Sejak Februari 2025 lalu saya mulai tinggal di sebuah kos pasangan suami istri (pasutri) di Ngaglik, Sleman, Jogja. Saya cukup menikmati karena suasana hangat yang terbangun di kos tersebut.
Tetangga kos punya kebiasaan saling berbagi makanan. Itu membuat saya terkesan, meski sekaligus merasa jadi serba tidak enak misalnya saya tidak punya apa-apa untuk dibagi.
Tapi rasanya aman saja karena orang-orang di sekitar saya saling peduli satu sama lain. Tidak hanya soal kebiasaan berbagi makanan, tapi kalau ada situasi tertentu pun mereka selalu mengutamakan nilai gotong royong dan saling tolong.
Berbeda dengan saya, dua narasumber Mojok justru mengungkapkan keresahan mereka terhadap suasana di kos pasutri mereka—sama-sama di Jogja. Sebab, ada banyak hal yang bagi mereka terasa sangat mengganggu.
Tergiur harga miring kos pasutri di Sleman Jogja
Irna (28) asal Bekasi, Jawa Barat. Sudah sejak 2016 dia merantau di Jogja.
Awalnya memang hanya untuk kuliah. Namun, di Jogja dia justru bertemu dengan laki-laki yang kemudian menjadi suaminya.
Mereka menikah pada penghujung 2023 lalu dan langsung menyewa sebuah kos pasutri di Sleman, Jogja. Mengingat, suami Irna sudah bekerja di Jogja. Jadi untuk sementara belum ada opsi untuk meninggalkan kota ini: entah pindah ke Bekasi atau menetap di rumah suami di Banyumas, Jawa Tengah.
“Setelah lamaran, aku stay di Bekasi. Terus suami yang cari-cari info kos pasutri. Nemu. Karena kondisi kosnya cocok, ya sudah ambil. Apalagi harganya miring,” ungkap Irna, Sabtu (17/5/2025) pagi WIB.
Jika merunut informasi di banyak grup Facebook, ada cukup banyak kos pasutri di Sleman yang menawarkan harga miring. Hanya saja, untuk kualitas, memang untung-untungan. Ada yang layak, ada juga yang sekadarnya menyesuaikan harga.
Namun, suami Irna menemukan kos bagus dengan harga miring. Tak mau banyak pilih-pilih, Irna langsung menyetujui.
Penghuni julid kos pasutri di Sleman Jogja
Sapaan hangat langsung diterima Irna dan suami saat pertama kali meninggali kosnya tersebut. Ini Jogja. Warganya memang sudah dikenal sebagai orang-orang yang ramah terhadap siapapun.
Akan tetapi, berminggu-minggu setelahnya, Irna mulai merasa tidak nyaman tinggal di sebuah kos pasuti di Sleman, Jogja, tersebut.
“Tetangga kos suka julid. Hanya karena kami jarang ikut nongkrong mereka,” kata Irna.
Di awal-awal pernikahan itu, Irna memang belum bekerja. Alhasil, hari-harinya lebih banyak berada di kosan.
Nyaris setiap hari Irna mendengar dan menyaksikan ibu-ibu dan mbak-mbak kos meriung di halaman kosan. Bahkan mereka kerap keluar bareng, entah belanja atau jalan-jalan.
“Aku beberapa kali terpaksa ikut karena diajak. Obrolannya ya gitu-gitu aja. Lebih sering gosipin tetangga kos yang nggak pernah ikut nimbrung,” ucap Irna.
Lama-lama dia tak tahan juga. Alhasil, dia sering absen dari perkumpulan para tetangga kosnya tersebut.
Suami Irna pun mengalami hal yang sama. Bapak-bapak dan mas-mas tetangga kos kerap mengajaknya nongkrong kalau malam hari. Sementara Irna tahu belaka, suaminya sudah seharian bekerja. Saat pulang tentu dia ingin punya waktu buat istri.
“Tetangga kos ya tetangga, jangan merasa jadi keluarga”
“Pas kami mulai jarang ikut ngumpul, aku sering lah denger julidan-julidan mereka ke kami. Pokoknya gerak-gerik kami dikomentari. Habis keluar dikomentari, habis beli apa dikomentari. Ya bisik-bisik, tapi aku denger. Bahkan kami sering disindir lewat grup WA kos karena nggak berbaur,” tutur Irna.
Kata Irna, suatu kali saat ikut berbaur, para penghuni sebuah kos pasutri di Sleman, Jogja itu menyebut kalau siapapun yang menghuni kos tersebut harus menganggap satu sama lain sebagai keluarga baru. Karena pada dasarnya para penghuni kos sama: para perantau yang jauh dari keluarga di rumah.
Dengan begitu, menjalin ikatan keluarga baru dengan sesama penghuni kos menjadi sangat penting.
“Bagiku, tetangga kos ya tetangga kos. Nggak lebih dari itu,” tegas Irna. “Dan kita punya kehidupan masing-masing.”
Tetangga kok ngatur-ngatur
Kekesalan itu memuncak menjelang momen Iduladha 2024 lalu. Karena libur panjang, Irna dan suami memutuskan pulang ke Bekasi sehari sebelum Hari Raya Kurban itu.
“Loh mau ke mana?” Tanya seorang tetangga kos.
“Mau mudik, Mbak, ke Bekasi,” jawab Irna.
“Ngapain mudik. Kurban di sini aja, nanti kita bakar daging bareng-bareng.”
Respons itu membuat Irna kesal bukan main. Kok bisa ada tetangga kos yang ngatur-ngatur pilihan hidupnya. Tidak lumrah dan kelewat batas.
Sekembalinya dari Bekasi, Irna dan suaminya lantas memutuskan pindah ke kos pasutri lain di Sleman, Jogja yang lebih nyaman. Harga lebih mahal tidak masalah. Asal para tetangga tahu batas privasi dan keakraban terhadap orang lain.
Membiarkan “hubungan terlarang”
Muhtadin (32) bukan penghuni kos pasutri. Tapi rumahnya berdekatan dengan sebuah kos pasutri di Sleman, Jogja.
Kos tersebut sebenarnya bertuliskan “Kos Pasutri. Sedia Juga Kos Putra dan Putri”. Secara redaksi, maksudnya adalah selain membuka sewa untuk pasutri, kos tersebut juga membuka sewa baik untuk putra maupun putri.
“Ada yang memang pasutri. Tapi lama-lama kok mulai nggak wajar aja,” ungkap Muhtadin.
Misalnya, ada satu kamar yang dihuni oleh sepasang mahasiswa (laki-laki dan perempuan). Pemandangan yang tidak lumrah saja bagi Muhtadin. Mahasiswa sudah tinggal bareng, dugaan terbesarnya tentu saja kumpul kebo.
“Orang mungkin akan bilang, siapa tahu memang sudah nikah. Sudahlah, Mas, di Jogja yang begitu-begitu sudah menjadi rahasia umum,” tegas Muhtadin.
Lalu, sepengamatan Muhtadin juga, ada kamar yang dihuni oleh laki-laki, tapi tiap akhir pekan misalnya, selalu ada perempuan yang menginap. Begitu juga sebaliknya—kos putri tapi penghuni perempuannya kerap menginapkan laki-laki.
Bukan hanya Muhtadin yang meresahkan. Beberapa warga sekitar juga turut meresahkan. Tapi masih sebatas itu. Belum berani memberi teguran secara langsung.
Indekos bebas: ladang cuan
Mojok sudah menayangkan banyak laporan perihal kehidupan kos di Jogja. Baik kos LV maupun kos-kos bebas berkedok kos pasutri.
Keberadaan kos-kos model begitu memang menjadi ladang cuan bagi pemilik kos di Jogja. Peminatnya sangat banyak.
Sekalipun pemilik kos memasang harga tinggi, tapi nyatanya para penyewa rela merogoh sakunya dalam-dalam demi mendapat kos dengan tawaran kebebasan tanpa batas itu.
Keberadaan kos model itu pun sudah banyak diresahkan oleh warga sekitar. Pemerintah setempat juga sudah berusaha mengambil tindakan.
Misalnya yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Jogja. Kepala Seksi Penyidikan Satpol PP Kota Jogja, Ahmad Hidayat mengatakan, pihaknya kerap menerima laporan dari masyarakat tentang keberadaan kos bebas. Aktivitas penghuninya dilaporkan telah melampaui batas: melanggar norma susila.
Hidayat menegaskan, 2025 ini pihaknya akan memberi atensi serius terhadap pengawasan kos-kos bebas. Apalagi sejatinya penyewaan kos bebas melanggar Perda Kota Jogja Nomor.1 tahun 2017. Hanya saja, para pemilik kos cenderung licin dengan menggunakan kedok-kedok tertentu.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Dilema Pemilik Indekos Tertib dan Pemilik Kos LV yang Menolak Tudingan Seks Bebas atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan