Kesan pertama saya nonton film pendek Safe Haven (2013) adalah ngilu. Kesan keduanya misuh-misuh tak menentu. Dan, kesan yang ketiga, saya berpikir keras kok bisa-bisanya sang sutradara seberani itu.
Film ini sensitif. Siapa pun bisa tersinggung. Apalagi pada saat perilisannya, tahun 2013, isu soal aliran sesat di Indonesia sedang menjadi perhatian. Film ini memotret fenomena tersebut.
Meskipun tak terkesan menghakimi golongan tertentu, bisa saja nalar seseorang bakal tersengat dan menggerutu. Sebab, siapa sih yang nggak bakal kaget kalau tiba-tiba iblis Baphomet lahir ke dunia dan ngajak orang-orang yang percaya buat masuk surga?
Di film Safe Haven, Epy Kusnandar alias “Kang Mus” punya tutorial masuk surga
Safe Haven adalah film pendek yang unik. Ia merupakan bagian dari proyek film antologi V/H/S/2 (2013) yang berisi empat film bergaya found-footage.
Kalau kamu suka film ala-ala Cloverfield, Paranormal Activity, atau di Indonesia ada Keramat, tak sulit juga buat menyukai Safe Haven.
Film ini disutradarai Gareth Evans yang bikin The Raid dan Timo Tjahjanto yang doyan mendireksi film-film sadis. Seperti Sebelum Iblis Menjemput, The Night Comes for Us, hingga yang terbaru Shadow Strays.
Dibikin tahun 2013, Safe Haven punya jalan cerita yang nggak biasa. Film ini mengisahkan Bapak, diperankan Epy Kusnandar–yang terkenal sebagai pemeran Kang Mus di Preman Pensiun–yang memiliki kelompok aliran kepercayaan (sekte) bernama Pintu Sorga.

Pintu Sorga menjamin para pengikutnya masuk surga dengan cara-cara yang tak biasa. Bahkan kalau boleh dikatakan: “ekstrem dan menyimpang”. Cara-cara inilah yang dianggap sesat, sehingga Bapak memilih tertutup dari dunia luar.
Namun, ada sekelompok jurnalis, yakni Malik (Oka Antara), Adam (Fachri Albar), Lena (Hannah Al Rashid) dan Joni (Andrew Sulaiman) yang ingin meliput aktivitas Pintu Sorga. Awalnya, Bapak menolak. Setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan, Bapak pun memperbolehkan kamera-kamera jurnalis memasuki “rumah ibadahnya”. Spoiler alert!
Orang bebas bikin agama, tapi kayaknya nggak gini juga
Laiknya rumah ibadah, aktivitas-aktivitas ritus pun juga dilakukan para jemaatnya tatkala para jurnalis tiba. Kelompok orang dewasa yang tengah berdiskusi soal hari akhir, guru mengajari anak-anak tentang gambaran surga, hingga regu paduan suara yang melantunkan lagu-lagu pujian untuk Bapak.
Sebagai seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan Islam, penggambaran rumah ibadah Pintu Sorga dalam Safe Haven jujur bikin saya mengernyitkan dahi. Simbol-simbol paganisme, pernak-pernik berlambang so-called satanisme, hingga kalimat-kalimat yang keluar dari Bapak bikin saya nggak nyaman.
Misalnya, kalimat Bapak yang menormalisasi penyetubuhan dengan anak di bawah umur. Sang jurnalis berulang kali menyebut itu sebagai “tindakan ilegal”, tapi Bapak selalu berdalih kalau tindakannya adalah “upaya menyucikan mereka.”

Saya menghormati Bapak dengan kebebasan berekspresi, termasuk membuat agama baru, yang melekat padanya. Namun, saya juga mengutuk tindakan penyetubuhan dengan anak di bawah umur itu.
Dalam dialog lain, Bapak juga menyebut bahwa untuk masuk surga harus ada pengorbanan jiwa. Ia tak menyebut seperti apa bentuk pengorbanannya. Ia hanya bilang kalau saat itu, “waktunya sudah tiba”.
Tiba-tiba Bapak saja berpidato. Aktivitas rumah ibadah yang semula santai berubah jadi sibuk. Nuansa ketegangan muncul seketika. Apalagi, ketegangan makin intens ketika Bapak mulai membuka baju, menampakkan sayatan-sayatan di tubuhnya yang membentuk simbol-simbol tertentu.
Bapak juga membunuh salah satu jurnalis dan kemudian bernyanyi riang: “yang tunggu-tunggu telah datang, yang dinanti-nanti telah tiba!”
Lonceng berbunyi. Parade darah pun siap dimulai.
Menyambut bayi yang sudah dinanti-nanti
Saya tak akan menjelaskan secara detail bagaimana parade darah berlangsung. Yang jelas, jemaat sekte tersebut, yang menganggap diri mereka telah disucikan Bapak, satu persatu mengakhiri hidupnya.
Ada yang menembak kepala sendiri. Meledakkan diri. Menenggak racun. Hingga bersenggama sampai mati sebagai metafor: “kami mati dalam kenikmatan yang hakiki”. Kalau mau melihat bagaimana ngilunya, Safe Haven dapat kalian saksikan di platform streaming Prime Video.
Sementara para lelaki sibuk membunuh diri sendiri, para perempuan menyeret tokoh Lena ke sebuah ruang persalinan. Sejak awal, Lena memang menjadi tokoh yang kompleks: ia hamil hasil perselingkuhan dan menyembunyikan “noda” itu dari sang calon suami.
Saya tak mau menjelaskan lebih detail soal plot twist di sini. Yang jelas, “anak haram” yang Lena kandung ini dianggap sebagai “bayi yang sudah dinanti-nanti” oleh sekte Pintu Sorga. Pendeknya, ia mengandung anak Tuhan.

Semua orang yang berada di rumah ibadah itu harus mati. Sementara bayi yang Lena kandung, harus lahir dengan selamat karena ia adalah pemimpin umat di masa depan.
Tahukah apa yang bikin saya kaget? Yang lahir bukan manusia, melainkan sosok besar, berbadan manusia tapi berkulit mirip kerbau, berkepala kambing, dan bersayap selaiknya kelelawar. Dunia okultisme dan satanisme menyebutnya Baphomet.
Ia lahir dalam parade darah. Dalam tangis dan teriakan kematian. Dalam kekacauan. Kata sinefil, sih: absolute cinema!
Minimal sekali seumur hidup nonton Safe Haven
Saya menonton film pendek ini berkali-kali. Pertama pada 2015, saat masih SMA. Kemudian yang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya tak tahu kapan persisnya. Sebab, film ini memang singkat, ringkas, dan cocok buat mengisi kegabutan meski ngilunya susah buat hilang.
Saat pertama menontonnya, jujur saja pemahaman saya tentang kejadian-kejadian di Safe Haven masih cukup tidak jelas. Saya tidak benar-benar tahu, mengapa ada orang percaya pada kepercayaan (agama, sekte) baru, dan mengapa juga ada orang rela mati untuk itu.
Namun, makin ke sini, setelah menyaksikan banyak hal di kehidupan, film ini malah terasa makin relate. Banyak orang mulai kehilangan trust akan kepercayaan yang mereka anut. Bahasa mudahnya, mereka mengalami religious trauma.
Safe Haven memotret orang-orang yang mengalami religious trauma, sehingga “setidak-masuk-akal” pun ajaran baru yang terpapar, mereka bakal belok ke sana. Pintu Sorga, Bapak, ajaran absurd, sampai bayi Baphomet hanyalah simbol dari keputusasaan manusia atas agama.
Kalau lagi gabut, tonton film ini. Kalau ingin melihat “sisi lain” Kang Mus selain di Preman Pensiun, saksikan film ini.
Bahkan kalau mau lihat Baphomet mengejar bapaknya, ya, lihat film ini juga.
Intinya, tonton film pendek ini minimal sekali seumur hidup. Durasinya memang singkat, tapi ngilunya melekat.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Film ‘Siksa Neraka’ Sekadar Sinetron ‘Azab’ Indosiar Versi Bioskop yang Cocok Dinikmati Saat Lagi Malas Mikir atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.