Banyak orang merasa ragu untuk menulis karena tidak percaya diri terhadap karya-karyanya sendiri. Namun, pertanyaannya adalah: apakah seseorang yang tidak memiliki cita-cita menjadi seorang penulis bisa menjadi penulis yang terkenal? Setiap tahap kehidupan pasti memiliki tantangan masing-masing.
Dari IPK Pas-pasan ke Penulis Media Massa
Kisah perjalanan hidup saya dimulai ketika akhirnya saya lulus kuliah. IPK saya pas-pasan, dan waktu tempuh kuliah lebih dari tujuh tahun. Setelah lulus, hidup terasa membingungkan dan getir. Dengan IPK seperti itu, saya kesulitan melamar kerja di banyak perusahaan.
Di masa sulit ini, saya teringat kenangan saat SMP hingga lulus SMA. Waktu itu, saya rajin menulis di media massa. Ingatan itu memantik kembali semangat saya untuk menulis. Sejak saat itu, saya mulai berlatih menulis lagi. Setiap hari saya hanya membaca buku dan menulis. Kegiatan ini saya jalani selama 8 bulan.
Setelah saya cukup percaya diri dan yakin, saya mengirimkan karya-karya saya ke media massa dan mendapat respons positif. Sejak saat itu, menulis di media massa menjadi bagian penting dalam hidup saya—bahkan menjadi sumber penghidupan utama selama lebih dari 5 tahun.
Perjalanan saya tidak berhenti sebagai penulis saja. Saya juga mulai meniti karier sebagai peneliti muda, dimulai dari posisi peneliti lapangan. Berkat pengalaman menulis, saya memiliki keunggulan tersendiri dibanding banyak peneliti lain.
Sambil menikmati kehidupan sebagai seorang penulis dan peneliti, saya juga membuka bisnis kecil-kecilan dengan nama Klinik Buku EA, hingga kemudian saya mendirikan Mojok dan Buku Mojok. Semua itu tak lepas dari kerja-kerja penulisan yang pernah saya lakukan sebelumnya.
Menulis Bukan Sekadar Soal Uang
Banyak hal yang saya dapat dari keterampilan menulis, terutama adalah ketertiban berpikir. Sebab, seorang penulis harus berpikir bagaimana menyusun kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, hingga terbentuk menjadi sebuah tulisan yang utuh.
Sebuah ide atau gagasan tidak dapat disebut gagasan jika tidak bisa ditulis. Kalau hanya dipikir-pikir tanpa adanya eksekusi, hal itu hanyalah fatamorgana.
Menulis kemudian menjadi laku sehari-hari saya. Saya beruntung terus bisa menulis, berpikir, dan mencari ide yang membuat pikiran saya bekerja dengan baik dan cukup sehat.
Pada akhirnya, menulis kini bukan lagi soal uang, tapi menjadi semacam laku pikiran dan mental saya. Membuat belasan atau bahkan puluhan buku tentang interaksi saya adalah salah satu motivasi terbesar jika saya diberi umur yang panjang.