Membaca Kebiasaan Squidward Menunda Pekerjaan Lewat Psikologi

MOJOK.CO – Squidward adalah gambaran nyata bagaimana makhluk yang suka menunda pekerjaan itu nggak keren. Meski begitu ternyata kebiasaan semacam itu ada kajian ilmiahnya secara psikologi lho.

Mengerjakan sesuatu pada menit-menit akhir merupakan bagian dari kearifan lokal bangsa kita yang harus diakui justru dilestarikan dari generasi ke generasi. Selain motto rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya, ada satu lagi motto yang biasanya dipakai juga oleh Yang Mulia Squidward; “Jika bisa dilakukan besok, kenapa harus sekarang?”

Seni menunda-nunda pekerjaan seperti itu, yang bahasa keren ilmiahnya disebut prokrastinasi, merupakan seni untuk tidak melakukan pekerjaan atau aktivitas yang seharusnya bisa dilakukan di depan mata saat itu juga. Istilah ini juga merupakan pilihan sadar untuk mengerjakan hal lain yang lebih menyenangkan namun tidak relevan dengan kebutuhan. Nah, pelaku prokrastinasi suka menunda pekerjaan ini biasanya disebut dengan istilah prokrastinator. Hm, susah ya disebutnya? Namanya juga istilah ilmiah, Darling.

Prokrastinator macam Squidward, misalnya, biasanya bangga dengan diri mereka sendiri. Ujub, takabur, narsis, merasa paling hebat sendiri. Karena meskipun selalu melakukan pekerjaan di menit-menit akhir, gurita macam begini (eh, gurita apa cumi sih dia?) biasanya tetap akan bisa menyelesaikan pekerjaannya. Kasus yang terjadi, sering kali sosok prokrastinator ini mendadak memiliki banyak ide dan tingkat disiplin yang tinggi dalam waktu begitu mepet. Padahal sebelum-sebelumnya buntu mentok puter balik kayak instruksi Pringsewu Resto.

Anomali inilah yang membuat para prokrastinator sering kali jemawa dan merasa takjub dengan kemampuan dirinya.  Lalu kemudian muncul pemikiran; “Halah, kerjain mendadak begini saja bisa beres, apa salahnya menunda-nunda?”

Yang menjadi masalah bagi para prokrastinator ini adalah ia lupa diri bahwa kadang pekerjaan yang harus diselesaikan juga bisa saja tidak ada dalam perencanaan. Jika mendadak ada kebutuhan mendesak sampai jadwal harus berubah, sering kali ia akan kewalahan karena harus begadang mengerjakan banyak pekerjaan pada waktu bersamaan. Padahal pada beberapa waktu sebelumnya ia bisa mencicilnya jauh-jauh hari. Nah lho, mampus kau dikoyak-koyak pekerjaan!

Masalah lainnya muncul ketika kita telah menyelesaikan pekerjaan kita, sering kali kita tidak puas dengan hasilnya. Apalagi jika apa yang kita kerjakan adalah hal yang begitu penting dan hasil pekerjaan itu menjadi brand kita di mata klien.

Yah, misalnya saja usaha sedot WC. Karena tadi sempat leha-leha berangkat mepet dari kantor padahal jalanan bisa saja macet, akhirnya karena harus memburu septic-tank di klien yang lain juga, bikin pekerjaan jadi berantakan sampai ada tokai yang nggak jadi kesedot semua. Perasaan bahwa kita merasa bisa melakukan hal yang lebih baik dari itu jika masih punya waktu pun muncul tiba-tiba.

Dan di sinilah fase penyesalan muncul karena selama ini sudah membuang-buang waktu yang berharga. Bagaimana perasaan tokainya coba? Nggak jadi disedot begitu padahal kamu udah dibayar mahal? Nah lho, sekarang mampus kau dikoyak-koyak perasaan tokai!

Yang lebih berbahaya adalah, selama ini prokrastinasi tidak terlihat begitu genting karena dalam pekerjaan, kita sering kali ada sistem deadline yang membuat kita panik dan memaksa kita untuk menyelesaikan semuanya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Namun, tentu saja tidak semuanya ada deadlinenya, Darling. Skripsi misalnya, banyak mahasiswa yang kesulitan menyelesaikannya karena terlalu santai dan suka menunda-nunda sampai akhirnya dia baru sadar bahwa dia sudah bablas sampai semester 14,99.

Sini, saya kasih tahu ya, banyak hal besar dalam hidup kita tidak ada sistem deadlinenya. Sering kali karena kita kebanyakan menunda, dan menunggu “niat” kita melewatkan banyak hal besar itu karena tidak pernah memulai.

Ingin menjadi penulis seperti Agus Mulyadi si Pemred Mojok.co misalnya (tentu saja ini kalimat pesanan biar tulisan ini dimuat) tapi tidak pernah memulai belajar untuk menulis. Ingin sehat, tapi tidak pernah olahraga. Ingin jadian sama si dia, tapi tidak pernah memperjuangkannya. Ingin bisa mahir main klarinet, tapi nggak pernah belajar. Pada akhirnya kita tidak pernah mencapai apa-apa karena memang tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Perasaan bersalah jenis ini adalah adalah perasaan terburuk yang bisa dirasakan oleh manusia, Darling.

Pencapaian besar dalam hidup kita tidak bisa ujug-ujug kita dapatkan. Sama seperti membangun rumah, tidak akan ujug-ujug langsung jadi rumah. Ada proses-proses kecil yang harus dilewati. Mulai dari menyusun satu per satu batu bata, memasang atap rumah, mengecat rumah, baru akhirnya menjadi rumah seperti yang kita inginkan. Dan kita mau tidak mau harus melakukan hal itu. Jika hanya mengkhayal menjadi sesuatu tapi tidak pernah melakukannya, sampai kapan pun khayalan itu ya tetap hanya khayalan kecuali kalau kamu lagi main SimCity.

Pada akhirnya jadi prokrastinator itu sebenarnya merupakan pilihan yang menyeramkan. Namanya saja yang keren karena ke-inggris-inggrisan. Aslinya sih jadi seorang prokrastinator adalah menjadi gurita-tapi-pake-nama-cumi macam Squidward yang secara sadar berteman dengan penyesalan, ketakutan, kecemasan, perasaan bersalah yang sering kali berujung pada perasaan membenci diri sendiri karena merasa tidak berguna. Tapi dibungkus dengan topeng agar terlihat sebagai orang paling bahagia sedunia.

Meski begitu, saya juga tahu betul bahwa berhenti menjadi seorang prokrastinator bukanlah sebuah pilihan mudah. Rasanya mau sebesar apapun niat kita untuk tidak menunda, jauh dari lubuk hati kecil kita, kita tahu betul bahwa kita akan tetap berakhir menjadi budak-budak deadline.

Tapi masa sih mau kayak begini terus? Kita harus ingat bahwa apa yang kita lakukan adalah pilihan. Yang kita lakukan pada masa sekarang akan berpengaruh pada masa yang akan datang. Jangan sampai karena kita pasrah dan suka menunda nikahi pacar, kita bangun pada suatu pagi dan menemukan diri kita menyesal dan menangisi apa yang sudah terjadi.

Artinya, pasrah juga bukan sebuah pilihan. Kita tetap harus melawan. Setidaknya untuk tidak menjadi seorang prokrastinator akut yang merusak hidup sendiri. Coba mulai dengan mengurangi frekuensi menunda pekerjaan dulu. Yang awalnya setiap hari dalam seminggu, diganti menjadi enam hari dalam seminggu. Ganti jalan cerita hidup kita yang selalu meyakini bahwa kita akan selalu menunda. Kita harus bisa membuktikan pada diri sendiri kalau dalam satu hari dalam seminggu ternyata kita bisa tidak menunda.

Kalau perlu buat sistem alarm untuk ngakali diri kita sendiri. Misalnya, jam di rumah dipercepat jadi lebih dulu 15-30 menit. Ya walaupun kita tahu jam itu kecepatan, paling tidak waktu pertama kali bangun tidur dan masih dalam proses mengumpulkan nyawa lalu lihat jam, kita sudah lebih dulu merasa ketakutan telat lalu bisa segera memulai pekerjaan. Kalau pun akhirnya sadar jam itu kecepatan, paling tidak posisi kita sudah dalam posisi ready bekerja tho?

Trik lain, kalau perlu coba bayangkan hal terburuk apa yang akan terjadi jika kita tidak menyelesaikan pekerjaan kita sebelum menit-menit akhir? Jika perlu, bayangkan juga hal yang menyedihkan, atau yang memalukan sekalian.

Percaya atau tidak, ada anekdot yang mengatakan kalau manusia lebih takut dengan malu dibandingkan dengan kematian. Lho kok bisa? Ya bisa, soalnya manusia adalah makhluk yang sangat peduli mengenai apa yang dipikirkan orang lain terhadapnya ketimbang keselamatannya sendiri.

Terakhir, kita harus ingat bahwa kita harus punya kontrol terhadap diri kita sendiri ya, Darling. Menjadi prokrastinator adalah pertarungan dengan diri kita sendiri. Kita tidak bisa menunggu untuk dibantu atau diselamatkan oleh orang lain. Kecuali kalau kamu memang Squidward yang bisa hidup nyaman dengan karier hanya sebagai kasir Krusty Krab.

Exit mobile version