Umi Cholifah langsung mengucap syukur ketika mendapat kabar dari suatu perusahaan tour and travel yang bertempat di salah satu mall di Jogja. Ia mendapat kabar jika lolos sebagai sales admin and marketer. Perusahaan tersebut menawarkan gaji sebesar Rp3 juta lebih dari UMR Jogja, belum termasuk bonus dan kompensasi.
Sangking senangnya, Umi menceritakan kisahnya di media sosial yakni threads. Threads itu kemudian ramai, karena banyak orang-orang yang tertarik. Beberapa komentar dari netizen menunjukkan rasa penasaran, bagi mereka gaji Rp3 juta di Jogja sudah dianggap tinggi. Mengingat, UMR tertinggi Kota Yogyakarta hanya sebesar Rp2,6 juta.
Menjadi host live dengan gaji Rp3 juta per bulan
Umi bukan pertama kali ini bekerja. Sebelumnya, ia sempat bekerja di tiga perusahaan berbeda. Salah satunya di perusahaan brand fashion menjadi host live. Selama tiga jam bekerja, ia diberi upah sebesar Rp90 ribu.
Jika ditotal ia bisa mendapatkan gaji Rp2,3 juta dalam sebulan. Namun, ia hanya mampu melakoninya selama dua tahun. Lalu memilih double job alias mengambil dua pekerjaan dalam satu waktu.
Masih sebagai host live, pekerjaan pertama ia ambil saat pagi hari. Sama seperti pekerjaan sebelumnya, ia mengambil pekerjaan di suatu brand maksimal 3 jam per hari, sehingga upah yang didapat sebesar Rp75 ribu.

Di malam hari, ia mengambil pekerjaan lain. Dari sana, ia bisa mendapat upah Rp50 ribu selama dua jam. Sontak, kisah tersebut mengundang rasa penasaran netizen. Sebab, jika mau didetailkan dari dua pekerjaan tersebut, Umi bisa mendapatkan upah sebesar Rp125 ribu dari 5 jam kerja per hari.
“Selama 26 hari itu totalnya Rp3,2 juta,” ucap Umi saat dikonfirmasi Mojok, Kamis (13/2/2025).
Dengan jam kerja yang fleksibel dan penghasilan yang menurutnya masih cukup, Umi masih bisa menyisakan gaji dia untuk pergi ke kedai kopi atau belanja di mall di Jogja.
Memilih pindah karier
Setelah dua tahun menjalani pekerjaan menjadi host live, Umi memutuskan untuk mencari pekerjaan lain. Secara gaji dan jam kerja, ia tak masalah. Namun, Umi merasa pekerjaan tersebut membuatnya kurang berkembang alias tak memiliki jenjang karier.
“Semua pengalamanku di bidang itu gajinya perjam dan aku tiap brand maksimal cuman ambil tiga jam aja per hari,” kata dia.
Akhirnya, Umi mencari pekerjaan lain. Ia mulai mencari di website lamaran kerja khusus Jogja, sebab Umi memang asli sana. Dan belum kepikiran untuk kerja di luar kota. Ia pun menemukan lowongan pekerjaan, yang jelas bukan perusahaan outsourcing. Sebuah peruahaan tour and travel Rusia yang terletak di Pakuwon Mall.
Saat itu, perusahaan tour and travel tersebut membuka lowongan untuk dua posisi, yakni sales admin dan social media specialist. Setelah melalui tahap berkas dan wawancara, Umi dinyatakan lolos. Ia pun wajib mengikuti masa pelatihan.
“Alhamdulillah, akhirnya setelah cari-cari kesana-kemari, gaji Rp3 juta di Jogja aku keterima, dan itu belum sama bonus, serta kompensasi. Selain itu, ternyata juga ada uang lembur Rp40 ribu per jam,” ucapnya.
Kerja jadi barista di Jogja kurang menjanjikan
Bagi Umi mendapatkan gaji sebesar Rp3 juta di Jogja adalah suatu keistimewaan. Berdasarkan pengalaman dia sebelum-sebelumnya, gaji itu masih bisa untuk mencukupi kebutuhan hidup. Apalagi, dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya, UMR Jogja termasuk kecil yakni Rp2,6 juta.

Tak hanya Umi, begitu pula Salsa (23) yang sudah 6 tahun tinggal di kawasan Kota Jogja untuk kuliah. Namun, setelah lulus, ia memutuskan pindah dari Surabaya ke Jogja bersama seluruh keluarganya. Untuk memenuhi biaya hidup, Salsa bekerja sebagai barista di salah satu kedai kopi di Kota Jogja.
Dari sana, ia mendapat gaji sebesar Rp1,5 juta. Setelah posisinya naik sebagai kepala barista, ia bisa mendapat gaji sebesar Rp2,1 juta. Salsa bilang gaji barista di industri food and beverage (F&B) bisa lebih kecil lagi.
Menurut Salsa gaji tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia baru bisa menabung jika uangnya masih ada sisa. Itupun hanya sebesar Rp100 ribu hingga Rp200 per bulan. Karena pekerjaan barista kurang menjanjikan, ia pun memutuskan ganti pekerjaan di bidang lain.
“Walaupun pada akhirnya tetap sama saja, ‘apapun pekerjaanmu, selagi kamu kerja di Jogja ya nggak usah berekspektasi gajimu besar’,” ucapnya.
Menyesal pindah dari Surabaya ke Jogja
Jujur saja, Salsa merasa sedikit kecewa untuk pindah dari Surabaya ke Jogja. Pada mulanya ia berpikir kalau kehidupan Jogja tidak terlalu sibuk seperti di Surabaya. Sama-sama macet. Selain itu, kehidupan di Jogja sama konsumtifnya dengan di Surabaya.
“Slow living di Jogja tuh hanya berlaku di daerah pedesaan saja,” kata dia.
Pada akhirnya, besar kecilnya gaji di Jogja tak hanya bisa diukur dari angka, tapi juga harus dilihat dari kebutuhan orang tersebut. Misalnya, kata Salsa, jika dia punya gaji Rp3 juta per bulan tapi masih punya tanggungan kepada keluarga, ya sama saja.
Termasuk cara orang tersebut mengatur keuangannya. Salsa sendiri biasanya akan mengukur kebutuhannya dari skala prioritas. Misalnya, 60 persen untuk kehidupan sehari-hari, 20 persen untuk bayar tagihan bulanan, dan 20 persennya lagi untuk dana darurat.
“Tapi sejujurnya cara ini masih belum bisa sepenuhnya aku terapin, karena yang awalnya aku terbiasa dapat gaji bulanan, eh setelah career switch gajiku dibayarkan mingguan,” ujar Salsa.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Pariwisata Bikin Warga Jogja Terasing dan Terancam di Kota Sendiri atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.