Penjaga Jalan Lintasan (PJL) kereta api harus siap kerja ekstra menjelang libur natal dan tahun baru. Jadwal kereta api yang melintas memang tak jauh berbeda, tapi kemacetan sering terjadi. Belum lagi, ulah warga yang suka menerobas palang atau meletakkan batu di atas rel harus selalu diantisipasi.
***
Handy talkie milik seorang penjaga jalan lintasan (PJL) kereta api terus berbunyi. Suara dari seberang sambungan radio mengumumkan satu persatu jadwal keberangkatan kereta api. Sambil mendengarkan laporan itu, Junarto (39) yang sedang bertugas terus menyimak kertas yang tertempel di dinding.
Seharusnya, tak lama lagi kereta yang melintas di jalur Stasiun Kalasan, Jogja menuju Stasiun Maguwo berangkat. Namun, sebelum sirine palang jalan kereta api berbunyi, sebuah dump truk malah terhenti di atas rel.
Jika kereta api sedang dalam perjalanan, Junarto siap keluar dari posnya sambil membawa bendera berwarna merah. Dia akan berlari ke arah kedatangan kereta, lalu mengacungkan tanda bahaya. Mendesak kereta api berhenti.
Beruntung, dia tak harus melakukan itu. Sebab, posisi kereta api masih berada di Stasiun Brambanan. Junarto berhasil menghubungi pihak stasiun lewat handy talkie miliknya.
“Break, break!” ucap Junarto. Lalu, menginformasikan kondisi yang terjadi di sekitar Stasiun Kalasan.
Untuk menghindari peristiwa luar biasa hebat (PLH) antara kereta api dengan truk, pihak stasiun sepakat agar jadwal keberangkatan sedikit terlambat. Berkat bantuan warga juga, truk yang tersangkut di rel kereta api berhasil lolos dan bisa kembali melaju.
“Itu pengalaman menegangkan dan tahun pertama saya menjadi petugas di tahun 2020,” ucap Junarto saat saya temui di sela kesibukannya bertugas, Minggu (17/11/2024).
Penjaga Jalan Lintasan (PJL) kereta api tak boleh lengah
Saya menjumpai Junarto di Pos JPL 329 Stasiun Kalasan saat dia mendapat tugas jaga malam. Biasanya, penjaga jalan lintasan (PJL) kereta api memiliki tiga shift kerja yakni pagi, siang, dan malam. Masing-masing shift berlangsung selama 8 jam.
Sambil berbincang dengan saya, Junarto terus menatap sekitar perlintasan kereta api lewat kaca jendela posnya. Dia merasa bertanggung jawab penuh atas keselamatan pengendara. Setidaknya, dia berharap tidak ada kejadian darurat seperti dulu.
Di antara suara radio yang tak pernah berhenti, Junarto terus mencatat jumlah kereta yang sudah lewat sejak pagi. Jika ditotal dari waktu shift malamnya, seharusnya ada sekitar 50 kereta yang terjadwal melintasi pos tersebut.
“Pedoman saya ya ini, alat radio. Tidak boleh mengandalkan telepon genggam, itu cuma alat bantu,” kata Junarto.
Oleh karena itu, dia harus fokus. Seragamnya harus selalu rapi sesuai aturan kedinasan. Jika kereta datang, dia harus siap memakai topinya dan memberikan salam kepada masinis.
Suka geram kalau ada warga yang “ngawur”
Kadang-kadang, Junarto suka geram dengan anak kecil yang mainan di area rel. Selain berbahaya karena potensi tertubruk kereta, anak-anak itu sering meletakkan batu di atas rel. Biasanya, Junarto akan memberitahu langsung ke warga sekitar agar dibantu mengingatkan.
“Itu bisa dilihat bekas (batu)nya di rel banyak,” ujar petugas jalan lintasan (PJL) kereta api itu.
Meletakkan batu di atas rel dapat membahayakan perjalanan kereta api. Selain itu, orang yang main-main meletakkan batu di atas rel kereta api dapat dijerat secara hukum. Berdasarkan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, hukumannya bisa penjara paling lama tiga bulan atau denda hingga Rp15 juta.
Tak hanya ulah iseng dari warga yang membuatnya geram. Biasanya, pengendara sering kali tidak patuh dengan tanda peringatan. Pengendara motor, kata Junarto, kerap menerobos palang jalan kereta api, bahkan saat sudah tertutup.
“Saya nggak mau ambil pusing, saya biarkan saja daripada cekcok,” ucapnya.
Untuk menutup palang, Junarto hanya perlu menekan tombol. Selanjutnya palang akan bergerak. Namun, ada juga palang yang menggunakan tuas dan perlu diputar secara manual. Palang biasanya ditutup ketika genta – alat yang mengeluarkan sirine berbunyi.
Penjaga Jalan Lintasan (PJL) kereta api harus kerja ekstra
Mendekati momen libur natal dan tahun baru, Junarto sudah siap untuk bekerja secara ekstra. Sebab, kata dia, Jalan Jogja-Solo dusun Dogongan, Kelurahan Tirtomartini, Kecamatan Kalasan, Sleman, dekat posnya itu sering macet dan membuat kendaraan mengular panjang.
“Ini kan palangnya jadi nggak bisa nutup. Akhirnya saya harus keluar membantu petugas jalan yang lain, membunyikan sirine, dan ngatur jalan secara manual,” ujar petugas jalan lintasan (PJL) kereta api itu.
Susananya memang berbeda saat saya berkunjung ke sana. Alih-alih ramah, jalanan belum cukup padat. Walaupun kereta api sudah lewat sebanyak empat kali dalam waktu 45 menit.
Tak jauh dari pos Junarto, sekitar 120 meter, ada Stasiun Kalasan yang masih berdiri tapi tidak lagi beroprasi. Stasiun itu resmi dinonaktifkan sejak tahun 2007. Bangunannya nampak sudah tidak terawat.
Selama empat tahun bekerja di sana, Junarto mengaku belum pernah melihat penampakan, meski jadwal jaganya sampai pukul 22.00 WIB. Namun, dia memang pernah mencium bau busuk ketika bertugas di posnya saat malam.
Namun, saat dicek di semak-semak maupun sekitar pos, tidak ada sampah atau bangkai hewan di sana. Bagi Junarto, pengalaman yang menegangkan tetaplah saat dia bertugas menghadapi situasi darurat.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: 5 Fakta Penjaga Perlintasan Kereta
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News