Tradisi Begal di Sudan saat Buka Puasa dan Kecepatan Makan Orang Afrika

Tradisi Begal di Sudan saat Buka Puasa dan Kecepatan Makan Orang Afrika

Tradisi Begal di Sudan saat Buka Puasa dan Kecepatan Makan Orang Afrika

MOJOK.CODi Sudan, aktivitas buka puasa Ramadan bisa jadi pemandangan yang sangat ekstrem. Lumrah kalau orang Asia kayak saya bakal jadi korban begal.

Pada situasi normal, hal yang paling menarik ketika Ramadan datang bukan hanya iklan sirup Marjan tetapi ketika banyak orang yang menyediakan buka bersama gratis. Tradisi yang bukan hanya milik muslim Indonesia saja, melainkan juga milik umat muslim di Sudan.

Iya, Sudan Afrika yang mencit sana.

Sebentar, kenapa saya bisa tahu? Ya karena sudah pernah tinggal di Sudan selama 4 tahun. Puas betul saya hampir satu periode presiden itu. Saking puasnya sampai kapok saya.

Ramadan di Sudan, hampir selalu konsisten berada pada puncaknya musim panas. Suhu bisa di atas 40 derajat bahkan sampai 50 derajat. Itu belum ditambah dengan durasi puasanya yang sampai 15 jam. Klenger maksimal pokoknya.

Kalau memang kondisinya sedemikian mengerikannya, lantas apa menariknya habiskan waktu bulan Ramadan di Sudan?

Ya tawaran buka bersama di sepanjang jalan di Sudan yang saya sebut di awal tadi. Tawaran yang gratis meriah tentu saja. Sungguh buka puasa gratis adalah nikmat Tuhan bagi anak-anak rantau seperti saya ini.

Plis, nggak usah nanya, “Merantau ke Sudan ngapain, Mas? Mau magang jadi perompak Somalia?” Yaaa jelas nyari ilmu lah.

Begini-begini saya mahasiswa Indonesia yang bisa kuliah sampai jauh-jauh ke Sudan. Gimana pilihan negara saya? Hipster banget kan?

Asal kamu tahu, orang-orang Sudan, kalau bulan puasa suka buka lapak di pinggir jalan. Beberapa jam sebelum magrib, makanan sudah dipajang di pinggir jalan. Bukan, bukan untuk dijual kayak normalnya di Indonesia, melainkan benar-benar disuguhkan gratisan ke semua orang.

Menunya? Ya macam-macam, mulai dari makanan khas Sudan, seperti roti, asidah, full. Yang jelas banyak daging ayam, kambing, dan sapi. Dengan berbagai aneka ragam minuman, mulai dari es teh, es bunga rosella, jus kurma, sampai es air putih. Sungguh menyelamatkan anak-anak rantau kayak saya.

Dan menu itu semua benar-benar untuk umum. Tak memandang warna kulit dan kesukuan. Kamu bisa kayak sultan tinggal pilih saja sesuai keinginanmu. Dan kalau perlu, tiap hari ganti tempat buka puasa juga boleh.

Di Indonesia hal kayak begini bukannya nggak ada, tapi di Sudan, aktivitas ini malah cenderung sampai ke taraf ekstrem.

Ekstrem? Maksudnya?

Begini. Bagi orang Indonesia kayak saya, menyebut orang-orang “dermawan” di Sudan ini dengan sebutan “begal Ramadan” adalah hal biasa. Kenapa? Ya karena kelakuan orang-orang yang menawarkan buka puasa ini benar-benar kayak begal. Agak maksa.

Gaya mereka ini benar-benar petakilan kayak Satpol PP kalau razia pedagang kaki lima atau polisi lagi operasi zebra. Nggak peduli kamu mau jalan kaki atau bawa mobil, pasti bakal distop suruh turun kalau waktunya udah mau buka puasa.

Pokoknya nggak boleh jalan kalau sudah kepergok sama mereka. Yah, kecuali alasanmu sangat kuat untuk menolak. Misalnya buka puasa di rumah menteri atau ulama besar Sudan. Selain itu? Yah, jangan harap kamu bisa lolos dari “begal Ramadan” di Sudan.

Bakalan lebih parah kalau azan magrib udah berkumandang lalu kamu kok ngeyel melarikan diri dari pembegalan mereka. Wah, bisa ditahan betulan kamu untuk dipaksa minum dulu sama dikasih bekal kurma. Sungguh kearifan lokal yang unik dan sangat menggembirakan—wabillkhusus bagi saya.

Apalagi kalau mengingat kondisi ekonomi negara mereka yang sangat ambyar karena efek embargo Amerika bertahun-tahun silam. Orang-orang muslim Sudan ini betulan jadi kelewat baik kalau bulan Ramadan tiba.

Namun, jika kamu kebetulan akan ke Sudan di masa depan dan pas bulan Ramadan, saran saya, kalau kamu kena begal Ramadan orang Sudan, mending kamu makan takjilnya aja. Jangan nekat ikut-ikutan makan besar. Soalnya makan besarnya bukan yang makan satu-satu begitu, tapi pakai nampan besar yang dimakan berbarengan 3-5 orang.

Jadi kalau mau wisata kuliner begal Ramadan di Sudan begini, saran saya jangan pernah jalan sendirian atau cuma dua orang. Yah, minimal 4 orang lah, biar satu nampan bisa keiisi orang Indonesia semua.

Lha gimana? Orang-orang Afrika itu kalau makan speed-nya di atas rata-rata. Beneran pakai turbo.

Saya baru nyendok dua kali, mereka udah lima kali lebih. Apalagi kalau makannya pake tangan, duh, bisa ambyar ke mana-mana. Orang Afrika—dan Sudan juga—kalau makan nasi itu kayak lagi meres santan. Dibikin kepal nasi segede gaban, lalu dimakan dengan sekali untal.

Bahkan kadang saya curiga, jangan-jangan mereka ini adalah keturuan asli Bangsa Saiya macam Goku dan Bezita, haaa makannya kuat-kuat amat tiada batas. Perut elastis, tangan besar, mata menyala, mulut bisa muat segede apapun ukuran makanannya.

Dari mana saya tahu cerita model begitu? Ya pengalaman.

Suatu ketika, saya diajak buka bersama di asrama orang-orang Turki. Dapat undangan buka bersama. Saya pikir, ini bakal jadi acara makan-makan prasmanan orang Indonesia dan orang-orang Turki. Lah kok jebul waktu datang, acara itu ngundang juga mahasiswa dari berbagai negara.

Apesnya waktu buka puasa, saya dapet kelompok yang isinya orang-orang Afrika semua. Selain makannya cepet banget, gerakan tangan mereka terasa sangat intimidatif. Dengan tubuh saya yang kecil dibanding mereka, saya kayak jadi gantungan kunci di situ. Kepontang-panting kanan kiri.

Di nampan kelompok saya memang ada dua ayam utuh sama daging setengah kilo. Buanyak banget kelihatannya. Tapi kalau lihat komposisinya, yakni untuk 4 orang Afrika, dan saya, satu orang Indonesia. Saya langsung merasa curiga saat itu juga.

Benar saja, saya pasrah waktu cuma kebagian sayap ayam ama secuil daging sisa. Itu pun harus saya perjuangkan dengan sungguh-sungguh di antara gerakan intimidatif teman-teman Afrika saya. Sampai bikin Zona Teritori Nampan sendiri saya dengan semangat Yakuza. Soalnya kalau nggak gitu, bisa cuma kebagian nasi doang.

Kenapa nggak niru cara makan mereka yang cepat dan ngawur itu? Jawabannya ya jelas nggak bisa. Secara bentuk tubuh, saya cuma menang gesit, tapi jelas kalah di urusan kapasitas.

Secepat-cepatnya orang Indonesia makan, tetep kalah cepat sama cara makannya orang-orang Afrika. Badan sebesar itu dan kecepatannya yang bukan main, benar-benar bikin saya terkagum-kagum. Gerakannya terasa aerodimanis sekali. Tak ada gerakan yang sia-sia.

Kayak nggak ada ngunyah-ngunyahnya blas. Kelihatan seperti langsung telen gitu saking cepetnya. Masuk mulut, langsung telen. Masuk mulut langsung telen.

Pada saat kejadian itu, saya tidak khawatir sama sekali kalau saya tidak kebagian lauk. Saya cuma khawatir satu hal, kalau mereka mau nyari paha ayam tapi malah tangan saya yang kesaut dan kekunyah gimana?

Bakal berita heboh di Indonesia:

“Seorang mahasiswa Indonesia, tidak sengaja kemakan orang Sudan saat buka puasa Ramadan bersama.”

Hayaaa, mampooos saya.

BACA JUGA Puasa Ramadan di Negeri Cina yang Komunis atau tulisan Nur Hasan lainnya.

Exit mobile version