Pentingnya Pelajaran Memasak bagi Sarjana Tafsir Hadis

ilustrasi Teflon Antilengket Bukan Cuma yang Hitam, Ada Bahan Marble dan Granit yang Mahal Banget mojok.co

MOJOK.COOrang tua sudah bela-belain jual sapi untuk biaya kuliah anaknya di jurusan tafsir hadis. Sialnya, sekadar memasak saja saya tidak becus.

Baru dua bulan punya mantu, tetangga saya udah mengeluh saja. Ia kecewa dengan istri pilihan anak lelakinya. “Cantik sih, tapi payah,” katanya suatu hari. Saya diam saja, tidak tahu bereaksi bagaimana.

“Dia nggak bisa masak,” ia memberi gambaran lebih gamblang tentang payah yang dimaksud.

Sampai di situ saya belum terlalu terkejut, hingga kemudian ia menambahkan, “padahal ia juga kuliah.”

Heh, apa urusannya masak dengan kuliah? Saya yang pernah kuliah dan tidak bisa masak jadi ikut tersengat. Tiba-tiba saya teringat masa beberapa tahun lalu, sewaktu diesel di tambak bapak saya mogok.

Bapak saya berkeringat, pakaiannya berlepotan oli, dan ketika Bapak memandang saya, tatapannya saya rasakan seperti merasa sia-sia punya anak bisa kuliah tapi hanya bisa duduk-duduk kayak mandor di hadapannya.

Saya kuliah di jurusan tafsir hadis yang jelas tak ada sangkut pautnya dengan diesel. Tapi bagi orang desa seperti bapak, juga tetangga saya, jurusan apa pun mungkin tidak ada bedanya. Menjadi sarjana seharusnya bisa melakukan apa saja. Titik.

Orang tua merasa sudah bela-belain menjual sapi bahkan kadang tanah untuk biaya kuliah anaknya di jurusan tafsir hadis. Sialnya, sekadar servis diesel atau memasak saja tidak becus. Mereka mungkin akan jatuh pingsan jika diberi tahu tentang Nia Ramadhani yang tidak tahu cara ngupas salak.

Kampus tentu saja tidak mengajari saya soal servis diesel atau memasak. Urusan masak tidak ada dalam daftar mata kuliah saya dan karena itu tidak menjadi syarat kelulusan. Begitu pun agaknya kampus tempat menantu tetangga saya, kecuali dia memang kuliah di jurusan tataboga.

Kampus mendidik saya agar banyak membaca, membuat catatan, meresume, dan membuat makalah untuk kemudian dipresentasikan dan pada hari-hari libur. Kalau lagi ada duit, bepergian menjelajahi destinasi-destinasi wisata baru dan tak lupa berburu menu kuliner.

Jadi, kenapa saya mesti susah-susah belajar memasak? Mungkin menantu tetangga saya juga berpikir begitu. Apalagi zaman sekarang semua menjadi serba mudah. Melalui layanan Go Food kita tinggal pilih menu yang cocok dengan selera lalu klik, dan makanan akan diantar sampai di depan pintu. Kapan saja.

Tapi sejak berkembangnya wabah corona memaksa kita tinggal di rumah, saya jadi berpikir lain. Barangkali memang ada baiknya setiap kampus mengajarkan keterampilan masak kepada mahasiswanya.

Seperti dulu pesantren membekali santri senior yang hendak boyong dengan ilmu pengobatan untuk berjaga-jaga ada masyarakat yang minta pertolongan pengobatan. Di kampus pun begitu, dengan memiliki skil memasak mahasiswa tidak hanya lihai dalam perdebatan yang bertele-tele tapi gagap dalam melakukan hal-hal praktis dan strategis.

Memasak adalah pelajaran dasar untuk latihan bertahan hidup. Selain bisa menjadi bekal selama kuliah, sewaktu KKN, juga modal penting ketika mereka lulus. Sebab tidak semua lulusan mahasiswa akan langsung mendapatkan pekerjaan mentereng seperti yang diinginkan. Punya penghasilan tinggi dan bisa menikmati gaya makan ala acara “bikin laper” atau mendapat jodoh yang pintar masak. Jangan lupa, memasak adalah aktivitas setiap hari.

Dan, soal masak itu tidak gampang. Kerumitan itu saya sadari ketika setiap hari saya dan dua anak saya hampir 24 jam berdiam di rumah. Tentu, istri saya orang paling sibuk memikirkan tentang menu apa saja yang harus disediakan untuk memenuhi selera kami yang berbeda.

Saya bisa membayangkan betapa pusingnya teman saya yang anggota keluarganya lebih banyak dari keluarga saya. Seorang filosof pun akan pusing bila harus berpikir seperti ini saban hari.

Selain harus kaya referensi tentang jenis olahan makanan, seorang istri juga harus cermat mengkalkulasi keuangan. Bagaimana agar ia bisa menyiasati harga-harga bahan makanan yang merangkak naik tapi tetap terhindar dari protes dari anggota keluarga yang mungkin akan bosan dengan masakan yang monoton.

Dapur ternyata bukan hanya soal furniture, perlengkapan alat masak atau buku resep saja. Ruangan itu mempunyai dunia yang jauh lebih luas.

Maka, agar beban itu tidak menumpuk di pundak istri, alangkah baiknya jika suami juga bisa memasak. Dengan begitu, selain membuat kita bisa menghargai masakan, masing-masing bisa memberikan pertimbangan atau menemukan alternatif.

Bisa juga gantian memanjakan pasangan dengan makanan. Paling penting lagi, marwah kampus tidak anjlok di hadapan bapak ibu dan tetangga kita gara-gara alumninya tidak bisa masak.

Ya, kalaupun tidak lihai benar soal masak, minimal bisalah kalau sekadar menanak nasi. Atau mengenal bumbu-bumbu dapur, sehingga jika suatu saat harus dipandu dari jauh, karena satu sebab, atau mengikuti prosedur dari resep kita tidak mengalami hal memalukan.

Seperti dalam guyonan suami diminta menambahkan salam pada masakan agar masakan makin sedap, suami mendadak jadi pah-poh, lalu mendekati masakan dan berbisik, “Assalamu’alaikum.”

BACA JUGA Ketika Status Anak Kuliahan Membuatmu Jadi Alien di Desa atau tulisan Zaid Su’di lainnya.

Exit mobile version