Terowongan Silaturahmi Jokowi-Ma’ruf Ajarkan Apa pun Penyakitnya Toleransi Obatnya

MOJOK.CO ­– Duet Jokowi dan Kiai Maruf merestui pembangunan terowongan silaturahmi antara Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral. Emang toleran abis… simbolnya.

Minggu yang cerah di awal Februari, saya menikmati libur dengan leyeh-leyeh di depan televisi. Saya dan Bapak sepakat membagi remote kontrol ketika jeda iklan; di antara tayangan Power Rangers dengan pertandingan tinju.

Semua berjalan baik-baik saja. Tak ada di antara kami yang rebutan siapa yang lebih cocok menjadi Rangers merah. Sampai kemudian Ibu pulang dari pasar dengan menenteng sayur-mayur di tangan juga warta yang, pada saat itu tak bisa saya mengerti.

Kata ibu saya, Jemaah Ahmadiyah Cikeusik diserang dan Ibu melihat sendiri gerombolan orang-orang yang menyerang itu saat melintasi jembatan.

Jarak antara rumah saya dan Jemaat Ahmadiyah Cikeusik dekat belaka. Setiap kali ngabuburit Ramadan saya selalu melintasi tempat itu. Kendati demikian, saya tak bisa memastikan apakah ada seorang wartawan dari salah satu media yang membredel saya dengan pertanyaan menstrim.

Misalnya, “Bagaimana keseharian jemaat Ahmadiyah itu, Dik?” atau, “Apakah Adik ada firasat sebelumnya terkait penyerangan ini?”

Tak ada yang bisa diandalkan dari ingatan bocah berusia sebelas tahun. Sekalipun saya ingat dan pertanyaan itu benar-benar ditujukan, barangkali jawaban saya tak jauh dari, “Nggak ada, Mas, firasat saya saat itu Rangers merah baru akan muncul kalau penjahatnya mau menang.”

Saya benar-benar lupa apa yang terjadi kemudian. Yang pasti, saya dilarang sekolah selama satu pekan dan beberapa kawan saya—di sela ketakutannya—diam-diam  saling berebut sorot kamera para reporter agar wajah mereka masuk televisi.

Hari setelah itu anak-anak mendapat pengawasan yang ketat dari orang tua masing-masing, semua orang tak ingin darah daging atau sanak saudara atau kenalannya menjadi korban salah sasaran.

Keadaan mencekam dan tak ada superhero yang benar-benar bisa saya andalkan untuk dimintai pertolongan. Atau setidaknya terowongan silaturahmi yang bisa meneduhkan suasana.

Jokowi emang di mana? Tak usah ditanya. Pada tahun-tahun itu blio masih sibuk bersengketa dengan Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah. Atau, sedang asyik ke sana kemari blusukan di kota Solo.

Padahal, seandainya Jokowi telah duduk di jabatan yang  strategis, saya yakin kami akan tenang dan nyaman di tengah konflik. Soalnya, saya udah kadung percaya bahwa Jokowi adalah orang yang bisa memperbaiki segala macam keruwetan (maaf, no debat).

Bukan hanya dalam tataran antar-umat beragama, tetapi antar-galaksi. Perseteruan antara Jedi dan Sith dalam saga Star Wars tak akan memakan episode sebanyak itu seandainya Mr. Yoda mau sedikit belajar pada Pakde Jokowi mengenai ilmu toleransi.

Tentu saja contoh paling konkret dan bisa kita rasakan sekarang adalah, bagaimana keberhasilan usaha Jokowi mengubah citra Kiai Maruf Amin menjadi sosok yang begitu edgy tiada tara.

Memang begitulah hukum alam bekerja, barang siapa yang bergaul bersama tukang parfum, niscaya ia akan kebagian harumnya. Soal siapa yang tukang parfumnya dan siapa yang tukang gaulnya, silakan tafsirkan sendiri.

Lihat saja sekarang. Bahkan Kiai Maruf, saat memberikan sambutan pada acara Centrist Democrat International (CDI) Eurasia Forum yang digelar PKB, mengatakan bahwa agama sering dimanipulasi untuk kepentingan dunia.

Saya yang mendengar sambutannya, merasa Kiai Ma’ruf sedang melakukan—semacam—curhat masa lalu.

“Dalam Islam diajarkan tentang pemahaman agama yang moderat dan mengedepankan kasih sayang (rahmah), perdamaian (salâm), dan toleransi (tasâmuh) dalam hubungan antar-manusia. CDI, saya percaya, adalah rekan yang tepat untuk membangun jembatan saling pengertian, moderasi dan inklusivitas yang mendukung perdamaian dunia,” kata Kiai Ma’ruf.

Betapa saya patut menyesal, sebab seharusnya semesta mempertemukan Kiai Ma’ruf Amin dengan Jokowi lebih dini.

Sebab dengan begitu, tak akan ada fatwa haram yang dikeluarkan saat Munas ke-VII MUI bahwa Ahmadiyah adalah aliran yang sesat dan menyesatkan, Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri No. 3 Tahun 2008 tentang Ahmadiyah saya yakin tak akan terbit—dari sembilan Wantimpres  Pak SBY saat itu—Pak Ma’ruf adalah satu-satunya yang mendukung SKB.

Dengan demikian, secara tidak langsung, ibadah Minggu saya untuk nonton Dragon Ball dan Power Rangers tak akan terganggu oleh ulah-ulah yang kurang santuy.

Tapi apa lacur, semesta tidak pernah mempertemukan Jokowi dan Maruf Amien lebih cepat. Kepentingan politik lah yang—seperti tethering—memperlancar keakraban pertemanan keduanya.

Tetapi itu bukan soal, oleh apa dan siapa mereka dipertemukan, entah oleh tim tali kasih atau termehek-mehek sekalipun, “berubah”-nya Kiai Maruf tetap layak dirayakan. Dengan begitu mereka bisa meluruh seluruh permasalahan NKRI, mengurai segala kekusutan yang terlanjur menjerat leher kita.

Syukurnya, mereka telah menemukan formula jitu untuk mempraktikkan toleransi yang beradab dan cerdas tiada tanding. Setidaknya tentang masalah kesulitan umat minoritas mendirikan rumah ibadah, misalnya.

Caranya? Hayaa tentu dengan mengolaborasikannya dalam bentuk “infrastruktur” dengan sebutan terowongan silaturahmi.

Duet super toleran Jokowi-Maruf membangun terowongan silaturahmi antara Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral. Dengan cara itu mereka yang “minoritas” merasa benar-benar dihormati dan tak lagi merasa sebagai yang liyan.

Perkara mereka tak bisa beribadah di daerah lain di sudut Indonesia, ya itu urusan nanti, yang penting simbol-simbol toleransi berupa terowongan silaturahmi antar-rumah ibadah yang megah itu bisa terwujud.

Lah, lah, ya beragama itu kan harus dengan lambang, kode, dan simbol toh? Masak iya cuma niat doang?

Lagian, kalau kata Kiai Ma’ruf, “Saya kira bagus saja. Itu hanya lambang dengan adanya kerukunan dan silaturahim.”

Sisi baiknya, terowongan silaturahmi itu bisa saja menjadi penyambung bagi mereka yang terjebak dalam cinta beda agama. Siapa tahu setelah nongkrong di sana bisa terbebas dari segala paceklik, dan restu keluarga bisa lebih mudah diwujudkan. Dan—tentunya—Coki Pardede makin punya konten yang bejibun. Hiyaaa, hiyaaa, hiyaaa.

Sekarang apalagi masalah kita?

Kemiskinan? Bencana alam? Pengangguran? Korupsi? Pelanggaran HAM? Ancaman virus Corona? Kekerasan seksual?

Tenang, apa pun penyakitnya, simbol toleransi obatnya.

BACA JUGA Terowongan Silaturahmi ala Jokowi: Bangunan Diwujudkan, Mentalnya Kagak atau tulisan Muhammad Nanda Fauzan lainnya.

Exit mobile version