Belakangan, tiap naik kereta api, Dedi (40) selalu terpental ke masa lalu. Ingatan-ingatan masa mudanya saling berkelindan seiring dengan perasaan ingin menyudahi kehidupannya di perantauan demi menghabiskan sisa hidup di kampung halaman. Termasuk di antara kenangan itu adalah: naik kereta api dari Surabaya hingga Jakarta dengan tiket kereta seharga Rp3 ribu saja.
Harapan hidup lebih baik di Jakarta
Saya bertemu Dedi dalam perjalanan arus balik Lebaran pada Senin (7/4/2025). Kami duduk berhadapan di sebuah gerbong KA Pasundan Lebaran rute Surabaya-Kiaracondong.
Dari bertegur sapa, kami lantas berbincang banyak hal. Dedi lebih banyak bercerita perihal perjalanan hidupnya. Saya menyimaknya dengan seksama.
Dari ceritanya, sejak remaja Dedi memang sudah akrab dengan kereta api. Setiap perjalanan merantau ke luar daerah, moda transportasi darat itulah yang selalu dia pakai hingga sekarang.
Sebenarnya tujuan perantauan Dedi beragam. Dari Surabaya, Jogja, hingga Jakarta. Namun, baginya, Jakarta selalu menjadi pilihan utama. Sebab, sejak dulu Jakarta memang menjanjikan iming-iming hidup yang lebih baik. Terutama bagi orang-orang kampung kelas menengah bawah.
“Saya pernah ikut jualan pakaian di Tanah Abang. Pernah juga jadi satpam bank. Setelah itu sempat ke Taiwan, tapi balik lagi ke Jakarta jadi ojol,” ujar pria asal Ponorogo, Jawa Timur itu.
Naik kereta api modal uang Rp3 ribu
Dedi sempat mengalihkan pandangan agak lama ketika ada seorang ibu-ibu cekcok dengan penumpang lain. Persoalannya: si ibu-ibu tidak duduk sesuai nomor tiketnya, tapi mengambil kursi penumpang lain yang harusnya duduk di nomor tersebut.
Kegaduhan kecil itu sampai harus dilerai oleh petugas. Si ibu-ibu jelas saja mendapat teguran agar tertib: minimal duduk sesuai nomor tiket. Tapi entah kenapa, ibu-ibu itu tetap merasa tidak bersalah. Malah ngedumel tak habis-habis.
“Sekarang kereta api makin ketat. Kalau dulu ya, Mas, saya malah lebih ngawur lagi,” ujar Dedi. “Saya modal uang Rp3 ribu buat nebus tiket kereta saja bisa ke tujuan manapun.”
Masa muda Dedi memang penuh kenekatan. Kalau hendak bepergian, dia akan mengukur harga perjarak. Misalnya, dari Madiun (karena Ponorogo tidak ada stasiun, maka Dedi akan naik dari Stasiun Madiun) ke Ngawi berapa ribu rupiah. Nah, harga itulah yang akan dia beli.
Siasat bertahan di kereta api tanpa ketahuan
Kalau mau ke arah Surabaya, Dedi akan mengukur jarak stasiun Madiun ke stasiun terdekat (Kertosono). Kalau mau ke arah Jogja hingga Jakarta, juga berlaku demikian (yang terdekat Ngawi).
Di tahun-tahun sekitar 2006-2007-an, harga tiket Madiun-Ngawi kata Dedi bisa di angka Rp3 ribu. Mentok-mentok dia merogoh biaya tiket sebesar Rp5 ribu. Jika sudah berada di dalam kereta api, sisanya adalah bersiasat mengelabuhi petugas.
“Dulu kan petugas yang ngecek perstasiun beda orang. Jadi setelah dari Ngawi, pas ada pengecekan di Sragen, bilang aja udah dicek sambil nodongin lipatan tiket,” beber Dedi.
“Nanti pas sampai Solo Jebres atau Solo Balapan ya begitu lagi. Aman lagi. Begitu terus siasatnya,” sambungnya.
Berkali-kali Dedi menggunakan siasat tersebut. Anehnya dia selalu bisa lolos dari pengecekan mendetail. Alhasil, uang Rp3 ribu hingga Rp5 ribunya itu selalu bisa mengantarnya ke jarak terjauh sekalipun.
Padahal, ada saja orang dengan siasat yang sama yang ketahuan. Sehingga diturunkan di stasiun berikutnya.
“Dulu itu kan cuma bukti karcis. Nggak ada ketentuan tempat duduk. Jadi bisa nyempil-nyempil,” sambung Dedi.
Moda transportasi ternyaman
Ketika sistem kereta api menjadi lebih ketat seiring waktu, Dedi tentu tidak bisa lagi menggunakan siasat tersebut. Harus tertib sesuai sistem.
Namun, baginya, kereta api adalah moda transportasi ternyaman untuk orang kelas bawah sepertinya. Dia tidak bisa berpaling darinya.
“Ya meskipun kursi ekonomi kita sama-sama tahu ya, sesak dan bikin sakit punggung, tapi ketimbang bus, lebih nyaman,” tutur Dedi. “Jadi ke manapaun, walaupun sekarang nggak bisa bersiasat kayak dulu lagi, ya tetep pakai kereta api.”
“Penomoran kursi duduk juga memudahkan penumpang. Jadi penumpang lebih tahu harus duduk di mana. Nggak kayak dulu asal serobot,” sambungnya.
Hanya memang, masih ada saja orang-orang seperti ibu-ibu yang disinggung di awal tulisan: tidak tertib pada nomor tiket kereta dan suka merebut kursi orang lain.
“Ini juga sih, yang bikin kereta api zaman dulu unik itu karena ada pedagang asongan masuk. Dulu bisa jajan ke mereka. Sekarang jajannya kan ke pihak kereta langsung. Wah tapi mahal, Mas, jadi kalau pergi-pergi sering bawa bekal sendiri,” beber Dedi.
Sembari berbincang, Dedi mengeluarkan kotak makanan yang dia bawa dari Ponorogo. Kotak makan berisi nasi dan ayam gulai yang dia santap dengan lahap bersama putrinya yang duduk di sampingnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pertama Kali Naik Kereta Api Eksekutif: Sok Kaya Berujung Norak dan Malu-maluin, Kena Tegur karena Gondol Selimut KAI atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan