Mulanya di kampung-kampung mereka di Jogja, perempuan main sepak bola menjadi sesuatu yang dianggap tidak lazim. Kendati Jogja menjadi tempat lahir klub sepak bola wanita legendaris: PSW Putri Mataram.
Namun, cara pandang itu kini berbeda sama sekali. Lintang dan Ayla menjadi dua putri daerah Jogja yang menjadi inspirasi bagi para orangtua untuk tidak ragu jika putri-putrinya meminati kulit bundar.
***
Di bawah arahan Sri Hastuti alias Itut (58), dua kelompok anak perempuan (7 lawan 7) tengah menjajal kemampuan di lapangan JEC Mini Soccer, Banguntapan, Bantul, pada Jumat (13/6/2025) sore WIB.
Saling serang, adu gocekan, hingga adu kuat di lini pertahanan dipertontonkan kedua tim. Meski hanya latihan, tapi laga mini itu berlangsung sangat ketat dan sengit.
Dari pinggir lapangan, selain berperan sebagai wasit, Itut juga berkali-kali berteriak memberi arahan: Apa yang masih kurang? Buka ruang untuk menciptakan peluang. Juga bagaimana seharusnya lini belakang memotong serangan lawan.
Sementara dari luar lapangan, orangtua yang mendampingi anak-anaknya berlatih bersorak seru sekali.

Tendangan jarak jauh memukau dari sang pengatur serangan
Sejak sesi sparing itu dimulai, ada satu anak yang memang terlihat sangat menonjol. Posisinya di tengah.
Tubuhnya mungil. Tapi sekali dia menerima bola, kulit bundar itu seperti lengket di kakinya. Dari tengah dia lantas mengatur pola serangan untuk menusuk ke jantung pertahanan musuh.
Gerakannya yang gesit membuat barisan lini belakang lawan sering kali kocar-kacir. Umpan-umpannya juga memanjakan. Sayangnya, rapatnya lini belakang lawan membuat serangan yang coba dia bangun sering kali patah.

Jika target umpannya sudah dikepung musuh, dia tak ragu melepaskan tembakan jarak jauh. Beberapa kali on target. Beberapa kali tipis saja melewati bagian atas atau samping mistar gawang.
Sampai akhirnya, menjelang akhir laga mini itu, bocah mungil itu melepaskan lagi tendangan jarak jauh. Bola melesat dan langsung menukik. Kiper lawan tak berhasil menghentikan laju bola di udara itu. Gawangnya akhirnya dibobol juga. Sorak-sorai dan tepuk tangan dari pinggir lapanganpun menyambutnya.
Mencetak 42 gol
Bocah perempuan mungil itu bernama Ayla Dva Khala Ahisma (12). Sejak laga mini sore itu berlangsung, namanya memang selalu diteriakkan oleh teman-teman setimnya setiap kali dia memegang bola. Berharap diberi umpan. Menunjukkan kalau dia memang menjadi andalan untuk mengatur serangan.
“Bisa gocek. Bisa tendangan jauh itu karena latihan terus di halaman rumah sama ayah. Terus ngasahnya di SSB,” ujar Ayla saat saya temui seusai latihan, pukul 15.30 WIB.
Ayla mengaku suka sepak bola sejak masih TK. Pengaruh utamanya adalah bapaknya sendiri. Karena bapaknya memang menggilai sepak bola. Sering bermain juga untuk level tarkam.
Ibu Ayla, Eni Andarwati (43), awalnya tidak mendukung putrinya tersebut bermain bola. Dia kelewat takut dengan risikonya: misalnya jika mengalami cedera.
“Yang mendukung sejak awal itu kan ayahnya. Ayahnya bilang gini ke saya: ‘Udah sekarang kita dukung anak. Doa ibu itu lebih mujarab. Jadi dukung aja anaknya biar berprestasi.’ Dan ternyata alhamdulillah sekarang malah membanggakan kami,” ucap Eni.
Selain berlatih bola dengan sang bapak, Ayla awalnya ikut sepak bola di lapangan desanya (Sambilegi Lor, Maguwoharjo, Sleman) bersama anak-anak laki-laki. Lalu oleh bapaknya diarahkan ke SSB Matra Sleman.
Sampai akhirnya, MilkLife Soccer Challenge (MLSC)—kompetisi sepak bola putri dari Bakti Olahraga Djarum Foundation—menggelar edisi kedua di Jogja pada Oktober 2024 silam.
Ayla ikut tergabung di KU-12 SDN Nanggulan. Timnya memang terhenti di semifinal. Namun, Ayla membubuhkan namanya sebagai top skor dengan total 42 gol.
“Nggak nyangka dan banggga. Karena setahu saya Ayla main bolanya itu biasa aja. Ternyata waktu di MLSC bisa sangat berkembang,” tutur Eni.
Rizky Ridho versi bocah perempuan
Sosok lain yang cukup menarik perhatian dalam sesi latihan sore itu adalah perempuan yang bertubuh lebih tinggi dan lebih berisi. Kemudian saya tahu dia bernama Regina Mikaela Lintang Putri (12).
Dalam sesi latihan sore itu dia tergabung dalam satu tim bersama Ayla. Jika Ayla bertugas mengalirkan bola ke depan, tugas Lintang adalah menghentikan lawan agar tidak bisa mencetak gol.
Dia menempati pos di sektor kanan pertahanan (bek kanan). Berkali-kali dia tampak tak ragu sedikitpun melakukan kontak fisik untuk merebut bola. Tubuhnya kokoh sekali. Sulit ditembus. Jika lawan berhasil lolos dari pressing ketat yang dia lakukan, dia akan lekas berlari melakukan back up.

Beberapa kali intersepnya juga bersih. Membuat bola yang digiring lawan dari sisi kanan terpotong sebelum menyentuh area gawang. Gaya mainnya mirip bek andalan Timnas Indonesia: Rizky Ridho.
“Pemain Indonesia yang kusuka memang Rizky Ridho,” ungkap Lintang, juga saat saya temui seusai latihan.
Dari ikut mengantar adik, lalu menjajal merumput sendiri
Lintang mulai menaruh minatnya pada sepak bola karena terlalu sering mengantar adik laki-lakinya yang sudah lebih dulu merumput. Namun, minat itu tertahan.
Justru sang ibulah yang membaca minat itu dari bagaimana Lintang memerhatikan adiknya saat berlatih atau bertanding di setiap kompetisi.
“Saya tawari, kamu mau po masuk SSB? Waktu itu masih kelas 5 SD. Karena mau, ya sudah saya masukkan SSB. Saya langsung mendukung saja. Selagi itu positif buat perkembangannya,” jelas ibu Lintang, Ambrusia Purwanita (42).

Sama seperti Ayla, bakat Lintang terlihat menonjol seusai mengikuti MLSC edisi kedua di Jogja pada 2024. Saat itu dia tergabung di KU-12 SD Kanisius Duwet, Mlati, Sleman. Dari situ, bakat Lintang malah semakin meningkat.
Mewakili Jogja, mewakili Indonesia
Ayla dan Lintang sama-sama tidak menyangka, dari MLSC itu keduanya justru dilirik untuk tergabung dalam MLSC All-Stars DIY. Mewakili Jogja bertanding dalam kompetisi MLSC All-Stars pada Januari 2025 di Kudus yang mempertemukan bakat-bakat pesepak bola putri dari berbagai daerah.
DIY memang gagal meraih hasil positif di kompetisi tersebut. Langkah MLSC All-Stars DIY terhenti di fase grup. Sepanjang laga, Ayla pun mengemas lebih sedikit gol: 2 gol.
Akan tetapi, gaya bermain Lintang dan Ayla berhasil mencuri perhatian Timo Scheunemann, pelatih sepak bola putri yang memang disiapkan oleh MLSC untuk mengarungi kompetisi Junior Soccer School and League (JSSL) Singapore 7’s 2025 pada April 2025 lalu, mewakili Indonesia.
Tim debutan yang menakjubkan
Ayla dan Lintang lantas menjadi dua nama dari Jogja yang dipanggil untuk memperkuat HydroPlus Strikers (KU-14). Di kompetisi internasional itu, HydroPlus Strikers tampil menakjubkan sebagai tim debutan. Mereka keluar sebagai runner up.
Sepanjang babak kualifikasi, HydroPlus Strikers mampu berada di peringkat kedua dengan torehan 21 poin. Dari sembilan pertandingan, mereka berhasil menang enam kali, seri tiga kali, dan tidak pernah kalah sekali pun. Tercatat 18 gol sukses tercipta dan hanya kebobolan 2 gol.
HydroPlus Strikers lalu meraih kemenangan 1-0 pada babak semifinal melawan National Development Center (NDC) A Singapura. Sedangkan di partai final, mereka harus mengakui kehebatan Lion City Sailors (Singapura) yang berstatus pemuncak klasemen dan menelan kekalahan 0-2. Tapi tetap saja catatan sebagai runner up untuk tim debutan menjadi raihan membanggakan.
“Kalau saya lihat, dari kota lain banyak pemain yang berpotensi. Ternyata Lintang terpilih ke Singapura. Masuk yang HydroPlus Strikers,” jelas Nita. “Haru campur bangga lah, Mas.”
Baik Nita maupun Eni sama-sama menaruh harapan, jika kompetisi sepak bola putri seperti MLSC rutin berlangsung, tentu akan membukakan jalan anak-anaknya kelak menjadi bagian dari Timnas Indonesia Putri.
Menjadi support system
Untuk mengawal putri mereka terus berkembang sebagai pemain sepak bola putri profesional, Nita dan Eni sama-sama menekankan pentingnya support system dari keluarga sendiri.
Itulah kenapa keduanya nyaris tidak pernah absen menemani putri-putrinya. Baik saat latihan maupun saat mengikuti turnamen di manapun.
“Soal asupan makanan juga saya jaga. Dari kecil memang jarang junk food. Bekal sekolah aja saya masakin sendiri biar nggak sembarangan jajan. Dari kecil juga sudah dibiasakan suka sayur dan buah,” beber Nita.
“Kalau Ayla ini kan suka sekali sama mie. Tapi sekarang sudah berkurang banyak. Jadi biasanya yang seminggu tiga sampai empat kali bikin mie, sekarang makin kurang. Gorengan sama bapaknya juga bener-bener dibatasi,” timpal Eni.

Tak hanya itu, Nita dan Eni yang awalnya tidak mengerti sama sekali istilah-istilah dalam sepak bola pun akhirnya mempelajarinya. Bukan hanya untuk pengetahuan pribadi, tapi juga sebagai bentuk dukungan kepada putri-putri mereka.
Inspirasi bagi ibu-ibu kampung di Jogja
Cara pandang orang di desa Eni dan Nita awalnya cenderung “aneh” ketika melihat anak perempuan bermain bola
“Di desa saya awalnya ada sih yang bilang, ‘Masa anak perempuan main bola.’ Apalagi Ayla mainnya sama cowok. Sampai ada yang bilang, ‘Itu anakmu kok cewek sendiri main bola sama cowok.’ Eh malah sama bapaknya diarahkan jadi pemain bola,” ungkap Eni.
“Kalau saya, cewek main bola itu nggak aneh. Itu malah keren. Karena olahraga yang dulu identik dengan cowok, tapi malah sekarang cewek bisa,” sambung Nita.
Namun, setelah Lintang dan Ayla menunjukkan kalau mereka bisa berprestasi melalui sepak bola, cara pandang warga desapun berangsur berubah. Menjadi apresiatif dan bahkan turut berminat melibatkan putri-putrinya ke dalam sepak bola putri.
Jangan sombong dan berpuas diri
Meski nama Lintang dan Ayla kini cukup bersinar di level sepak bola putri Jogja, tapi orangtuanya tidak henti-henti menasihati agar putri-putrinya tersebut tidak lantas lupa diri.
“Kalau pesan saya ke Lintang ya jangan sombong, jangan berpuas diri. Terus tingkatkan skill. Dan semoga bisa menjadi inspirasi bagi teman-teman cewek lain,” tutur Nita . Begitu juga pesan Eni untuk Ayla.
Sebab, jalan putri-putri mereka masih sangat panjang untuk menjadi pesepak bola profesional. Latihan pada sore itu memang sudah berakhir. Tapi masih ada esok hari dan esok harinya lagi untuk berlatih.
Bahkan sebelum kami berpamitan, Ayla bilang kalau sepulang dari latihan bersama SSB dia biasanya masih akan bermain bola lagi bersama anak-anak desa di lapangan desanya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Menjadi Pesepak Bola Putri di Kudus di Tengah Tabu dan Larangan Ibu, dari Bocah Desa Biasa Kini Bersiap Main di Singapura atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan