Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan. Tak hanya pendidikan formal tapi juga agama. Semangat itu yang membuat Randi Pranarelza (32) mendirikan Pondok Pesantren Jamhariyah, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) khusus bagi anak-anak penyandang disabilitas tuli.
Berkeliling ke luar negeri untuk belajar bahasa isyarat
Kepedulian Randy terhadap anak-anak tuli sudah berlangsung sejak tahun 2011. Saat itu ia masih duduk di bangku perkuliahan. Ia bersama teman-temannya pun turut aktif di suatu komunitas yang mengangkat isu disabilitas.
“Masyarakat kita masih menganggap kalau orang-orang tuli ini mengganggu, padahal komunikasi kita saja yang nggak nyambung,” ucap pendiri pondok pesantren di Sleman itu pada Jumat (31/1/2025).
Saat itu, bahasa isyarat belum terkenal di Indonesia. Randy berujar bahasa-bahasa agama seperti rukun iman, rukun islam, malaikat, kitab, neraka, surga juga tidak ada. Apalagi bahasa untuk mengaji. Meskipun, pemerintah sendiri sudah memperkenalkan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) sejak tahun 1981.
Oleh karena itu, pada tahun 2013, Randy sampai harus berkeliling ke negara lain seperti Malaysia, India, Bangladesh, Afghanistan, hingga Arab. Dari sana, Randy menemukan metode Arabic Sign Language (ASL) untuk membaca Al-Quran.
“ASL sudah digunakan secara internasional oleh sekolah-sekolah untuk orang tuli di negara Arab,” kata dia.
Mendirikan Pondok Pesantren Jamhariyah di Sleman
Pada tahun 2014, Randy akhirnya menikah dengan Umi Balqis. Keduanya sama-sama punya visi yang sama untuk memberikan pendidikan agama kepada anak-anak tuli.

Oleh karena itu, lahirlah Pondok Pesantren Jamhariyah, Sleman pada tahun 2019. Mulanya, ponpes ini terletak di Kabupaten Bantul kemudian pindah ke Dusun Grogolan, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman pada tahun 2020.
Setidaknya, ada 25 santri yang mendaftar mulai dari SD hingga SMA. Mereka berasal dari berbagai daerah seperti Jakarta, Lampung, Klaten, hingga Kalimantan. Meski sudah dibagi sesuai jenjang pendidikan, para santri tetap mendapatkan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan mereka.
“Karena kemampuan anak-anak ini beda-beda, yang di atas rata-rata juga ada,” kata pemuda asal Sumatera itu.
Randy mengaku tidak mematok biaya bagi anak-anak yang ingin mendapatkan pendidikan di Pondok Pesantren Jamhariyah, Sleman. Prosedurnya sama dengan siswa sekolah. Nantinya, orang tua diminta mengisi formulir data diri. Setelah itu, akan ada ijab kabul. Kesepakatan antara wali murid dan pengurus ponpes.
“Karena pondok ini bukan bisnis ya, pondok ini amalan. Kalau mikirnya seperti toko atau perusahaan, nggak akan jalan,” ujarnya.
Pondok Pesantren Jamhariyah Sleman mengajarkan ilmu hidup
Ia menjelaskan kalau sistem pengajaran di ponpes sedikit berbeda dengan sekolah luar biasa yang hanya mengajarkan pendidikan formal. Sementara, para pengajar ponpes lebih banyak mengajarkan nilai-nilai yang ada di pesantren Islam pada umumnya.
Sebelum subuh, anak-anak sudah melakukan amalan seperti salat malam dan doa bersama. Ada juga yang mengaji dan mengulang hafalannya secara mandiri, sembari menunggu salat subuh berjamaah.
“Target hafalannya nggak banyak. Tidak terlalu kami bebankan, karena tidak sesederhana yang dilakukan oleh santri biasa,” kata Randy.
Sementara, materi pelajaran umum seperti IPA dan IPS dimulai dari pukul 08.00 WIB – 11.00 WIB. Metode pengajarannya disesuaikan dengan bahasa isyarat Indonesia atau BISINDO.
Sebagai informasi, BISINDO berbeda dengan SIBI. BISINDO merupakan bahasa ibu yang tumbuh secara alami pada komunitas tuli di Indonesia, sehingga bahasanya tidak terstruktur seperti SIBI dan fleksibel.

Salah satu pengajar Bahasa Indonesia khusus Bahasa Isyarat di Pondok Pesantren Jamhariyah, Sleman, Winda (30), berujar perlu usaha lebih untuk mengajari para santri.
“Saya harus mengeja kata per kata. Pelan-pelan. Komunikasi kita harus dari hati ke hati,” kata Winda yang sudah lima tahun mengejar di sana.
Winda sebelumnya adalah petugas dapur tapi ia punya kemauan untuk belajar bahasa isyarat. Kisah Winda bisa dibaca selengkapnya di sini.
Mencari amalan untuk bekal di akhirat
Randy selalu memberi pesan kepada para pengajar di sana, jika yang dicari adalah harta atau kenikmatan duniawi, ia tak bisa memperolehnya dari pondok. Namun, jika yang dicari adalah amalan untuk akhirat, maka di Pondok Pesantren Jamhariyah, Sleman itulah tempatnya.
“Jadi memang kita ini mengabdi, menginfakkan waktu kita, menginfakkan diri kita untuk khidmat dan melayani mereka (santri) dalam hal keagamaan,” kata dia.
Ia pun tak menyangka Pondok Pesantren Jamhariyah, Sleman bisa bertahan sejauh ini, meski ada saja tantangan yang harus dihadapi. Bahkan ia jarang sekali mempromosikan tempat tersebut sampai ke luar daerah, tapi ada saja santri yang mendaftar.

Randy menduga informasi soal pondok pesantren miliknya tersebar dari mulut ke mulut. Artinya, masih banyak orang tua yang peduli pada anak-anak mereka untuk belajar agama. Meski begitu, Randy tak menampik bahwa dukungan dari keluarga tetap perlu.
“Kita harus sabar menunggu proses, kadang-kadang ada saja orang tua yang pinginnya cepat. Mereka protes kalau anaknya belum berubah. Padahal kan nggak bisa instan,” kata dia.
Ia berharap orang tua juga mau mengerti dan tetap sabar mendampingi anak mereka. Dengan begitu, selepas dari Pondok Pesantren Jamhariyah, Sleman para santri bisa terjun ke masyarakat dengan percaya diri dan bisa berdiri di atas kakinya sendiri.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Ketulusan Guru asal Magelang yang Mengajarkan Santri Tunarungu Mengaji, Saat Orangtua Sendiri Frustrasi atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.