8 Tipe Alasan Pasangan Mesum saat Kena Gerebek; dari Ngaku Tante Ponakan sampai Ngaku Kemaleman

MOJOK.COInilah delapan alasan yang kerap dipakai pasangan mesum yang kena gerebek. Sebuah info valid dari tangan pertama.

Sewaktu masih anak-anak, saya kepengin jadi Casper. Bukan karena di Casper the Friendly Ghost, Casper adalah tipe hantu yang baik hati, tidak sombong, dan mungkin gemar menabung, melainkan karena ada hasrat melampiaskan dendam aja sih dari saya.

Kepengin aja saya nampolin teman balbalan, yang sok ngatur-ngatur posisi main saya, padahal nendang aja, suka kena angin doang. Itu semua hanya bisa terjadi jika saya transparan, tak kasat mata seperti Casper.

Dalam Republic, karya masyhur dari Plato, mahaguru Socrates berkisah tentang “Ring of Gyges”. Cincin yang mampu bikin manusia menjadi tidak terlihat, tidak kasatmata, invisible man.

Andaikan pakai cincin itu, masihkah manusia berkata jujur atau bertindak adil? Masihkah punya alasan untuk tidak melakukan kejahatan, pengkhianatan dan dosa? Adakah yang masih taat norma?

Jelas, manusia bukanlah Casper. Socrates juga cuma berandai-andai. Saat berbuat dosa, pengkhianatan, asusila, atau katakanlah berbuat mesum, ya resikonya ketahuan. Konsekuensinya, malu dan dihukum, baik hukum dunia atau hukum akhirat. Sepanjang bisa mengelak, sebisa-bisanya mengelak.

Nah, belum lama ini, lumayan rame kasus pasangan mesum yang terciduk aparat. Mereka berargumen sebagai tante ponakan. Heran, modus klise, macam ini kok masih laku saja jadi berita. Nggak percaya, coba ketik “tante ponakan” di Google.

Lha, soalnya saya punya pengalaman jadi tukang interviu dengan para pasangan mesum. Simpan saja penasaran Anda siapa saya, kok bisa terlibat dalam operasi pekat sih saya ini?

Dalam praktiknya, tentu saya bagian dari tim, menggunakan tools dan keilmuan profesional untuk mengasesmen. Hasilnya, sebagai bahan untuk ambil keputusan, mau diapakan mereka yang terjaring operasi pekat. Termasuk pasangan mesum yang terciduk.

Yang pasti, ini bukanlah catatan profesional. Sekadar ingin berbagi. Inilah template-template yang kerap dipakai sebagai modus pasangan mesum, ringkasan ratusan kali pengalaman saya bertugas menginterviu mereka.

Pendukung fanatik nilai kekeluargaan

Pasangan mengaku ada hubungan keluarga, tante ponakan atau kakak adik, bahkan bapak anak pernah saya temui. Sepertinya, mereka ini para pendukung “nilai-nilai Asia” yang mengagungkan kebersamaan dan kekeluargaan. Begitu fanatiknya, hingga “ponakan, tante, adik” 18+ pun harus dibersamai dan dikeloni.

Pasutri tanpa bukti

Ngeyel ngaku pasutri, begitu ditagih dokumen malah ngegas, “Emang, surat nikah harus dibawa terus?”

Begitu dilihat KTP-nya beda domisili, lalu berkilah, “KTP belum diurus, Mas.”

Ngadepin modus ini, tutorial termudah adalah pisahkan pasangan ini. Lalu, kasih 3 (tiga) pertanyaan kuis:

  1. Tuliskan nama suami/istrimu.
  2. Tuliskan alamat rumah.
  3. Berapa anakmu, sebutkan namanya.

Tulis semua dengan  lengkap. Sejauh pengalaman saya, pasutri abal-abal sering langsung gagal sejak soal pertama. Apalagi sampai soal ke-3, si perempuan jawab dua, si laki-laki jawab tiga.

Berlindung di balik nikah siri

Pengguna template ini suka menunjukkan sertifikat nikah siri. Redaksinya sih asal-asalan. Mirip surat permintaan sumbangan panti asuhan dilaminating yang diedar di bis jaman dulu. Stempelnya serupa stempel pada telur asin Brebes.

Kepada petugas macam saya, banyak pelaku justru memberi ceramah gratisan bab munakahat. Dalam fikih, nikah siri itu boleh, bla-bla-bla. Cuma, saat diminta KTP, suka gagap. Apalagi dimintai telepon orang rumah. Sepertinya dag-dig-dug, takut istrinya tahu.

Jujur, kepengin banget saya mendebat, “Bapak bisa fasih khotbah di depan saya, kenapa gagal meyakinkan istri bapak agar ikhlas kalau Bapak nikah siri?”

Nikah sudah dekat

Usernya adalah oknum muda-mudi, dari remaja sampai mahasiswa. Kerap dibonusi argumen, “Kami tunangan,” atau, “Sebentar kami merit kok, Mas.” Hmmm, nginap sekamar apa dianggap latihan kali ya?

Seringkali saya gatal berkomentar normatif ke mereka, “Segerakan dihalalkan, Mas, Mbak.” Sayangnya jawabannya seringnya kayak gini: “Ekonomi belum mampu, Mas.”

Owalah, adik-adik ini ternyata butuh pelatihan kerja. Hanya saja, bukannya mereka cari sparing partner buat cari kerjaan, tapi malah latihan perkawinan.

Alasan teman, pekerjaan, dan kemalaman

Terpaksa menginap karena kemalaman.

Masuk akal sih. Semua orang bisa mengalami kejadian lumrah begitu. Tetapi, nggak harus sekamar bukan?

“Uangnya, nggak ada, jadi sekamar.”  Walah, ini pemburu paket hemat pangkal enak. Kadang, demi semakin meyakinkan, ada juga yang beralasan sedang mengerjakan project bersama di kamar.

Klaster curhat

Sering saat konfirmasi status hubungan, justru saya dipaksa mendengarkan curhat. “Betul, ini bukan suami/istri saya, Mas. Mohon maklum, lagi ada masalah rumah tangga, lagi ribut di rumah.” Kalau nggak mereka berargumen, “Dalam proses cerai, Mas.”

Spontan, saya ingat spanduk di sekolah, Harap Tenang ada Ujian. Model ini minta permakluman bahwa  mereka yang lagi mendapat ujian dan masalah, membutuhkan ketenangan psikologis. Ini dapat disubstitusi dengan pemenuhan kebutuhan biologis.

Profil klaster ini menimpa yang sudah dewasa, modusnya antitesis dari motto pegadaian, mengatasi masalah tanpa masalah.

Tak ada alternatif

“Terpaksa kerja ginian.” 

Hati siapa yang tak runtuh mendengar jawaban makjleb dari PSK yang ngaku? Cuma alasannya tetap klise.

“Anakku banyak, Mas. Susah cari pekerjaan. Suami minggat tak bertanggung jawab. Anak-anak butuh makan dan harus bersekolah. Saya harus gimana lagi?”

Beruntung jika saya tidak ketemu tipe yang protas-protes.

“Memang Anda mau membantu saya. Menyekolahkan anak-anak saya. Memangnya kalau anak saya mati, Anda mau tanggung jawab, ngasih makan anak saya? Emang Mas mau nikahi saya? Mas sih enak main tangkap-tangkap, nanya-nanya doang! Udahlah, kalo dosa ini juga dosa saya kok.”

Saya biasanya tarik nafas panjang. Terngiang-ngiang nasihat Iwan Fals, “Masalah moral masalah akhlak, biar kami cari sendiri. Urus saja moralmu urus saja akhlakmu.”

Jujur itu hebat

“Aku melacur karena pekerjaan ini gampang sekali.”

“Aku melacur karena malas cari kerja lain.”

“Sebetulnya aku bisa saja mencari pekerjaan lain, tapi menjual diri lebih menguntungkan.”

“Jadi pelacur itu enak dan asyik!”

“Aku senang kerja begini karena hobi.”

Akhirnya, inilah golongan manusia-manusia yang apa adanya. Jujur, tak peduli pake cincin bangau ala Socrates atau tidak. Meskipun, kata pakar, manusia cenderung berbohong, kalau pun ia jujur, karena ingin mendapat reputasi jujur. Bukan kejujuran itu sebagai tujuan itu sendiri.

Sayangnya klaster ke-8 ini hanya imanjinasi. Kutipan di atas saya temui dalam cerpen berjudul “Pelacur” dalam buku Atas Nama Malam, karya Seno Gumira Ajidarma. Setiap orang mencari pembenaran hidupnya sendiri-sendiri, titahnya.

Jadi ya memang begitulah, pembaca Mojok yang budiman. Makin banyak saya bertanya, makin banyak saya mendengar pembenaran-pembenaran, bukannya melihat kebenaran.

Tugas menilai, perilaku manusia-manusia, laki-laki atau perempuan, remaja bahkan dewasa sampai lansia, apapun agamanya, rasanya gatal ingin bergegas menyimpulkan. Toh, faktanya jawaban-jawaban di atas sering saya dengar gitu-gitu saja.

Bekerja sebagai tukang interviu hasil operasi pekat adalah pekerjaan yang harus tetap husnuzan. Tidak boleh menghakimi, lebih banyak mendengarkan. Tapi tetap saja, modus yang itu-itu saja bikin bosan. Karenanya, seorang teman yang bertugas seperti saya, sebut saja Mas Ono pernah melontarkan ide dan harapan.

“Andai saja ada alat canggih dan cerdas, yang mampu mendeteksi perilaku mesum. Alat itu akurat dan berbunyi ‘bip-bip-bip’, indikator lampu menyala, saat didekatkan ke mereka. Alangkah merdekanya kita nggak perlu ditugaskan untuk jadi ‘polisi moral’ begini.”

“Oh, kalem, Bro. Alat itu cepat atau lambat pasti akan ada. Tapi jangan lupa, jangan sampai alat itu kebawa pulang.”

“Lho, memang kenapa?”

“Takutnya, saat alat itu di saku masih On. Lalu istrimu menyambut mesra. Terdengar bunyi ‘bip-bip-bip’. Apa nggak modyar, sampean!”

Saya lalu melanjutkan, “Ini kan perkara kebetulan saja, kamu jadi petugas. Kebetulan saja yang terciduk itu mereka-mereka. Kebetulan yang diinterviu juga bukan orang dekat kita. Ini misal, orang dekatmu yang khilaf. Sekali saja khilaf, lalu terciduk sebagaimana mereka gimana coba?”

Alasan apa yang akan kamu buat? Story apa yang akan kamu karang? Pembenaran apa yang akan kamu tegaskan? Paling gitu-gitu juga bukan?

Sebagai makhluk yang kasat mata, yang punya risiko dibully, dipermalukan, dihukum, atau merasa tersiksa saat melanggar norma kita memang dikelilingi dinding-dinding aturan.

Kecuali kamu kayak Casper yang bisa bisa tembus pandang atau dikasih cincin sama Socrates jadi bisa nggak kelihatan.

BACA JUGA Melihat Aksi Gerebek yang Cuma Mentok di Hotel Melati.

 

Exit mobile version