Jika sebagian orang mudik saat libur lebaran, Husein (26) tetap memilih tinggal di Jakarta. Sudah tujuh bulan ini ia tidak pulang ke Mamala, Maluku Tengah, tempat lahirnya. Bukan karena betah, tapi memang tujuannya belum tercapai.
Husein sudah bolak-balik singgah di kota untuk mencari kerja, tapi tak kunjung mendapat kabar bahagia. Pertama kali tiba di Surabaya, ia hanya singgah sebentar untuk menjenguk saudara. Tidak sampai seminggu, ia sudah pindah ke Jogja. Beberapa bulan di Jogja, ia masih tidak dapat kerja. Hingga akhirnya, Husein pergi ke Jakarta untuk melihat peluang yang lebih besar.
“Tujuan awalku merantau buat cari kerja di Jakarta, tapi belum dapat-dapat,” ucap Husein, Selasa (1/4/2025).
Oleh karena itu, tabungannya mulai menepis. Sementara, harga tiket pulang ke Mamala, Maluku Tengah terbilang mahal. Bagi anak rantau yang belum mendapat pekerjaan, Husein terpaksa tidak pulang tahun ini.
Meski dalam hati kecilnya, ia merindukan suasana hangat di Mamala. Menurut Husein, negeri yang terletak di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah itu memiliki tradisi yang menarik saat Ramadan, misalnya hadrat dan atraksi sapu lidi. Sehingga warganya tampak guyub. Membuatnya rindu akan kampung halaman.
Di balik hadrat dan tradisi sapu lidi dari Mamala
Hadrat merupakan festival yang dilakukan warga dengan menyerukan zikir-zikir sambil menari. Sementara, pukul sapu merupakan atraksi saling memukul badan dengan sapu lidi dari pohon Enau, hingga tubuh mereka terluka dan mengeluarkan darah.
Usai salat Idul Fitri kemarin, saya berkesempatan menghubungi ayah Husein yang sedang berada di Mamala, negeri yang terletak di pesisir utara Pulau Ambon. Dengan kemurahan hati, ia menunjukkan kepada saya suasana hadrat di kampungnya lewat sambungan video call.
Terlihat ratusan orang sedang berkerumum di pinggir jalan untuk melihat tarian hadrat. Para pesertanya adalah laki-laki. Mereka kompak mengenakan jas berwarna hitam, sarung, dan peci. Ada yang menabuh rebana, ada pula yang mengayun-ayunkan sapu tangan berwarna-warni.
Kadang-kadang mereka membentuk lingkaran sambil menari. Lalu, serempak menyerukan zikir atau syair-syair Arab untuk meminta rezeki dan berkah dari Allah SWT. Sementara, warga yang menonton ikut bersukaria.

“Acaranya baru selesai selepas maghrib,” ujar Farid, ayah Husein, Selasa (1/4/2025).
Tarian hadrat merupakan satu dari rangkaian pukul sapu. Biasanya dilakukan malam sebelum acara dan selepas salat subuh pada hari pelaksanaan pukul sapu.
Tradisi pukul sapu sudah menjadi agenda tahunan yang berlangsung sejak abad ke-17. Warga biasa menyelenggarakannya pada hari ke delapan bulan Syawal. Tepatnya hari ketujuh setelah hari raya Idul Fitri.
Meskipun tradisi itu membuat orang terluka hingga mengeluarkan darah, pesertanya tak khawatir sebab ada minyak Tasala atau minyak tradisional yang berasal dari Mamala. Masyarakat percaya minyak tersebut dapat menyembuhkan luka, memar, serta berbagai penyakit kulit.
“Setelah ritual (sapu lidi) selesai, luka-luka yang muncul diobati dengan minyak Tasala. Minyak ini dipercaya dapat mempercepat penyembuhan tanpa meninggalkan bekas luka,” ujar Farid yang juga warga asli Mamala.
Farid berujar minyak Tasala tidak hanya digunakan setelah tradisi sapu lidi, tapi juga berguna untuk pengobatan sehari-hari. Misalnya, keseleo, nyeri otot, dan berbagai gangguan kulit.
Berawal dari pembangunan masjid
Ia juga menjelaskan, minyak Tasala dibuat dari parutan kelapa tua. Selanjutnya, kelapa diperas hingga menghasilkan santan. Santan itu kemudian didiamkan sampai minyaknya naik ke permukaan. Minyak yang sudah terkumpul dipanaskan dengan api kecil hingga menjadi minyak murni.
Selanjutnya, minyak murni tersebut dicampur dengan kulit kayu dan rempah dengan cara dimasak dalam minyak panas. Setelah kandungannya meresap, minyak disaring dan disimpan dalam wadah.
Berdasarkan jurnal penelitian berjudul Identitas dan Representasi Tradisi Pukul Sapu di Negeri Mamala dan Morella melalui Kajian Budaya, tradisi ini berhubungan dengan pembangunan masjid Al-Muhibbin yang terletak di Mamala oleh Imam Tuny.
Pada masa itu pembangunan masjid masih menggunakan kayu dari pohon yang diambil di hutan. Sayangnya, terdapat satu tinang inti yang mengalami keretakan ketika masjid itu hampir rampung.

Oleh karena itu, Imam Tuny berdoa untuk meminta petunjuk. Konon, ia berhasil mendapat petunjuk dari mimpi. Di mimpinya, Imam Tuny mendapat informasi soal pembuatan minyak Tasala tadi.
Sembari mengolah minyak kelapa, Imam Tuny juga membacakan sepenggal ayat dari Al-Qur’an. Minyak kelapa tersebut lalu dioleskan ke kayu yang retak dan dibungkus denga kain putih. Beberapa hari kemudian, kayu itu tersebut menyatu tanpa ada bekas retakkan.
Patriotisme warga Mamala di perayaan Idul Fitri
Sebagai bagian dari warisan budaya yang berharga, para pemuda Mamala mengusulkan atraksi sapu lidi untuk melestarikan sekaligus mengagumi khasiat minyak Tasala. Mereka rela dipukuli hingga berdarah sebagai bentuk loyalitas yang tinggi terhadap Upu Latu atau pemangku adat tertinggi di Maluku.
Husein berujar warga Mamala punya rasa kepemilikan yang tinggi atas negerinya, termasuk rasa patriotisme, dan rela mati untuk negerinya. Ia sendiri sudah empat kali mengikuti tradisi sapu lidi.
“Pertama kali ikut sapu lidi sangat menegangkan ya, karena harus menahan rasa sakit selama 10 menit di dalam lapangan. Namun, setelah selesai dan diolesi minyak Mamala, luka-luka yang tadi dicambuk terasa membaik,” ujar Husein.
Kenangan akan suasana di kampungnya membuat Husein rindu lebaran di Mamala. Namun, ia harus bisa beradaptasi. Meski di Jakarta, libur lebarannya terasa sepi. Tidak seperti hari-hari biasa. Jakarta yang biasanya macet dan ramai oleh pekerja, kini terlihat sedikit lengang karena banyak perantau yang sudah mudik.
Sementara, di Mamala justru sebaliknya. Pulau di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah yang terletak di pesisir utara Pulau Ambon itu justru menjadi rujukan bagi para perantau yang ingin pulang kampung.
Oleh karena itu, rasa rindunya terhadap Mamala kian tak terbendung.
“Libur lebaran di Mamala terasa sangat menyenangkan, salah satunya karena bisa berkumpul bersama keluarga,” kata Husein yang masih mencari peruntungan di kota megapolitan seperti Jakarta.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Serba Sulit Orang Timur di Jogja, Susah Bergaul karena Stigma dan Tertinggal hingga Disisihkan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.