Upah minimum alias UMR Jakarta sangat besar. Namun, biaya hidupnya tak kalah tinggi. Konon, untuk bisa hidup sejahtera di kota ini, paling tidak perantau kudu punya penghasilan Rp15 juta per bulan. Kalau tidak, siap-siap hidup menderita di ibu kota.
***
“Gajiku jauh dari UMR Jakarta, tiap hari gali lubang tutup lubang buat bertahan hidup.”
“Gajiku sesuai standard UMR Jakarta, tapi tetap saja pengeluaran besar. Jadinya ngepres!”
“Aku masih nganggur di Jakarta, meski katanya lapangan pekerjaan melimpah.”
Kata-kata tersebut sering diungkapkan narasumber Mojok ketika sedang membicarakan persoalan kerja di Jakarta dan kesejahteraan mereka. Mereka adalah perantau. Sementara (konon) Jakarta adalah “rumah ideal” bagi para perantau.
Ironisnya, di tempat di mana seharusnya mereka mendapatkan penghasilan layak, buat dapat sesuap nasi saja sulitnya minta ampun. Bahkan, tak jarang dari mereka yang harus rela tinggal di kos kumuh, tidur bersama kecoa dan tikus, atau makan makanan sisa buat bertahan hidup.
UMR Jakarta belum cukup, sebab butuh gaji Rp15 juta biar hidup sejahtera
Sebenarnya, upah minimum di Jakarta sangatlah tinggi. Bahkan paling tinggi ketimbang daerah lain. Per 2025 ini saja, angkanya menyentuh Rp5,4–nyaris dua kali lipat UMR Jogja.
Akan tetapi, itu berbanding lurus dengan biaya hidup di Jakarta yang juga sangat mahal. Survei Biaya Hidup (SBH) yang dirilis BPS pada 2022 saja mencatat, biaya hidup di Jakarta mencapai Rp14,88 juta per bulan.
Biaya hidup yang nyaris mencapai Rp15 juta per bulan ini termasuk untuk hunian (kos, perumahan), biaya makan, listrik, fesyen, dan transportasi.
Rata-rata pengeluaran paling besar untuk hunian (termasuk air, listrik, gas) yang bisa mencapai Rp3,1 juta per bulan. Juga makanan yang tiap orang rata-rata menghabiskan Rp2,7 juta per bulan untuk makan layak.
Kalau yang bergaji setara UMR saja masih mengkis-mengkis untuk bisa bertahan di Jakarta, lantas bagaimana dengan yang digaji kecil?
Upah di bawah UMR Jakarta kudu rela tidur bareng kecoa dan tikus di kos kumuh
Pada Juli 2024 tahun lalu, Mojok berbincang dengan Oki (25). Ia merupakan perantau asal Jawa Barat yang sudah sejak 2017 merantau di Jakarta buat kuliah di salah satu kampus swasta.
Selepas lulus kuliah pada 2022, ia memutuskan buat bertahan ibu kota untuk mengadu nasib. Sialnya, hingga saat ini ia belum punya pekerjaan tetap, masih serabutan.
“Ya masih begini-begini aja, Mas. Masih ngelola komunitas kecilku sama beberapa kali ambil job freelance,” kata Oki tatkala dihubungi kembali oleh Mojok, Jumat (23/5/2025) pagi.
Karena penghasilannya yang tak menentu, jauh dari rata-rata UMR Jakarta, Oki memilih tinggal di kos-kosan murah yang berada di gang sempit kawasan Tambora, Jakarta Barat. Biaya sewanya Rp350 ribu per bulan.
Namun, apa yang mau diharapkan dari kos semurah itu? Seperti yang pernah Oki ceritakan, kosnya amat sempit, ukurannya cuma 2×3 meter. Dinding pembatasnya masih berupa asbes, dan alasnya pun masih plesteran kasar.
Kawasannya kumuh, berada di pinggiran rel kereta. Di kompleks kos itu, ia berbagi nafas dengan ratusan penghuni lain. Tak cuma manusia, karena ketika malam hari ada saja binatang melata, tikus, sampai kecoa yang masuk kamarnya.
“Sampai sekarang masih kayak gitu, Mas. Namanya kos murah apa yang mau diharapkan,” ujarnya. “Masih mending kos saya banyak tikus beneran, bukan tikus kantoran,” imbuhnya melontarkan satire.
Kisah hidup Oki yang tinggal di kos kumuh bareng tikus dan kecoa ini pernah ditulis dalam liputan “Kerasnya Hidup di Tambora Jakarta Barat, Perantau Berbagi Ruang dengan Tikus dan Kecoa di Kos Kumuh”.
Punya ijazah S2 pun cuma jadi pengangguran di sini
Oki, barangkali cuma contoh kecil dari banyaknya perantau yang hidupnya struggle di Jakarta. Ada juga Dito (28) yang nasibnya tak jauh berbeda.
Secara latar belakang pendidikan, Dito ini sebenarnya sangat menjanjikan untuk merantau di Jakarta. Ia lulusan S2 salah satu PTN di Jogja. Makanya, ia pede datang ke ibu kota berbekal ijazah mentereng itu.
Sayangnya, tatkala diwawancara Mojok pada Jumat (21/3/2025) lalu, ia mengaku realitas hidup tak sesuai harapannya. Memang ia sudah mendapatkan kerjaan tetap, kantoran malah. Tapi gajinya jauh dari UMR Jakarta, yakni cuma Rp2,7 juta.
“Gaji segitu mah kerja di Jogja juga banyak,” ungkapnya.
Apalagi, ia merupakan sandwich generation. Gajinya yang tak seberapa itu, cukup tak cukup bakal ia gunakan buat menghidupi dirinya sendiri di perantauan, orang tua di rumah, dan biaya sekolah adiknya.
“Gajian itu rasanya cuma nempel seminggu doang. Kayak menguap aja gitu duitnya, tiba-tiba habis kudu ngirit lagi,” keluhnya.
Apalagi sejak awal 2025 lalu, ia “dirumahkan” tanpa digaji karena kantornya bangkrut. Kata dia, itu cuma bahasa halus untuk kata “PHK”. Kini, Dito memutuskan kembali ke kampung halaman, Jogja, untuk mencari kerja.
Masih nganggur, andalkan makanan sisa buat bertahan hidup
Bukan bermaksud mengadu nasib. Tapi, kalau mau jujur, nasib Oki dan Dito masih sedikit lebih baik ketimbang Deris (30). Sejak 2022 lalu, ia nekat merantau ke Jakarta. Namun, karena ijazahnya cuma SMA (tak sementereng S1 Oki atau S2 Dito), ia masih nganggur.
Kerjanya serabutan. Ada panggilan kerjaan apa saja pasti diambil. Namun, sehari-harinya ia mencari sesuap nasi dengan menjadi driver ojek online.
“Tapi ngojol berapa sih hasilnya? Kalau dirata-rata sebulan, setengah UMR Jakarta saja nggak nyampai,” keluhnya, tatkala diwawancara Mojok pada Minggu (28/7/2024) tahun lalu. Kisah Deris ini pernah ditulis dalam liputan “Rasanya Usia 30 Tahun Masih Nganggur di Jakarta, Rela Makan Roti Jamuran Demi Bertahan Hidup”.
Sebagaimana yang pernah ditulis Mojok, Deris bakal melakukan apa saja buat bertahan hidup. Termasuk memakan makanan sisa, yang sudah jamuran dan mengancam nyawanya.
Deris sendiri sudah punya “langganan”, yakni sebuah pabrik roti skala rumahan. Biasanya, pabrik itu bakal membuang roti BS (yang tak bisa dijual lagi karena rusak atau kadaluarsa).
“Daripada dibuang, mending buat aku aja,” katanya. “Satu kresek, banyak isinya, kubeli 20 ribu.”
Deris mengaku sedih dengan yang dialaminya ini. Namun, apa boleh buat. Mau tak mau ia juga harus mengakui kalau roti-roti jamuran itu telah menyelamatkan hidupnya dari kelaparan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Menteng Jakarta Pusat, Saksi Bisu Perantau Miskin “Diinjak-injak” Orang Kaya: Meninggalkan Kota Kecil demi Mengubah Nasib, Malah Diupah Tak Wajar atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.