Kolom: Membaca Ulang ‘Hujan Kepagian’

merdeka sepakbola singkong menulis ironi sepakbola jendela sepeda zainuddin mz puasa tarawih kolom menulis tutur tinular penulis buku lagu tv rusak rebahan kolom mahfud ikhwan mojok.co ayam rumah kontrakan contoh esai bagus indonesia mojok.co putu wijaya

merdeka sepakbola singkong menulis ironi sepakbola jendela sepeda zainuddin mz puasa tarawih kolom menulis tutur tinular penulis buku lagu tv rusak rebahan kolom mahfud ikhwan mojok.co ayam rumah kontrakan contoh esai bagus indonesia mojok.co putu wijaya

Saya bukan hanya pembaca yang lambat, tapi juga pembaca yang terlambat. Dan karena dua hal itu, sampai dua puluh tahun lewat menggeluti kepenulisan, saya tetap merasa bahwa saya adalah penulis dengan bacaan yang terbatas. Jadi, jika saya terlihat sebagai penulis yang tak terlalu gemar name dropping sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para penulis keren, bukan karena saya rendah hati, tapi karena memang saya tak punya banyak nama yang layak didrop. Pada akhirnya saya bicara tentang, dan mengutip, nama yang itu-itu saja.

Meski demikian, saya bukannya sama sekali terhindar dari kebiasaan buruk itu, apalagi kalau sudah mulai omong. (Makanya, dalam hemat saya, penulis seharusnya tak terlalu banyak omong.) Saya bisa mengoceh tentang nama-nama yang bukunya hanya saya beli namun tidak pernah saya buka. Atau, yang lebih sering, nama dan buku yang hanya pernah saya dengar karena orang pernah bilang—seperti yang dilakukan banyak orang.

(Ya, itu salah, tapi mungkin juga tak terlalu salah. Saya pernah menjadi mahasiswa Sastra Indonesia, dan, seperti kebanyakan mahasiswa Sastra Indonesia di mana pun, kami lemah dalam bahasa Inggris. Saya kenal nama-nama besar seperti Stendhal hingga Steinbeck, Hugo hingga Hemingway, mengerti sedikit-sedikit tentang novel mereka, hanya dari satu buku tipis Aoh K. Hadimadja, Aliran2 dalam Kesusastraan, dan itu cukup membuat saya mendapatkan nilai A untuk mata kuliah Kesusastraan Dunia. Beberapa memang akhirnya saya tebus baca dan kemudian tahu, beberapa coba baca dan tetap tak mengerti, namun beberapa nama yang lain tetap tinggal sebagai nama yang dihapal. Mahasiswa Sastra Indonesia juga biasanya adalah tipikal paling tidak nyastra dari kebanyakan mahasiswa sastra, termasuk dalam kebiasaan membaca. Maka, meskipun kami tak memiliki kendala bahasa Indonesia, kami punya kendala dengan membaca. Beruntung ada orang-orang mulia seperti Jacob Sumardjo dan Maman S. Mahayana, yang meringkaskan novel-novel Indonesia untuk kami. Dari buku-buku sinopsis itu kebanyakan dari kami tahu tentang nama-nama dan karya, dari Merari Siregar hingga Umar Kayam, dari Armijn Pane hingga Ahmad Tohari, dan dengan itulah kami melalui semester demi semester dengan lancar—dan akhirnya lulus.)

Di antara nama-nama yang kadang saya bualkan tanpa pernah membaca bukunya, atau merasa benar-benar membaca, ada satu nama dan satu bukunya yang sering saya ulang-ulang: Hujan Kepagian dari Nugroho Notosusanto. Di kala para penulis sedang gemar-gemarnya mengutip nama-nama Latin aneh, yang mungkin hanya Ronny Agustinus yang bisa dengan tepat mengejanya, pasti sangat tak lazim menyebut-nyebut seorang penggawa par excellence Orde Baru seperti Nugroho, apalagi dibarengi dengan buku kumpulan cerpennya yang tak populer itu. Jika mau menaikkan harkat diri di depan khalayak sastra, setidaknya menyebut nama adiknya, Budi Darma, yang direndengkan dengan salah satu dari novel absurdnya, apalagi ditambahi dengan mengutip satu-dua dialog dari nama-nama tokohnya yang asing, pasti terdengar lebih keren. Tapi, name dropping Nugroho dan buku Hujan Kepagian­-nya memang tak bertujuaan sebagaimana umumnya name dropping dilakukan; saya biasanya menyebut pengarang dan buku ini sebagai sebentuk pengakuan: bahwa di ujung usia remaja, ketika seorang penulis seharusnya sudah menunjukkan kecenderungan kepenulisannya, atau setidaknya memulai riwayat bacaannya, saya bahkan belum tahu bedanya cerpen dan novel, apalagi sastra.

***

Begini ceritanya….

Di kelas 2 SMA, Bu Ifa, guru Bahasa Indonesia kami yang tak begitu populer (sebagaimana kebanyakan guru Bahasa Indonesia di sekolah mana pun), menugaskan kami membuat sinopsis novel. Semua orang terdengar menggerutu—biasa terjadi terhadap semua hal yang berkait tulis-menulis dan karang-mengarang. Saya, seorang yang dianggap dan menganggap diri punya antusiasme lebih dengan pelajaran Bahasa Indonesia, dan jarang mendapat nilai buruk, juga ikut menggerutu. Saya punya dua persoalan atas tugas itu. 1) Apa yang disebut sebagai “sinopsis” belum benar-benar jelas. Sinopsis artinya ringkasan, demikian penjelasan Bu Ifa. Namun, penjelasan yang ringkas tentang “ringkasan” itu sama membingungkannya dengan kebanyakan penjelasan yang rumit atas jenis-jenis karangan yang disebutkan sebagai “sederhana”. Sebab, apa pun bentuknya, bagi siswa sekolah di Indonesia, mengarang memang membingungkan dan tak pernah sederhana. Jika mengarang saja sulit, apalagi mengarang dengan cara yang berbeda macam sinopsis ini. 2) Apa itu “novel” juga tak benar-benar menjadi lebih terang—dan ini kemudian menjadi persoalan besar di belakang. Novel memang diterangkan sebagai roman jenis baru. Namun, yang tinggal di kepala, novel tetap saja berarti buku stensilan Freddy S—dan buku lucah paling terlarangnya Enny Arrow. Ketika kemudian ditegaskan oleh Bu Ifa bahwa kami boleh juga meringkas roman, ada secercah harapan: baik, berarti buku-buku yang biasa dihapal judul-judulnya itu (Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya, Belenggu, Layar Terkembang, dst.) yang mesti kami cari. Tapi, persoalan baru sudah menunggu. 3) Nyaris semua buku itu belum dibaca, sementara tugas sinopsis ini adalah tugas kelas, bukan Pekerjaan Rumah; lalu kapan bacanya? Jika dibaca dengan tergesa pun, tetap tak akan cukup waktunya karena beberapa buku tampak memiliki halaman yang tidak tipis, lebih dari seratusan. Saya sendiri, karena keingintahuan, sebenarnya telah membaca beberapa roman tipis. Saat itu, saya sudah menamatkan setidaknya Dian yang Tak Kunjung Padam dan Perawan di Sarang Penyamun, keduanya karya Sutan Takdir, dan keduanya tipis, dan saya masih ingat sedikit-sedikit isinya. Saat itu saya pikir saya bisa mengambil dua buku itu, membaca ulang sekilas, dan meringkaskan apa yang saya ingat. Tapi malang, mungkin karena terlalu banyak pertimbangan, juga tampak terlalu serius menghadapi tugas itu, saya tak mendapat roman-roman tipis itu. Semua roman standar sudah diambil teman. Perpustakaan di SMA kami cukup besar, dan mungkin banyak novel lain di luar roman Balai Pustaka di sana, tapi tak ada yang memberi tahu kami nama-nama dan judul selain Sutan Takdir dkk.; saya tahu nama Idrus, Iwan Simatupang, Mochtar Lubis dari sejak SMP, tapi di mana buku mereka, di rak mana saya mesti mencarinya? Pustakawan kami, Pak Tukijan, orang yang baik dan ramah. Ia biasa membiarkan kami nonton pertandingan NBA di televisi perpus bahkan di tengah jam pelajaran, tapi sepertinya ia bukan orang yang tepat untuk ditanya di sebelah manakah deretan novel Angkatan ‘45, dst. Maka, saya pun mengambil salah satu buku dengan eksemplar yang cukup banyak dan, terutama, paling tipis; tak sampai 70 halaman. Buku warna sampul hitam dengan jilid kawat dan label “sastra” di pojok kanan atas. Hujan Kepagian dari Nugroho Notosusanto; saya kenal nama itu; jumlah halaman buku sejarah yang disusunnya, Sejarah Nasional Indonesia, lebih banyak saya baca dibanding seluruh roman yang pernah saya baca digabung jadi satu. Maka, dengan gembira dan hati lega, buku itu saya bawa ke kelas. Dan sebentar kemudian, saya hanya bisa menunjukkan wajah bingung kepada teman sebangku saya, Iskandar: kok satu bab dengan bab lainnya tidak nyambung? Ceritanya kok beda-beda? Terus bagaimana meringkas “roman” yang cerita antarbabnya tak berhubungan seperti ini? Saya mestinya sudah membaca anak judul “Kumpulan Cerita Pendek” di halaman judul, tapi saya pikir saya tak benar-benar mengerti apa jenis buku yang saya bawa ini. Dan sebagaimana saya merasa tak sopan untuk bertanya kepada Pak Tukijan karena mungkin dia tak akan tahu, saya juga merasa tak seharusnya bertanya kepada Bu Ifa, yang mendapat lebih banyak pertanyaan dari anak-anak pintar yang duduk di bangku depan. Saya tak mengingat apa yang kemudian saya lakukan dengan buku itu dan “sinopsis” yang saya kerjakan. Yang jelas, itu jauh dari rasa angkuh dan sedikit mengentengkan yang biasa saya tunjukkan saat menumpuk tugas atau menjawab pertanyaan tentang contoh-contoh kalimat atau tugas membuat pantun, misalnya. Saya merasakan kekalahan sebelum tanding, perasaan yang akrab saya rasakan ketika mengerjakan tugas Fisika atau Akuntansi.

Yang pasti, nyaris tak ada satu hal pun yang saya ingat dari buku itu kecuali judul, warna buku, dan nama penulisnya, dan sekelumit kisah tentang seorang gerilyawan kemerdekaan dan seorang tentara Belanda yang berebut bayi di sebuah rumah yang tengah terbakar. Ingatan tentang fisik buku, judul, dan nama pengarang itu, dan pengalaman buruk yang saya alami kemudian saya abadikan dalam anekdot yang kemudian saya ulang-ulang dalam banyak kesempatan: bahwa di kelas 2 SMA saya bahkan tak tahu beda novel dengan kumpulan cerpen.

Hujan Kepagian saya jumpai lagi di perpustakaan Fakultas Sastra, tempat di mana saya bertemu dan kemudian terpukau dengan cerpen-cerpen Putu Wijaya dan begitu obsesif membaca ulang dan kembali membaca ulang Negeri Kabut-nya Seno Gumira. Tapi, sepanjang kuliah, saya tak pernah tertarik untuk menyentuh buku hitam itu, apalagi membacanya—sebagaimana saya juga melewatkan puluhan karya sastra Indonesia lainnya. Sampai kemudian tahun lalu terjadilah apa yang mesti terjadi.

Nyaris 25 tahun sejak aib yang saya ceritakan ini saya alami, di sebuah pasar buku tua di Malang, saya menemukan sederet buku sastra tua “bekas” perpustakaan sebuah SMA di Manado. Saya, entah kenapa, memilih beberapa novel dan kumpulan cerpen berlatar perang kemerdekaan. Selain beberapa karya Nasjah Djamin yang terlewatkan, lalu beberapa nama yang tak pernah saya dengar, saya juga mengambil buku tipis bersampul hitam berjilid kawat itu.

Pada 2020, saya akhirnya membaca (kembali) Hujan Kepagian.

***

Tahun-tahun SMA saya, jika saya hitung-hitung, sepertinya bertepatan dengan tahun-tahun emas sastra Indonesia. Saya bayangkan, di Jakarta, jurnal kebudayaan Kalam sedang jaya-jayanya, dan Ayu Utami baru saja memulai mengerjakan novel pertamanya yang kelak mengguncang sastra Indonesia, dan tak pernah ditemukan presedennya dalam kesusastraan Indonesia sebelumnya—jika Anda sepakat dengan klaim para juri DKJ yang memenangkannya; di Jogja, Eka Kurniawan mungkin baru saja merampungkan membaca Hamsun untuk kesekian kalinya, dan embrio ide Cantik Itu Luka mulai mengambang di kepalanya, sementara Puthut EA boleh jadi tengah memikirkan bait-bait awal puisi-puisi pertamanya.

Tentang masa yang sama, saya sangat ingin melakukan pendakuan seperti ini: saat itu adalah untuk pertama kalinya saya menyelesaikan sebuah cerpen remaja saya, dan cerpen itu dimuat di buletin sekolah kami, Illusi; cerpen itu membuat saya menyadari bakat menulis saya; saya semakin bersemangat menulis, dan guru Bahasa Indonesia saya, dengan perhatian dan penuh bimbingan, meminjami saya novel-novel yang tidak ada di perpus sekolah; itu tahun-tahun saya bertemu Merahnya Merah Iwan Simatupang, terpukau dengan Burung-burung Manyar-nya Romo Mangun, dan dibuat tertegun-tegun dengan Olenka-nya Budi Darma; dan beberapa saat sebelum lulus, sebuah cerpen saya akhirnya muncul di majalah Gadis. Tapi, tentu saja tak ada pendakuan seperti itu. Saya kenal dengan para penulis yang punya pengalaman menulis dan membaca di masa remaja seperti itu, atau mendekati itu, tapi itu jelas bukan saya.

Selain berita dan laporan-laporan hasil pertandingan sepak bola dan berita di koran secara umum, di antara usia 15-17, bacaan saya sangat acak, dan karena itu sulit saya ingat. Selain menggunting gambar dan menyimpan poster pemain bola, seingat saya, saya hanya pernah mengkliping sebuah laporan berseri di Republika tentang konflik Palestina-Israel, itu pun saya lupa nama wartawan yang menulisnya. Beberapa buku serial silat Wiro Sableng yang tercecer di kantin sekolah juga saya baca di masa-masa ini, tapi saya tak ingat persis seri yang mana.

Jika benar-benar memaksa memeras ingatan, selain beberapa jilid Sejarah Nasional Indonesia dan Hujan Kepagian yang tak benar-benar terbaca itu, juga dua roman tipis yang tak begitu penting dari Sutan Takdir, saya hanya akan menemukan dua bacaan lain yang saya anggap cukup signifikan bagi masa-masa remaja saya. Yang pertama adalah sebuah artikel agak panjang tentang Annie Bessant, tokoh penting Teosofi sekaligus Freemasonry, di jurnal Al-Muslimun lawas yang sudah tak bersampul. Tulisan itu bercerita tentang sepak terjang perempuan “kontroversial” di masa-masa India kolonial yang menyebarkan gagasan-gagasan sekuler, dengan pesan yang khas dan jelas: hati-hati dengan orang ini dan ajarannya, termasuk di dalamnya ide-ide tentang feminisme dan emansipasi perempuan. Saya mencontek sebagian tulisan itu, saya tambahi dengan perbandingan hitam-putih antara “perempuan musuh agama” ini dengan perempuan-perempuan suci dalam sejarah Islam, dan tulisan itu saya bacakan di sebuah pidato muhadharah di pondok. Kedua, dan ini mudah diingat, adalah buku Adam dan Hawa Bukan Manusia Pertama di Bumi, karangan Joesoef Sou’yb, penulis roman ala Medan yang kemudian menulis buku-buku polemik Islam tersebut. Sangat menyenangkan dan mudah dimengerti oleh remaja Islam yang ingin diyakinkan bahwa Teori Evolusi tidak benar, buku itu adalah salah satu dari sangat sedikit buku di perpustakaan pesantren, yang kemudian saya curi, dan masih saya simpan di rumah hingga saat ini. Jika dipikir-pikir, pantas saja saya tak diterima di Biologi UGM.

Yang patut disyukuri, bacaan-bacaan sumir ini tak menumbuhkan kegairahan yang berlebihan kepada saya ketika akhirnya pergi di Jogja. Malah, saya harus berterima kasih kepada keterikatan saya yang tinggi dengan tabloid Bola, yang tak pernah berkurang bahkan setelah kuliah. Sebab, karena Bola-lah saya secara ajeg mengunjungi perpustakaan Fakultas Sastra, yang kemudian mempertemukan saya dengan buku-buku yang mengubah saya. Boleh dikata untuk seterusnya.

Oh ya, sampai di sini mungkin ada yang mencari-cari sinopsis, atau resensi singkat, atau kupasan selayang pandang tentang buku itu. Harus saya bilang, sejujurnya, saya merasa tak perlu melakukan itu. Meski bukan salah satu buku terburuk yang pernah saya baca, ini jelas buku yang tak terlalu istimewa untuk diperbincangkan. Dan, oleh karena itu, saya merasa baik-baik saja meski baru benar-benar membacanya.

Saran saya, daripada mengulik-ulik dan melap-lap nama-nama lama yang insignifikan seperti Nugroho dan karya-karya fiksinya, akan lebih baik jika Anda mulai mencari tahu tentang David Raya Martin. Mumpung belum banyak orang yang menyebut-nyebut dan memperbincangkan namanya.

BACA JUGA Tercerabut dan esai Mahfud Ikhwan lainnya di kolom REBAHAN.

Exit mobile version