Menjadikan Perbedaan dalam Beragama sebagai Inspirasi ala Romo Bagus

perbedaan

MOJOK.COPerbedaan adalah keniscayaan, ia tidak seharusnya memisahkan.

“Melalui Kementerian Agama ini, saya ingin menjadikan agama sebagai inspirasi, bukan aspirasi,” begitu kata Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama kita yang baru saat memberikan sambutan dalam acara serah terima jabatan Menteri Agama di Kantor Kementerian Agama beberapa waktu yang lewat.

Pernyataannya tersebut, tak bisa tidak, langsung melemparkan ingatan saya kepada sosok Romo Bagus. Beliau adalah salah satu dosen favorit saya di UIN Sunan Kalijaga. Seorang pendeta yang mengajar tentang kekristenan.

Bagi saya, pemosisian agama sebagai inspirasi dan bukannya aspirasi benar-benar sudah dicontohkan dengan gamblang oleh Romo Bagus.

Kehadirannya di kelas selalu membuat saya, dan mungkin para mahasiswanya yang lain senantiasa bergairah. Salah satu yang membuat sosoknya menarik di mata saya adalah keterbukaannya atas setiap pertanyaan. “Tidak ada pertanyaan yang buruk,” katanya setiap kali berada di kelas.

Romo Bagus tidak sedang berbasa-basi. Semua mahasiswa muslimnya dipersilakan bertanya apa saja tanpa perlu merasa sungkan, pakewuh atau takut menyinggung hal-hal yang dianggap sensitif. Semua pertanyaan, bahkan yang kadang terdengar konyol, disambut dengan hormat dan gembira.

Romo Bagus lulusan Harvard dan pernah bertugas ke sejumlah negara. Wawasannya luas, pengalamannya kaya, dan mungkin karena sebab itu pula ia jenaka. Ini penting saya utarakan, sebab sebagaimana kata Gus Baha’, orang yang memberi pengajaran tapi tidak bisa melucu bisa jadi karena pengetahuannya masih sedikit sehingga tidak bisa rileks.

Seingat saya, beliau hampir bisa membalas setiap pertanyaan dengan jawaban yang membuat kami tertawa. Pernah ada teman yang bertanya mengapa, seperti para romo lain, Romo Bagus tidak menikah? Dengan mimik memelas, beliau menjawab, “Saya sih inginnya diperbolehkan.” Jawabannya yang terdengar polos dan getir itu tentu membuat kami semua langsung tertawa.

Ketika tawa kami reda, beliau kemudian memberikan tinjauan tentang adanya aturan mengapa para romo tidak boleh menikah dari berbagai segi baik sejarah, spiritual, manajerial maupun sosial. Beliau juga memberi informasi tentang beragamnya aturan kehidupan para romo dari berbagai belahan dunia. Di sejumlah negara atau aliran, ada juga romo yang diperbolehkan menikah.

Kami mangut-mangut. Tentu saja ada banyak sekali perkara kekristenan yang kami tidak tahu. Jangankan tentang Kristen yang secara default memang tidak pernah kami pelajari sebelumnya, tentang Islam sendiri saja pengetahuan kami masih sangat minim.

Jika minimnya pengetahuan tentang Islam saja mampu membuat kita kadang gontok-gontokan dengan sesama penganut agama, bisa dibayangkan bagaimana jadinya sikap kita terhadap orang lain yang pengetahuan kita atas mereka sering kali berdasarkan asumsi.

Kehadiran orang-orang yang kompeten tentang sebuah tradisi seperti Romo Bagus di ruang-ruang kelas seperti di UIN, karenanya, menjadi penting. Penjelasan mereka memberikan pemahaman yang lebih autentik tentang tradisi mereka. Sebab sebagai muslim, kami umumnya mengenal agama Kristen dari sumber-sumber yang ditulis oleh orang muslim, yang bukan tidak mungkin, ada bias dan reduksi dalam kadar yang tidak sedikit.

Yang lebih penting lagi dari kehadiran Romo Bagus adalah metodenya. Ia tidak hanya sibuk menjelaskan teori, melainkan juga mengajak untuk praktik. Beliau mengundang para mahasiswanya untuk hadir ke gereja dan berjumpa dengan komunitas Kristen agar kami bisa menyaksikan secara langsung bagaimana sebuah agama dihidupi dan dihayati oleh pemeluknya.

Dengan cara seperti inilah kami tidak hanya dijejali dengan informasi tentang agama lain, tapi juga didorong untuk mengalami perjumpaan dan merasakan pengalaman tubuh bersama para penganutnya.

Kita mengenal lebih dalam tentang apa yang mereka hormati sehingga kita sebagai orang luar tidak bermain-main dengannya. Kita pun bisa saling menjaga.

Melalui perjumpaan itu pula kami belajar tentang agama bukan hanya sebagai sistem kepercayaan yang impersonal, tapi juga sebagai agama dengan wajah manusia, wajah dari kerabat dekat kita, tetangga kita, dan saudara sebangsa.

Agama menjadi sesuatu yang tidak melulu berurusan dengan keyakinan teologis, tapi juga kehangatan dengan sesama manusia.

Perbedaan pun tidak lagi terasa membahayakan. Bahkan mungkin terasa indah. Seperti yang saya rasakan ketika seorang tetangga saya yang Kristen mengantar cucunya yang muslim datang ke TPQ tempat saya ikut mengajar sambil berkata, “Titip cucu saya ya, Mas Zaid.”

Pengenalan dan pemahaman atas tradisi orang lain juga membuka ruang yang makin lebar bagi keramahan teologis. Perjumpaan membuat mata batin kita terbuka sehingga kita mudah menerima orang lain, empatik, dan menghargai sesama dengan segala perbedaannya. “Orang buta tidak punya imajinasi,” kata Maulana Jalaluddin Rumi. Dan, kita tahu, orang yang tanpa imajinasi hanya (mau) tahu satu pengertian.

Perjumpaan juga memungkinkan adanya komunikasi yang lebih baik sehingga dapat terhindar dari kesalahpahaman dan saling curiga.

Saya ingat salah satu cerita dari Romo Bagus. Ketika pulang dari tugas di Timur Tengah, beliau membawa kaligrafi ‘Abana’ (Bapa kami) sebagai oleh-oleh, yang isinya tentang pujian dan doa kepada Yesus. Kaligrafi itu lalu dipacak di ruang kerjanya.

Suatu hari, seorang jemaatnya melihat hiasan itu. Didorong oleh perasaan galau akhirnya dengan hati-hati jemaat itu memberanikan diri bertanya kepada beliau, “Maaf, Romo, apakah sekarang Romo jadi mualaf?”

BACA JUGA Di Desa Saya, Panggilan Orang Tua ‘Bapak-Emak’ atau ‘Papi-Mami’ Adalah Bahan Ghibah yang Gurih dan tulisan Zaid Sudi lainnya. 

Exit mobile version