Menyenangkan. Mengharukan. Melelahkan. Tiga hal itulah yang dirasakan Aziza (29) selama menjadi perawat lansia atau dikenal sebagai caregiver di Jepang.
Dua tahun lamanya, sejak 2018-2020, ia menjadi perawat di sebuah panti lansia Jepang. Setiap hari, ia harus mengurus–menyiapkan makan sampai memandikan para lansia–yang sudah berumur dan memiliki penyakit.
“Kalau ditanya lelah, tentunya lelah, namanya aja kerja. Tapi aku menikmati setiap kegiatan di sana, karena ngasih aku banyak pengalaman,” kata Aziza saat dihubungi Mojok, Rabu (16/4/2025) malam.
“Dan kalau bicara penghasilan, tentu sangat jauh dari yang didapat kalau kerja di Indonesia. Tapi ya namanya orang sukses, pasti ada saja nyinyir dan fitnah tetangga,” imbuhnya.
Rela putus kuliah demi kerja di Jepang
Sebelum menjadi caregiver di Jepang, Aziza adalah mahasiswa. Pada akhir 2017 lalu, ia baru memasuki semester ketiga di salah satu PTS Jawa Timur. Awalnya, meski ada satu-dua hambatan, kuliahnya berjalan lancar. Namun, ketika ia masuk ke semester ketiga, ayahnya yang menjadi tulang punggung keluarga meninggal dunia.
Hal itu tak cuma menghancurkannya secara mental, tapi juga ekonomi. Bagi Aziza, akan sangat berdosa baginya kalau menggantungkan hidup kepada ibunya. Sementara ibunya, masih harus menghidupinya dan dua adik yang masih sekolah.
“Dengan berat hati, aku rela mutusin nggak kuliah lagi buat bekerja. Biar yang mencari uang nggak ibu saja,” ujarnya.
Setelah tak kuliah, Aziza ikut ibunya menjadi pekerja rumah tangga (PRT) di rumah orang kaya. Beruntung, ia mendapatkan bos yang baik. Selama kerja di sana, ia mengaku hampir tak merasakan relasi “majikan-pembantu” saking dekatnya dengan pemilik rumah.
Sampai akhirnya, bos Aziza menyarankannya buat mengikuti pelatihan kerja di sebuah lembaga pelatihan kerja (LPK) dengan harapan ia bisa mendapatkan kesempatan yang lebih baik.
“Katanya, aku masih muda, rasanya sayang banget kalau cuma jadi pekerja rumah tangga yang tak terlatih. Makanya aku disuruh ikut pelatihan buat ngasih daya tawar.”
Berangkat ke luar negeri dengan amat berat hati
Aziza menjalani pelatihan kerja selama hampir tiga bulan. Biayanya sangat mahal, yakni hampir Rp20 juta. Untungnya, biaya pelatihan ini bisa dicicil dari gaji bulanannya ketika sudah bekerja nanti.
“Waktu itu rasanya seperti berjudi. Kami benar-benar nggak punya uang. Tapi berbekal janji bakal disalurkan kerja ke luar negeri, ibu meyakinkanku buat ikut aja,” kata dia.
Beruntungnya setelah menyelesaikan program pelatihan, ia benar-benar bakal disalurkan kerja ke luar negeri. Tepatnya menjadi caregiver di Jepang.
Aziza mengaku, saat itu ia amat berat hati meninggalkan ibu dan adik-adiknya. Ada rasa tidak tega harus meninggalkan tanggung jawab di rumah ke tempat yang jauh. Belum lagi, ada nyinyiran-nyinyiran tetangga yang makin mengikis tekatnya.
“Ada yang bilang, ‘orang tua sendiri ditinggal cuma demi ngurus orang tua yang lain’, gitu-gitu. Tapi sekali lagi ibu meyakinkan aku buat berangkat.”
Beratnya jadi caregiver di Jepang, harus memandikan belasan lansia tiap hari
Bagi Aziza, bekerja sebagai caregiver di Jepang adalah pekerjaan yang menguras mental. Bagaimana tidak, ia harus mengurus banyak lansia dengan berbagai karakter dan kebanyakan sudah pikun.
Tak sekadar menyiapkan makan atau tempat tidur, tapi dia juga harus memandikan belasan lansia setiap harinya.
“Awal-awal itu menjadi hal yang paling berat. Bayangkan saja, kamu menyaksikan orang lain telanjang dan harus memandikannya. Rasanya aneh banget.”
Lama-lama Aziza akhirnya terbiasa juga. Untuk membunuh perasaan sungkannya itu, ia selalu membayangkan sedang mengurus orang tuanya sendiri.
Bahkan, ia pun akhirnya bisa akrab dengan beberapa lansia. Mengurus orang-orang berusia lanjut ini pada akhirnya memberinya pelajaran, bahwa di masa senjanya mereka cuma ingin mendapatkan teman bicara.
Maka dari itu, Aziza menempatkan diri sebagai pendengar yang baik–meski dengan skill bahasa Jepangnya yang belum terlalu sempurna.
“Meskipun ada lucunya. Kebanyakan lansia ini selalu lupa nama aku tiap kali mau kumandiin. Jadi ya nyaris tiap hari kami kenalan ulang.”
Gaji besar, tapi harus siap dihantam gosip miring tetangga
Selain banyak pengalaman berharga, hal lain yang disyukuri Aziza selama menjadi caregiver di Jepang adalah gajinya yang besar. Dalam kurs rupiah, ia mendapatkan gaji Rp12 juta sebulan. Tentunya ini menjadi penghasilan bersih karena tempat tinggal dan makan sudah ditanggung oleh panti lansia tempatnya bekerja.
Alhasil, “utangnya” kepada LPK sudah berhasil dilunasi hanya dalam beberapa bulan saja. Dari hasil kerjanya itu, ia berhasil menghidupi keluarganya, termasuk menyekolahkan kedua adiknya–kini satu di antaranya sudah kuliah.
“Waktu 2020 aku mutusin berhenti, pulang ke rumah karena mau lockdown Covid-19, alhamdulillah tabunganku sudah lebih cukup untuk bikin usaha di rumah,” ujarnya. Kini, bersama calon suaminya, Aziza mendirikan usaha coffee shop di Jawa Timur.
Namun, di balik cerita sukses itu, terselip satu kepiluan. Jujur, Aziza masih sangat sakit hati dengan mulut pedas tetangganya yang kerap melontarkan gosip-gosip miring dan murahan tentang pekerjaannya.
Kalau bagi dia sendiri, ini tak jadi masalah; tinggal tutup kuping saja, katanya. Sialnya gosip-gosip miring ini juga yang selama bertahun-tahun membuat ibunya overthinking soal pekerjaannya.
“Ya gara-gara kerjanya mandiin lansia, orang sini pada mikir macam-macam. Otak mereka ini kebanyakan nonton film porno, sampai nyebar fitnah cuman berdasarkan asumsi mereka aja. Pakai dibilang makan duit haram lah,” kata Aziza.
“Tapi yang namanya hidup ya. Makin tinggi pohon, makin banyak angin yang nerjang.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kepahitan Kerja di Jepang yang Nggak Pernah Diceritakan Influencer, tapi Masih Lebih Menjanjikan Ketimbang di Indonesia atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.