Banyak influencer diaspora membagikan pengalaman mereka kerja di Jepang. Baik itu melalui vlog di Youtube, ataupun video-video pendek TikTok.
Kebanyakan dari mereka cuma menunjukkan sisi enaknya saja. Seperti pola kerja yang teratur, rutinitas menyenangkan, lingkungan bersih, dan tentunya gaji yang besar.
Pekerja Indonesia di Jepang rata-rata memperoleh gaji 120.000 yen (Rp12 juta) per bulan. Angka ini setara dua kali lipat UMR Jakarta. Ia belum termasuk tunjangan, asuransi, dan bonus akhir tahun yang nominalnya besar.
Memang, kalau ngomongin gaji, kerja di Jepang bisa bikin cepat kaya. Namun, ada hal-hal “gelap” lain yang tidak diceritakan para influencer tadi.
Aturan tak tertulis yang bikin pekerja kena mental
“Bos-bos di sana itu perfeksionis. Itu kadang yang bikin para pekerja menghadapi tuntutan yang tinggi dan jam kerja yang amat panjang,” kata Edo, eks buruh migran Indonesia (BMI) yang pernah dua tahun mencari nafkah di negeri matahari terbit.
Saat ditemui Mojok, Sabtu (15/2/2025), lelaki asal Sleman ini bercerita mulai kerja di Jepang pada 2017 lalu. Kala itu, Edo menjadi BMI via jalur swasta yang difasilitasi lembaga pelatihan kerja (LPK) di DIY.
“Ada yang jalur negeri, gratis. Tapi seleksinya ketat. Makanya aku pilih swasta, yang meskipun bayar mahal tapi ada jaminan dapat kerja di Jepang,” imbuhnya.
Pendek cerita, setelah melakukan berbagai pelatihan dan seleksi yang melelahkan, Edo pun diterima kerja di sebuah perusahaan jasa pengiriman barang di Prefektur Kanagawa.
Ia dikontrak selama dua tahun dengan upah Rp12,5 juta per bulan. Ini belum termasuk berbagai tunjangan dan bonus.
“Kalau dihitung sama tunjangan dan bonus, bisa sampai 15-20 juta,” jelasnya.
Di perusahaan tersebut, ada banyak buruh migran Indonesia yang sudah terlebih dulu kerja di sana. Dan, satu hal yang diwanti-wanti BMI lain adalah aturan tak tertulis bernama “karoshi”.
“Aku gambarinnya, karoshi tuh begini: kamu dituntut kerja melebihi kapasitas tenaga buat mengejar produktivitas,” kata Edo.
“Kami ‘kan di jasa pengiriman, dituntut cepat dan presisi untuk waktu kerja 8 jam. Nah, selama 8 jam itu, kalau idealnya tenaga kami cuma bisa ngirim katakanlah 30 barang, maka kami dituntut harus ngirim 60 barang, atau malah 100 barang.”
Meninggal karena overload pekerjaan
Ketika saya mengecek ke laman Wikipedia, karoshi memiliki arti “kematian karena terlalu banyak bekerja”.
Edo pun mengamini penerjemahan bebas itu. Setidaknya di tempat kerjanya, ada beberapa kasus pekerja meninggal karena overload pekerjaan.
“Saat ada pekerja meninggal, terutama di mes, perusahaan selalu mengklaim itu karena penyakit bawaannya. Misalnya karena jantung. Tapi nggak dimungkiri juga kan penyakit jantung itu terpicu karena beban kerja yang amat besar,” kata dia.
Dua tahun kerja di Jepang dari 2017-2019, Edo setidaknya menjumpai tiga kali kasus kematian di mesnya. Dua di antaranya adalah orang asli Jepang, sementara yang lain adalah pekerja dari negara asing.
“Alhamdulillah kalau buruh migran Indonesia seperti kami masih bertahan. Stres sih iya, banget malah. Ya itu mengapa aku milih pulang setelah kontrak habis,” ucapnya sambil tertawa.
Budaya kerja di Jepang amat hierarkis
Selain karoshi, ada aturan tak tertulis lain di budaya kerja Jepang yang cukup mengganggu Edo. Salah satunya adalah senioritas yang amat kuat. Dua tahun kerja di Jepang, Edo memahami satu hal: “merit nggak ada di budaya kerjanya, yang ada itu hierarkis, senpai-kohai (senior-junior).”
Bahkan untuk urusan administratif-manajerial, asas “siapa yang lebih tua mendapat privilese” terlihat di tempat kerjanya. Misalnya, dalam hal pemberian bonus bulanan atau tahunan. Pekerja senior bisanya mendapatkan bonus lebih besar ketimbang junior.
“Kami sama-sama kerja dengan jam kerja yang sama. Mereka nggak peduli siapa lebih besar atau kecil beban kerjanya. Ketika ada bonus, pekerja senior bisa mendapatkan sampai 10 ribu yen. Kami yang muda-muda seperempatnya saja nggak.”
Awalnya, Edo berpikir, mungkin saja bonusnya lebih kecil karena latar belakang pendidikannya yang “cuma” sampai SMK. Tapi lama-lama setelah ia cari tahu, ternyata itu persoalan siapa yang lebih tua saja. Dan itu sudah jadi rahasia umum.
Banyak penelitian juga menyebutkan, di Jepang asas senioritas dan budaya feodalisme masih amat kuat. Tak jarang nominal upah seorang pegawai ditentukan lewat usianya, bukan jenjang pendidikan atau hasil kerja.
Kerja di Jepang banyak pahitnya, tapi masih jauh lebih menjanjikan ketimbang di Indonesia
Kendati demikian, Edo mengakui, dalam banyak aspek iklim ketenagakerjaan di Jepang masih “terlalu maju” jika dibanding Indonesia. Di tengah besarnya gelombang #KaburAjaDulu, ia masih merekomendasikan Jepang sebagai negara pelarian–jika orientasinya adalah uang.
“Ngomongin gaji, kerja di Jepang itu amat menjanjikan. Enam bulan pertama, udah bisa nutup utang pinjaman di LPK. Seterusnya bisa nabung buat nikah, beli mobil, atau buka usaha,” jelasnya.
Meski ada borok bernama karoshi, perusahaan di Jepang juga jauh lebih manusiawi ketimbang di Indonesia. Perusahaan cukup aware dalam hal kesejahteraan pekerja–dalam hal ini soal tunjangan dan bonus.
“Artinya kerja di Jepang itu kayak bertaruh aja sih. Tinggal kuat-kuatan, bisa adaptasi sama budayanya apa enggak. Tapi kan di Indonesia juga begitu, cuma upahnya aja yang nggak ngotak kecilnya,” pungkas lelaki yang kini menyibukkan diri dengan bisnis toko sembako sembari trading.
Kalau kamu tertarik kerja di Jepang, ada banyak penyedia pelatihan dan penyaluran BMI di masing-masing daerah. Bidang pekerjaan yang paling banyak diminati antara lain manufakur, caregiver atau perawatan lansia, pertanian, dan pariwisata.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Rp40 Juta Ludes demi Bisa Kerja di Jepang, Sekadar Jadi Tukang Ngecat dan Pasang Genteng atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.