Pengajar di Pondok Pesantren Tunarungu Jamhariyah, Sleman, Winda (30) rela membersihkan kotoran yang keluar dari perut para santrinya yang tunarungu. Beberapa dari mereka memang sulit berkomunikasi, sehingga tak tahu cara membersihkan diri. Bahkan, buang air kecil pun bisa di sembarang tempat. Lambat laun, berkat kesabaran dari perempuan asal Magelang tersebut, para santri akhirnya bisa hidup mandiri. Mulai dari mengaji, salat, dan puasa.
***
Saat sedang mencari pondok pesantren di Dusun Grogolan, Umbulmartani, Kecamatan Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, saya melihat segerombolan anak dari jauh di sebuah gang. Beberapa dari mereka menggunakan peci, sarung, dan menenteng tas ransel. Melihat tampilan anak-anak tersebut, barulah saya yakin kalau itu lokasi Pondok Pesantren Tunarungu Jamhariyah.
Sesuai namanya, pondok pesantren (ponpes) itu membina para santri tunarungu. Lokasinya berada di antara pemukiman warga. Dikelilingi oleh aliran sungai kecil. Namun, banner yang menunjukkan nama pondok pesantren tersebut baru bisa saya lihat di dinding samping, jalan lanjutan dari gang kecil yang saya lalui tadi. Mangkanya, saya agak kesulitan mencari.
Saat melewati gerbang ponpes yang terbuka, para santri hanya melengos sambil menggerakkan jari-jarinya–cara mereka berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Tak lama setelah memarkirkan motor, Winda, salah satu pengajar di sana menyapa saya.
Winda bilang anak-anak akan keluar sebentar untuk berenang. Para santri itu sedang menunggu penjemputan mobil kloter dua. Sebelumnya, sebuah mobil kia pregio berwarna biru sudah lebih dulu mengantar para santriwati. Sembari menunggu para santri pulang berenang, saya berbincang dengan Winda, perempuan asal Magelang, Jawa Tengah.
Perempuan asal Magelang yang mengasuh dengan sabar
“Kebanyakan orang tua yang menitipkan anaknya di sini nggak tahu cara berkomunikasi dengan anak-anaknya, jadi mereka sama-sama frustrasi,” kata Winda menemani saya duduk di sebuah gazebo, di area dalam Pondok Pesantren Tunarungu Jamhariyah.

Luas ponpes tersebut tak besar seperti pondok kebanyakan. Anak-anaknya terdiri dari 25 orang saja. Kebanyakan mereka berasal dari luar daerah, seperti Purworejo, Klaten, Jawa barat, Lampung, Kalimantan, sampai Jakarta.
“Nah, itu namanya Daffa* (8) dari Jakarta. Keluarganya broken home, saya nggak bisa membayangkan anak sekecil itu harus menghadapi kerasnya Jakarta,” kata Winda menunjuk Daffa yang baru saja lewat di hadapan kami.
Perempuan bercadar itu ingat betul saat pertama kali Daffa diboyong ibunya ke ponpes. Anak berusia lima tahun itu tampak tak aturan. Rambutnya sudah dicat berwarna merah. Pertama kali tiba di ponpes, Daffa hanya bisa meraung-meraung, menangis seharian. Sebab, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk mengekspresikan diri.
“Saya ajari dia pipis di toilet, biar nggak sembarangan. Terus saya mandikan, saya ajari sikat gigi, saya tunjukkan jenis shampo,” tutur perempuan asal Magelang itu.
Lambat laun, Daffa sudah bisa mandiri, bahkan ia sudah bisa menulis beberapa huruf. Suatu hari, saat pulang liburan ke rumahnya, Daffa memberikan secarik kertas untuk ibunya. Kertas itu berisi kalimat ‘terima kasih, Bu’ yang ia tulis dengan pensil.
Ibunya yang begitu bahagia melihat perkembangan Daffa, langsung mengirim pesan ke Winda. Ia merasa terharu hingga mengucapkan rasa terima kasih kepada Winda.
“Mungkin Allah sudah gariskan takdir saya bekerja di sini,” kata Winda.
Dari Magelang, mengajar di pondok pesantren Sleman
Winda sebetulnya bukan lulusan pesantren ataupun berlatar pendidikan tinggi. Ia juga tak punya keluarga seorang difabel. Hanya saja, Winda mengaku merasa tergugah hatinya untuk membantu orang-orang di sekitarnya.
“Bukan apa-apa, niat saya sebenarnya di sini bukan untuk bekerja, tapi ingin menyalurkan kemampuan yang saya bisa untuk membantu anak-anak,” ujarnya.

Bahkan, Winda mengaku beberapa kali mendapakatkan tawaran kerja di luar tapi tak diambilnya. Kalau tujuannya hanya uang, kata dia, tak akan ada habisnya. Baginya, amal jariyah lah yang terpenting.
“Berat Mbak kalau harus meninggalkan mereka, saya sudah anggap santri dan santriwati di sini seperti anak saya sendiri,” kata Winda.
Perempuan asal Magelang itu tak menjelaskan secara rinci dari mana ia mengenal Pondok Pesantren Tunarungu Jamhariyah, yang jelas saat pindah ke Jogja ia bertemu dengan Ummi, istri dari Randi Pranarelza, pendiri ponpes.
Mulanya, tahun 2019, Winda hanya membantu memasak di ponpes, tapi seiring berjalannya waktu ia merasa perlu untuk belajar bahasa isyarat. Ia pun belajar secara mandiri dari Ummi, sembari melihat Youtube. Para santri juga sering membantunya belajar. Kadang-kadang ada bahasa isyarat khusus yang dipahami oleh mereka sendiri.
Belajar bahasa isyarat secara mandiri
Dari petugas dapur, Winda akhirnya diangkat sebagai pengajar sekaligus pengasuh. Di Pondok Pesantren Tunarungu Jamhariyah, tugasnya adalah mengajari huruf hijaiyah dengan bahasa isyarat. Untuk mengajari santri memahami bahasa isyarat tidaklah mudah. Winda sendiri harus bertahun-tahun mempelajarinya.
Sama seperti bahasa universal, bahasa isyarat juga punya pakem seperti Bahasa Indonesia. Tapi ada juga bahasa turunan seperti Jawa Krama, Inggil, Ngoko, dan bahasa daerah lain. Bahkan ada bahasa yang hanya bisa diinterpretasikan oleh teman-teman tunarungu itu sendiri.

“Ada juga yang belajarnya cepat dari melihat gerak bibir dan bahasa tubuh, termasuk ekspresi wajah” kata Winda.
Tak hanya itu, Winda juga harus mengajari mereka salat dan puasa. Agar, ketika mereka sudah lulus dari Pondok Pesantren Tunarungu Jamhariyah, para santri sudah punya bekal ilmu baik formal maupun pendidikan agama.
Winda berharap masyarakat bisa saling menghargai sesama. Ia tak ingin lagi melihat teman-teman tuli diusir hanya karena mengemis. Bahkan kalau bisa, masyarakat ikut membantu mereka.
“Mereka bukannya nggak paham. Mereka ngerti loh apa yang kita maksud. Kitanya yang harus belajar bahasa mereka,” kata perempuan asal Magelang itu.
Hampir dua jam lebih saya berbincang, Winda izin pamit sebentar untuk mengurus anak-anak yang sudah kembali dari kegiatan berenang. Saya pun berterima kasih dan pergi ke joglo untuk menata barang-barang.
Salah satu anak menghampiri saya, saya yang tak bisa bahasa isyarat hanya menyapanya dengan melambaikan tangan seraya berkata, “Halo!”. Anak itu menjawab kalimat saya tanpa suara, ia tertawa dan menggerakkan bibirnya, “Halo!”.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Ketulusan Guru Honorer yang Kuliah Sambil Mengajar Siswa Difabel di Surabaya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.