Episode JasMerah kali ini, Muhidin M. Dahlan mengangkat kembali sebuah tragedi kelam yang hampir terhapus dari memori nasional, “Genosida Papua tahun 1977”. Tragedi ini terjadi menjelang Pemilu Orde Baru, tepat di masa “minggu tenang”. Saat itu, operasi militer besar-besaran digelar di Lembah Baliem, Wamena. Ribuan warga sipil menjadi korban, dibantai, disiksa, dan desa-desa mereka dibom dari udara.
Namun, semua kekejaman genosida ini nyaris tak tercatat dalam sejarah resmi. Media nasional seperti Kompas, Tempo, dan Sinar Harapan tidak memberikan sorotan berarti. Peristiwa sebesar itu hanya muncul samar di pojok-pojok berita, dan para korban justru dilabeli sebagai “pengacau”, bukan sebagai manusia yang dizalimi.
Laporan-laporan dari luar negeri justru memberi gambaran yang lebih jelas tentang tragedi ini. Komisi HAM Asia dan organisasi TAPOL di Inggris mencatat bahwa korban jiwa diperkirakan mencapai 5.000 hingga 10.000 orang. Ribuan warga terpaksa mengungsi ke Papua Nugini akibat kekejaman aparat.
Bahkan, pesawat tempur OV-10 Bronco yang merupakan bantuan militer dari Amerika Serikat, yang seharusnya hanya digunakan untuk latihan, digunakan untuk membombardir kampung-kampung. Semua kekerasan ini terjadi demi mengamankan wilayah sekitar Freeport, tambang emas dan tembaga yang menjadi pusat kepentingan ekonomi elite Jakarta dan mitra-mitra globalnya.
Lantas mengapa tragedi genosida ini begitu sunyi? Mengapa ribuan nyawa melayang, tetapi hanya menjadi catatan kecil di halaman belakang surat kabar?, dan Siapa yang diuntungkan dari penghapusan ingatan kolektif ini? Temukan jawabannya di JasMerah, karena mengingat adalah bentuk paling radikal dari melawan.