan Tupperware.

“Dia itu nggak bisa ngatur keuangan,” kata Randu (bukan nama sebenarnya) soal mantan istrinya. Dia masih menyebutkan sederet keburukan si istri, tapi ada satu hal yang paling saya ingat. “Dia punya utang di mana-mana. Aku nggak tahu itu. Aku baru tahu saat ada yang nagih ke aku.”

Waduh, batin saya. Soal utang “diam-diam ini” memang sering jadi penyebab kisruh rumah tangga.

“Aku nggak habis pikir, buat apa dia ngutang, wong aku sudah kasih dia uang belanja. LIMA PULUH RIBU sehari, lho! Masa uang segitu masih kurang?”

Glodak! Saya cuma bisa menjerit-jerit, “Uang segitu dapat apa, Mas? Dapat apa?” dalam hati saja, sedangkan yang keluar dari mulut saya, “Oalah.”

Dengan jatah 50 ribu sehari, agak menakjubkan sebenarnya istri si Randu nggak lari dari dulu. Saya akhirnya menangkap kesimpulan mengapa istri Randu banyak ngutang. Tapi kenapa nggak minta izin suaminya? Jelas ta, kalau minta izin nggak bakal diizinkan karena bakal diceramahi soal kewajiban istri untuk menjaga harta suami.

Oke, saya tahu uang 50 ribu bisa-bisa saja cukup, apalagi bila dikumpulkan dalam sebulan bisa mencapai satu setengah juta.  Saya tahu ada ribuan ibu rumah tangga di luar sana yang mampu bertahan dari hari ke hari hanya dengan uang belanja—mungkin—sepuluh dua puluh ribu, dan entah dengan ajian apa mereka tetap bisa membuat dapur ngebul.

Akan tetapi, benar-benar salah bila seorang laki-laki merasa sudah memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya hanya dengan 50 ribu per hari, tinggal di kota pula. Coba deh bawa uang 50 ribu ke pasar tengah kota. Dijamin, nggak sampai sepuluh menit juga sudah amblas bahkan tanpa beli daging ayam atau sapi.

Perihal cerai memang bukan urusan saya, tapi saya jelas nggak terima kalau si istri disalahkan atas tuduhan “nggak bisa ngatur keuangan”. Ngatur keuangan itu kan ya kalau banyak yang bisa diatur. Kalau sedikit itu bukan ngatur namanya, tapi njereng!

Saya tahu Randu punya dua anak, satu masih SD dan satunya TK. Artinya ada empat mulut di rumah sama bapak ibunya. Nah, kalau tiap mulut butuh dikasih makan tiga kali sehari, berarti istri Randu harus membuat dua belas porsi makan tiap hari. Kalau 50 ribu itu dibelanjakan untuk makan seluruhnya, maka satu porsi paling pol berharga Rp4.166.

Sekarang coba beli di warung paling sederhana sekali pun, uang segitu dapat apa? Nasi sayur lodeh tanpa lauk, minum minta air putih. Sudah.

Lah itu kan di warung, kalau masak sendiri harusnya lebih murah dong?

Bisa jadi, tetapi apa iya kita cuma butuh makan? Anak-anak usia segitu ya butuh jajan es dung-dung kadang-kadang, beli Hot Wheels, Kinder Joy atau minimal plembungan cethet yang seribu cuma dapat empat tiupan.

Kita juga belum menghitung printilan sekolah. Buku gambar-lah, LKS-lah, setip, sampai iuran arisan ibu-ibu pengantar anak, pokoke uakeh pengeluaran-pengeluaran kecil yang kalau dijumlahkan bikin pening juga. Sekali lagi, ngirit itu bisa dilakukan bila memang awalnya ada yang bisa diirit. Nah kalau untuk kebutuhan pokok saja kurang, mau ngirit kayak apa lagi coba?

Bolehlah, kita berduka atau marah saat pasangan minta cerai bila kita memang sudah sanggup mengupayakan yang terbaik. Sudah ngasih istri rumah mewah seisinya, mobil mewah sesopirnya, perawatan salon selengkap-lengkapnya, dan anak-anak cakep plus baby sitter masing-masing anak dua. Nggak cuma itu, memenuhi kebutuhan batin juga entah dengan menemani istri jalan-jalan ke luar negeri atau mendampingi begadang menyusui setiap malam.

Lha istri si Randu ini saya tahu masih tinggal di rumah mertua, motor saja nggak punya, dan saya yakin nggak pernah lulur mutiara dan fasial berlian. Lagian si istri juga masih bekerja serabutan, jualan ini itu, dan kadang nyebar brosur di prapatan. Tapi apa kata Randu soal ini?

“Perempuan bekerja itu adalah konspirasi orang kafir.”

Mak tratap saya mendengarnya. “Lho kok bisa gitu?” tanya saya cepat.

Serius, saya deg-degan. Maklum, saya juga perempuan pekerja. Lah kan blaik kalau ternyata selama ini saya merupakan bagian taktik kaum kafir tanpa saya sadari.

“Kalau perempuan kerja kan jadi mandiri. Kalau dia mandiri kan dia jadi berani, bisa nranyak sama suami, terus gampang minta cerai dari suami. Kalau sudah cerai, mereka akan dinikahi oleh orang kafir agar kemudian memeluk agama mereka.”

Kali ini saya nyaris ngakak sampai kejengkang. Untung saya bisa menahan diri. Lega saya karena tahu betul saya bukan bagian dari grand design orang kafir. Andai termasuk, saya terbukti menggagalkan program mereka.

Saya kerja dan suami saya kok malah makin sayang sama saya, karena kalau saya gajian, saya bisa mentraktirnya di restoran. Jadi sokooor strategi itu gagal total, malah justru mbalik kayak bumerang!

“Siapa yang bilang gitu?” Saya bertanya dengan muka yang saya setel serius.

“Ustaz di liqo.”

Ustaz di liqo itu, tutur Randu, juga mengajarkan bahwa jatah seorang laki-laki adalah 72 bidadari surga. Kalau kamu cuma kawin dengan satu orang istri di dunia, maka di akhirat kamu masih punya jatah 71 bidadari. Nah, kalau kamu mengawini empat istri, berarti jatah kamu masih 68 dan Randu kelihatannya sangat senang dengan gambaran itu karena dia baru kawin satu kali dan itu saja sudah dicerai, jadi mungkin jatahnya masih utuh 72.

“Wah, aku juga wanita bekerja lho,” kata saya dan Randu kelihatan salah tingkah lalu minta pamit. Lah kok pamit piye ta?

Padahal saya saya mau bilang, “Kok repot men orang-orang kafir mendorong wanita bekerja supaya mandiri dan berani cerai lalu bisa dinikahi dan dimurtadkan. Memangnya menikah itu gampang? Nggak perlu keluar modal lahir-batin dan materiil-moril? Nggak terancam ditindas istri? Terus kalau punya anak, memangnya nggak repot harus muterin balita naik motor keliling kampung tiap malam agar ia tertidur? Itu kan sama saja dengan berniat menjerat mangsa tapi justru terperosok ke jurang. Jauh lebih gampang mendonasikan sekardus Indomie bukan? Minimal satu pria bisa kasih Indomie ke puluhan perempuan tanpa berkewajiban nganter mereka shopping sampai kaki gempor.”

Dan sebenarnya orang-orang kafir ini sama sekali nggak perlu repot memecah belah rumah tangga orang lain bila para suami sudah merasa jumawa hanya karena bisa ngasih uang belanja 50 ribu per hari ke istrinya.

Exit mobile version