Kolom: Perempuan Tua dan Benang Rajutnya

merdeka sepakbola singkong menulis ironi sepakbola jendela sepeda zainuddin mz puasa tarawih kolom menulis tutur tinular penulis buku lagu tv rusak rebahan kolom mahfud ikhwan mojok.co ayam rumah kontrakan contoh esai bagus indonesia mojok.co putu wijaya

merdeka sepakbola singkong menulis ironi sepakbola jendela sepeda zainuddin mz puasa tarawih kolom menulis tutur tinular penulis buku lagu tv rusak rebahan kolom mahfud ikhwan mojok.co ayam rumah kontrakan contoh esai bagus indonesia mojok.co putu wijaya

Saat sesekali membonceng motor teman saya Iqbal dari pabrik tempat kami dulu bekerja, dari Klaten menuju Jogja, saya kerap dihampiri lamunan konyol: bagaimana kalau saya masukkan kaki bersandal saya ke jeruji roda motor yang berjalan? Iqbal yang menyetir di depan saya kira tak pernah tahu soal ini. Dan, seingat saya, saya tak pernah cerita tentang hal ini kepadanya, sebagaimana saya juga tak bercerita terlalu banyak hal kepadanya.

Apakah saya punya kecenderungan melakukan bunuh diri? Saya rasa tidak. (Saat skripsi S-1, saya sedikit mendalami Durkheim, lumayan mengerti mengenai studinya tentang bunuh diri, dan saya pikir saya tak menunjukkan gejala-gejala sosial, juga psikologis, yang membuat saya dekat dengan bunuh diri.) Lagi pula, ketika pikiran itu datang, saya tidak dalam kondisi yang kurang baik; saya sulit menyukai pekerjaan saya saat itu, tapi saya tak pernah menjadi terlalu stres atau tertekan—bikin atasan stres malah mungkin. Saya sering mengaku membawa amarah bawaan, dan memang demikian, dan kadang itu membuat saya tak bisa seramah kebanyakan orang, tapi sinisme dan energi mengejek membuat amarah itu tak menjadikan saya seorang pemberang. Boleh jadi, karena tak mesti nyetir, tak harus berkonsentrasi mengatur kecepatan sekaligus menjaga keselamatan, pikiran saya jadi ke mana-mana. Khusus untuk memasukkan kaki ke dalam jeruji itu, mungkin saya masih punya sisa ingatan masa kecil, dari usia kurang lebih lima tahun, ketika kecelakaan menimpa Bapak: ketika membonceng sepeda motor Pak Carik Soen’an ke kantor kecamatan, kaos kakinya termakan gigi rantai motor, menyeret kakinya ke gir, dan benda yang disebut terakhir itu menggerus otot achilles di atas tumitnya, dan membuat Bapak pincang hampir setahun.

Hal paling mendekati, dan belakangan tampaknya saya yakini, adalah adanya sedikit kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri. Tapi, bisa saya yakinkan, bahkan itu tak terkait hal yang terlalu fisikal. Paha saya pernah ditebas oleh seorang sepupu saat kami sedang bermain, dada saya pernah dilempar pisau dapur oleh adik saya yang tengah mengamuk, telapak kaki saya pernah menginjak sabit yang sisi tajamnya tengadah, dan seluruh jari, juga beberapa di punggung tangan, tak ada yang selamat dari bekas goresan sabit, dan meskipun saya tahu cara cepat menghentikan pendarahan dan infeksi (yaitu pertama-tama dengan dikucuri lendir bekicot, lalu ditutup oleh pucuk daun lamtoro yang dikunyah dengan ludah) tapi saya tak menyukai rasanya tersayat benda tajam, dan saya tak merindukannya setelah lama tak mengalaminya. Ya, saya menyakiti diri sendiri dengan cara paling pengecut yang bisa dilakukan: menjadi penulis.

Tapi sejujurnya, meskipun tak menyukai cara orang-orang berbicara tentang hal-hal hebat dan terutama yang manis-manis tentang menulis, menulis sebenarnya tak semenyakitkan itu. Malah, saya dapat banyak keuntungan dari menulis: ia bisa disebut dalam kata abstrak sebagai kehidupan, meskipun saya akan lebih suka menyebutnya penghidupan. Untuk seorang yang sudah tak pernah memanfaatkan tombol “Tambah Teman” di Facebook selewat tahun pertama menggunakannya, dan nyaris berteman dengan orang-orang yang sama dalam 15 tahun terakhir di kehidupan nyata, teman Facebook saya toh mencapai batas maksimal, dan itu terjadi karena saya menulis. Dan, ya, saya berbual-bual tentang hal-hal yang tak terlalu bermanfaat selama setengah tahun terakhir di kolom ini—dan tak pernah diperingatkan entah soal kualitasnya atau tentang kapasitasnya dalam menggaet lebih banyak pembaca—juga karena saya menulis. Lagi pula, saya baru mulai menulis di usia dua puluh.

Mungkin karena itulah saya punya mekanisme lain, yang lebih awal saya mulai, dan mungkin tak akan lepas dari diri saya bahkan jika saya tak lagi bisa menulis: menyukai sepakbola. Ia memberi terlalu banyak rasa sakit dan sangat sedikit kesenangan—lebih dari apa pun di dunia.

***

Menonton Madrid dikalahkan Manchester City di City of Manchester, yang akhirnya benar-benar kosong (setelah biasanya diejek oleh pendukung MU sebagai Emptyhad), saya kembali mengingat rasa sakit itu. Bukan, kekalahan Madrid, tim “busuk” musuh banyak orang itu, jelas tak menimbulkan rasa apa-apa; toh, tim Zidane itu memilih kalah dengan cara paling melegakan para pendukungnya macam saya: bermain sangat buruk, dan karena itu sangat pantas untuk kalah. Tapi justru rasa lega itulah yang mengingatkan kepada perasaan sia-sia yang saya selalu terselip di antara kesakitan yang besar dan kebahagiaan yang sangat kecil dalam menyukai sepakbola.

Perasaan “datar” atas dua persembahan cuma-cuma dari Varane kepada Jesus itu yang mengingatkan saya dengan rasa sakit yang akrab pada relasi saya dan sepakbola: ketika terjepit, benar-benar terjepit, di antara penonton-penonton dewasa di atas bak truk yang penuh sesak dengan orang demi mengikuti tim kesebelasan kami ke lapangan-lapangan paling aneh, paling unik, paling jelek, dan paling luas milik tim-tim desa lain di antara wilayah Tuban hingga Gresik sementara saya masih bocah 7-8 tahun dengan tubuh setipis kipas; kepada panas dada dan perasaan uring-uringan berhari-hari ke depannya setelah Uston Nawawi gagal dalam adu penalti di final Sea Games 1997; kepada setiap butir Kopiko yang secara konyol saya percayai bisa membuat saya terjaga untuk bisa menonton semua siaran pertandingan Euro 1996; kepada ribuan malam yang saya habiskan untuk memelototi televisi di rumah orang lain, dan sebagian besar dari itu berakhir dengan rasa kecewa; kepada adegan yang terus berulang dan berulang saat Ibu mengomel, “Bola lagi, bola lagi,” dan saya pura-pura tak mendengar; kepada terlalu banyak rasa lelah dan rasa rusuh paling buruk yang saya tidak rasakan atas hal-hal lain yang lebih nyata dari sepakbola.

Tentu saja rasa sakit dan sia-sia itu tak ada apa-apanya dengan yang dialami oleh para Bonek estafet yang bertaruh nyawa untuk menonton pertandingan-pertandingan tandang Persebaya, kepada sekian Aremania yang bekerja semata agar bisa membayar tiket masuk Kanjuruhan, kepada para Bobotoh yang mesti menyamar di pertandingan tandang melawan Persija di tempat usiran—meskipun pada saat yang sama “sakit” dan “sia-sia” tampaknya tak masuk dalam daftar kata sifat di tata bahasa mereka. Tapi saya percaya, setiap penyuka sepakbola punya rasa sakitnya sendiri-sendiri, dan itu sangat personal, sulit untuk dibanding-bandingkan.

Dan meskipun saya tak punya heroisme melewati rites of passage ala Nick Hornby ketika pada usia 15 pindah dari tribun khusus anak-anak sekolah ke tribun North Bank di belakang gawang di Highbury, saya punya “rites of passage” saya sendiri. Itu kenapa saya punya ingatan yang sama detilnya dengan Hornby saat malam menjelang final Liga Champions 1995 antara Ajax vs. Milan: saya ingat hari-hari menjelang keputusan konyol yang saya ambil itu; saya ingat setiap langkah yang saya seret di tengah gelap malam sambil mengkhawatirkan Kalil, teman yang mengajak saya menonton final itu di televisi milik sepupunya di desa tetangga, di samping saya tiba-tiba menghilang atau berubah wujud jadi memedi; saya ingat desir dada saya dan tegak bulu roma ketika kami melewati samping pohon sawo rebah Pak Antri yang legendaris seramnya itu; saya ingat ketika Patrick Kluivert mencetak gol dan kapten Danny Blind mengangkat Kuping Besar, saya justru telah memilih untuk menetapkan hati menjadi pendukung AC Milan, tim yang kalah malam itu.

Perasaan paling gagal dan paling bersalah ketika tiga tahun menjadi merbot masjid bukanlah ketika diam-diam saya masih menyelinap untuk nonton film-film lucah di bioskop Permata, tetapi ketika saya harus segera mengumandangkan azan Magrib sementara beberapa detik sebelumnya saya masih merayakan gol saya di lapangan bola persis di belakang masjid, sehingga daki dan peluh di muka belum sempat saya basuh dan kaos yang basah oleh keringat masih saya pakai—dan saya melakukan itu bukan karena keteledoran, melainkan dengan segala keculasan. Di tahun-tahun terakhir keberadaan saya di masjid, saya sesekali tak pulang dengan alasan kegiatan di kampus, padahal beberapa di antaranya karena saya ingin nonton bola dengan lebih leluasa di salah satu kos teman (dalam beberapa kesempatan, keputusan tak pulang ke masjid untuk menonton bola itu tidak saya lakukan secara instingtif atau spontan, melainkan saya siapkan dengan terencana, dengan alasan-alasan yang telah saya susun secara matang).

Saya lebih menyukai buku-buku memoar dan catatan-catatan konyol penuh kesia-siaan para fan, dibanding biografi penuh kejayaan seorang pemain terkenal atau sejarah taktik yang jelimet, bukannya tanpa penjelasan: dalam pengalaman-pengalaman mereka saya menemukan pengalaman-pengalaman saya, tapi terutama pada rasa sakit dan kekonyolan merekalah saya menemukan bahwa rasa sakit dan kekonyolan berkait sepakbola saya masih tidak seberapa. Di tahun-tahun belakangan saya mulai menempatkan Fever Pitch di atas banyak buku-buku fiksi yang mengubah saya—dan bahwa ia ditulis oleh seorang pendukung Arsenal, salah satu klub paling malang di dunia, itu justru menguatkannya. Saya berulang-ulang membaca memoar Anthony Clavane, Promised Land, dan menikmati kemurungannya dalam menghubungkan kejayaan dan kemalangannya sebagai pendukung Leeds United dengan keyahudiannya—cermati foto lelaki paroh baya hitam-putih tampak punggung dengan syal Leeds menggantung di bahu, juga tentu saja anak judul menye-menye “A Northern Love Story”, di sampul buku. Saya tertawa tak habis-habis membaca ode Dave Robert untuk klub masa kecilnya, Bromley, yang ia sebut “the worst football team in Britain”. Saya jatuh cinta hanya dengan membaca judul-judul buku Stephen Foster (She Stood There Laughing dan …And She Laughed No More) tentang Stoke City, tim paling ganjil yang pernah tampil di Liga Primer—dan karena belum tahu mesti ke mana mendapatkan buku itu, saya menyabet begitu saja buku Foster berjudul aneh, The Book of List Football, yang saya jumpai di lapak buku daring (dan saya mendapatkan buku sepakbola yang berlipat-lipat konyolnya dibanding buku yang pernah saya tulis sendiri dengan nama alias Owen McBall).

Mungkin hidup saya akan jauh lebih baik jika tak tersesat menjadi penulis; teman-teman saya sekantor di Jakarta dulu kini menjalani bermacam-macam jenis profesi (politisi, dosen, staf ahli wakil rakyat, wartawan, juga pengusaha kuliner), dan kalau saya sedikit saja lebih keras berusaha, saya pikir saya juga akan menjadi seperti salah satu dari mereka. Namun, tak ada yang hidup lebih baik yang bisa saya bayangkan kecuali saya hidup tanpa sepakbola. Alangkah indahnya hidup tanpa mengenal nama Jose Mourinho. Alangkah nikmatnya bangun di Senin pagi, sarapan, berangkat ke kantor sekalian mengantar anak ke sekolah, dan kerja untuk tabungan pendidikan anak dan cicilan rumah masa depan tak perlu mencari mencari tahu di urutan ke berapa AC Milan kini. Betapa ringannya kepala jika Anda tak punya ingatan tentang gol-gol Terdsak Chaiman ke gawang timnas Indonesia, kecerobohan Maman Abdurrahman di final Piala AFF 2010, atau terpelesetnya Steven Gerard di depan kaki Demba Ba. Dan karena itu, di tengah rasa sakit dan kesia-siaan akibat sepakbola, saya sering membayangkan bahwa pada suatu pagi saya bangun dan tiba-tiba tak tahu alasan kenapa Inter Milan diejek orang, kenapa pendukung MU menderita, dan kenapa Barcelona adalah klub yang tak bahagia.

Tapi mana bisa? Apa rasanya melewati pandemi ini tanpa bisa ikut bergembira dengan rasa dengki pendukung MU atas gelar liga Liverpool? Bagaimana kalian melewati awal Agustus di 2020 tanpa ikut merayakan kemalangan Juventus?

Kebahagiaan-kebahagiaan yang didapat penyuka sepakbola sangatlah remeh, tapi itu adalah salah satu perasaan terbaik yang bisa dirasakan manusia. Dan orang macam saya mesti menikmati rasa sakit yang berlipat-lipat untuk bisa menebusnya.

***

Salah satu tamsil di Al-Quran yang populer di kalangan penceramah, yang biasanya berdampingan dengan peringatan tentang betapa bahayanya menyia-nyiakan waktu, adalah cerita tentang perempuan tua yang susah payah merajut benang dan kemudian membongkarnya. Meski ayat itu terkait dengan soal menepati perjanjian, perempuan tua itu lebih banyak dihubungkan dengan tindakan sia-sia dan aniaya, sementara beberapa pihak lain menyamakannya dengan kebodohan. Tentu saja, semua karakter yang dilekatkan pada perempuan tua itu akan masuk dalam bab-bab “Sifat-sifat Tercela” dalam pelajaran Akidah Akhlak.

Saya berlindung dari murka Tuhan terhadap orang-orang yang melakukan tindakan bodoh seperti itu. Tapi, sejujurnya, tak ada sikap, karakter, ciri yang lebih mendekati perempuan tua dan benang rajutnya itu dibanding seorang penggemar sepakbola. Dan karena itu, sejak mula mendengar cerita tentang perempuan tua itu, saya punya semacam sikap solidaritas terhadapnya.

Menyukai sepakbola, seperti benang yang susah payah dirajut dan kemudian dibongkar, adalah rasa sakit dan sulit yang dinikmati, kebahagiaan yang fana dan dengan cepat memudar, dan ia dilakukan berulang-ulang. Dan saya kira karena itulah saya tak membutuhkan rasa sakit yang lain.

Misalnya dengan memasukkan kaki ke jeruji sepeda motor.

BACA JUGA Membaca Ulang ‘Hujan Kepagian’ dan esai Mahfud Ikhwan lainnya di kolom REBAHAN.

Exit mobile version