Gagasan agak kontroversial dilontarkan oleh Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum (Kemenkum) Jawa Timur, yakni memeberikan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) terhadap sound horeg.
Sound horeg adalah karya anak bangsa
Kepala Kanwil Kemenkum Jatim, Haris Sukamto menyebut bahwa sound horeg merupakan karya dan ide anak bangsa. Jika ditilik, peminatnya pun besar di sejumlah wilayah di Jawa Timur.
Oleh karena itu, Haris menyebut pemerintah perlu memberinya apresiasi. Dalam hal ini memberikan HAKI.
Gagasan itu disangsikan oleh beberapa orang. Menimbang, selama ini sound horeg dianggap menganggu kenyamanan.
Selain menimbulkan kebisingan, decibel suara sound horeg kerap kali merusak fasad-fasad—seperti rumah—di lingkungan masyarakat.
“Jadi kalau ini nantinya mengganggu dan sebagainya, mengganggu kenyamanan, mengganggu ketertiban umum, ya nanti tinggal kita bina saja,” begitulah tanggapan Haris dalam keterangan tertulisnya.
“Kalau orang siapapun melarang untuk mewujudkan sebuah ide, itu nggak bisa. Kita apresiasi, kita bina, kita arahkan mana yang terbaik supaya masyarakat juga mendengarkannya juga enak. Jadi horeg-nya dapat, tapi di telinga juga enak,” sambungnya.
Pedang bermata dua jika sound horeg dapat HAKI
Sementara itu, dosen Kajian Media dan Budaya Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Radius Setyawan menilai, memberikan HAKI pada sound horeg bisa menjadi pedang bermata dua.
Mengingat, salah satu keresahan masyarakat terhadap sound horeg adalah volume suaranya yang kelewat keras dan bahkan melewati ambang batas aman pendengaran. Apalagi di lingkungan padat penduduk, hal itu tentu sangat menganggu.
“Bukan berarti sound horeg sepenuhnya negatif. Sebagai ekspresi budaya populer, ia tetap punya nilai artistik dan potensi kreatif,” tutur Radius dalam keterangan tertulisnya.
“Tapi ketika tidak dibarengi dengan edukasi, regulasi, dan sensitivitas sosial, ia bisa menjadi bentuk gangguan sosial alih-alih sarana hiburan,” imbuhnya.
Sosiologi suara
Dalam konteks sosiologi suara, lanjut Radius, suara yang keras bisa mencerminkan pembagian kelas sosial atau nilai-nilai budaya tertentu.
Contohnya soal kelas sosial dan ruang publik. Biasanya, sound horeg sering diputar di acara-acara terbuka atau di lingkungan yang lebih muda.
“Musik keras ini, dalam sosiologi suara, bisa dipandang sebagai bentuk identitas sosial bagi kelompok tertentu, sementara orang lain, terutama yang lebih tua atau konservatif, menganggapnya sebagai gangguan sosial,” jelas Radius.
Sedangkan bagi masyarakat urban yang padat, suara menggelegar dari petunjukan musik itu bisa menciptakan perbedaan pengalaman ruang antar-kelompok. Karena di satu sisi ada kelompok yang menikmati musik tersebut, sementara di sisi lain ada kelompok yang merasa terisolasi atau terganggu oleh kebisingan tersebut.
Harus ada regulasi yang jelas
Radius tak menampik bahwa sound horeg menjadi saluran identitas budaya anak muda, sekaligus contoh bagaimana suara bisa mencerminkan perubahan sosial, serta bagaimana budaya baru berkembang dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi.
Pasalnya, pertunjukan musik menggelegar itu berhasil menggabungkan elemen-elemen musik tradisional dengan teknologi dan gaya hidup kontemporer.
Akan tetapi, jika harus mendapat HAKI, Radius menyarankan agar pihak berwenang melakukan peninjauan lebih cermat terlebih dulu. Terutama sekali, sebelum mengeksekusinya, pihak berwenang harus menyiapkan regulasi yang jelas karena ini kaitannya dengan ketertiban dan kenyamanan publik.
“Jika tidak dikelola dengan baik, perlindungan HAKI bisa mengarah pada monopoli dan menghambat perkembangan karya-karya baru yang terinspirasi dari sound horeg itu sendiri,” tambahnya.
“Maka regulasi yang adil dan transparan diperlukan untuk memastikan bahwa langkah ini tidak merugikan keberagaman budaya dan kreativitas lokal,” pungkasnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Karnaval Sound Horeg Dicap Mengganggu karena Bising, Tapi di Blitar Jadi Sarana Bantu Anak Yatim atau liputan Muchamad Aly Reza lainnya di rubrik Liputan