SD Kanisius Duwet, Sleman menjadi Juara I dalam MilkLife Soccer Challenge Yogyakarta 2025 untuk Kelompok Umur (KU) 12. Luar biasanya, tim ini menjadi juara di tengah segala keterbatasan, mulai dari waktu yang sempit untuk membentuk tim, hingga anak-anak yang takut dengan bola.
***
Pertandingan babak pertama antara MIS Al Islamiyah Grojogan, Bantul dan SD Kanisius Duwet hampir berakhir. SDN Kanisius Duwet mendapat sepak pojok. Pemain andalan mereka. Regina Mikaela Lintang lantas mengambil tendangan tersebut.
Bola yang ia tendang memang berhasil dihalau oleh pemain lawan, tapi bola itu justru mendekat padanya.
Lintang menggunakan kaki kanannya untuk mengontrol bola yang datang, dari sudut yang tergolong sempit ia menendang bola dengan keras menggunakan kaki kirinya ke bagian tengah gawang. Goool! Sorak sorai pendukung SDN Kanisius Duwet 1 bergemuruh di tribun penonton.
Di babak kedua, MIS Al Islamiyah yang datang dengan status sebagai juara bertahan terus menggempur pertahanan SD Kanisius Duwet yang dijaga oleh Lintang dan kawan-kawannya. Sampak akhir babak kedua, SD Kanisius Duwet berhasil mempertahankan kemenangannya. Memperbaiki prestasi di tahun sebelumnya yang hanya sampai di babak 32 besar.

Baru siap dua minggu sebelum pertandingan
Pencapaian dari tim KU 12 SD Kanisius Duwet ini terbilang luar biasa. Saat masuk di 16 besar, saya ngobrol dengan dua orang yang saya pikir pelatih tim ini, ternyata bukan. Dua orang ini saya lihat dari hari pertama MLSC Yogyakarta memang mendampingi tim SD Kanisius Duwet. Dari tepi lapangan dua laki-laki ini terlihat memberikan arahan kepada pemain-pemainnya.
“Saya Septedy Asgar, di sini sebenarnya jadi official, aslinya saya guru Bahasa Inggris di SD Kanisius Duwet,” kata pria bertubuh kecil memperkenalkan diri.
Satu lainnya mengenalkan diri sebagai Aji, lengkapnya, Laurentius Novena Aji dia di sekolah yang sama juga lebih sebagai guru Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). “Modal kami karena sama-sama main futsal, dari zaman sekolah sampai sekolah,” kata Aji.
Menurut keduanya, aslinya guru olahraga di sekolah merekalah yang membentuk tim sepak bola, hanya karena lain sesuatu dan lain hal, merekalah yang kemudian berada di lapangan.
“Kami lolos sampai 8 besar saja nggak membayangkan, Mas. Tim terbentuk itu efektif dua minggu sebelum pertandingan, sparring sekali langsung tanding,” katanya.
Tahun lalu mereka memang ikut MLSC, tapi sebagian besar sudah lulus. Hanya ada tiga orang dari alumni MLSC tahun lalu yang tergabung dalam tim. Lainnya, mencari dadakan. Mereka membantu guru olahraga, Bu Dini untuk mencari pemain di sekolah.

Berawal dari anak-anak yang takut bola
Sosok yang disebut Aji dan Teddy, saya temui di tribun penonton saat pertandingan semifinal. Nama lengkapnya, Dini Bharata Siwi (27). Ia mengakui pembentukan tim terbilang mendadak karena memang tidak ada kegiatan rutin sepak bola di sekolah tempatnya bekerja. Hanya ada tiga pemain di tahun sebelumnya yang ikut MLSC.
Proses pembentukan tim pun dimulai dengan sederhana. Bu Dini mendatangi para siswa satu per satu, menanyakan apakah mereka mau bermain sepak bola. “Pertama ditanyakan mereka mau atau nggak, yang mau kita kumpulkan,” kata Dini.
Anak-anak yang mau bermain sepak bola itu rata-rata karena tertarik melihat teman-teman cowok mereka bermain sepak bola di halaman sekolah, terutama saat jam istirahat dan pelajaran olahraga.
Namun, aslinya mereka sebenarnya takut dengan bola. Hanya dua orang yang tidak takut bola, Regina Mikaela Lintang Putri dan Agatha Dewi atau Tata.
Regina Mikaela Lintang Putri (12) jelas tidak takut dengan bola. Tahun lalu, meski timnya berhenti di babak awal, ia terpilih untuk bermain di MLSC All-Stars DIY di Kudus Januari 2025. Bahkan ia terpilih untuk Junior Soccer School and League (JSSL) Singapore 7’s 2025 pada April 2025 lalu, mewakili Indonesia dan menjadi runner-up.
Sedang, Tata (12) juga tidak takut bola karena aslinya dia rutin ikut bola voli. Oleh ayahnya ia didukung untuk ikut tim sekolah mengarungi MLSC. “Yang tidak takut bola itu awalnya cuma saya dan Lintang. Tapi, kan nggak mungkin Lintang jadi kiper, nanti siapa yang penyerangnya,” kata Tata saat saya temui usai timnya masuk final.
Ia kemudian berlatih menjadi kiper. Menurutnya nggak kesulitan. “Cuma ia harus berlatih langkahnya ke kanan ke kiri,” katanya.

Latihan dasar sepak bola jelang bertanding
Pengalaman Lintang ini jadi motivasi sekaligus tempat belajar teman-temannya. Tetapi, hal itu belum cukup. Dini lantas mengundang pelatih sepak bola, Maryana untuk melatih teknik dasar sepak bola seperti latihan menendang, menggiring, mengoper, menyundul, menghentikan bola hingga merebut bola.
Sekitar dua minggu sekali, anak-anak berlatih sepak bola. Jelang pertandingan, mereka melakukan sekali pertandingan uji coba dengan SD lain. Ini jadi modal mereka mengarungi kompetisi MLSC.
Bu Dini lantas menyerahkan tim yang ia bentuk untuk mengarungi kompetisi MLSC kepada dua guru TIK dan Bahasa Inggris, Tedy dan Aji. Dua orang penggila sepak bola dan futsal ini lantas meramu tim.
“Saya ubah komposisi, awalnya saat latihan Lintang itu posisinya striker, saya ubah jadi pemain belakang, mengingat kondisi tim yang tidak merata secara kemampuan,” kata Teddy.
Keduanya menerapkan ilmu futsalnya untuk melatih anak-anak. Dengan jumlah pemain 7 lawan 7, ia menempatkan Lintang di belakang untuk menghalau serangan dari pemain MIS Al Islamiyah, Grojogan yang secara kemampuan tim lebih merata.
Peran orang tua SD Kanisius Duwet
Saat pertandingan final, saya kebetulan berada di tribun yang ditempati oleh orang tua siswi SD Kanisius Duwet. Posisi mereka berada dalam tribun yang sama dengan pendukung tim lawan. Bermodalkan balon tepuk mereka tak lelah bernyanyi dan meneriakan yel-yel mendukung anak tercinta. Pendukung lawan, juga tak kalah ramai karena menggunakan drum bass dan megaphone.
Uniknya, tidak jarang pendukung SD Kanisius Duwet menggunakan ritme suara tetabuhan lawan jadi pengiring lagu yang mereka nyanyikan. Tidak semuanya lagu tentang sepak bola. Bahkan lagu Dalam Yesus Kita Bersaudara lebih sering terdengar. Sudah seperti paduan suara di gereja saja, sampai-sampai saya ikut menyanyikannya.

Usai pertandingan, Coach Timo yang berada tak jauh dari tempat itu bahkan ngomong ke mereka. “Hei, kalian nggak ke gereja ya hari ini,?” katanya berseloroh.
“Habis ke gereja langsung ke sini coach!” kata salah satunya dengan tertawa.
“Akhirnya, jadi juara! Nggak nyangka dan nggak sia-sia kami mendukung,” kata Ambrusia Purwanita (42) ibu dari Mikaela Lintang, usai pertandingan. Suporter yang sebagian besar ibu-ibu itu saling berpelukan.
Berharap ada ekstrakurikuler sepak bola di SD Kanisius Duwet
Nita berharap, semoga prestasi SD Kanisius Duwet dan Lintang yang jadi pemain terbaik di MLSC Yogyakarta 2025 ini jadi inspirasi adik-adiknya. Ini mengingat, tahun ini adalah tahun terakhir, Lintang ikut MLSC karena sudah lulus dari SD Kanisius.
“Semoga jadi inspirasi bagi adik-adik kelasnya untuk ikut sepak bola putri, apalagi gurunya juga mendukung untuk diadakan ekstrakurikuler sepak bola putri di sekolah. Harapannya bisa berkelanjutan,” ujarnya.
Harapan serupa diungkapkan oleh Edran (45) orang tua Tata. Tahun ini merupakan tahun terakhir anaknya ikut MLSC. “Tahun ini anak saya lulus. Harapannya harus ada kegiatan ekstra sepak bola, jangan berhenti sampai sini saja,” katanya.
Setelah menjadi juara, baik Dini, Tedi, dan Aji dan orang tua menagih janji sekolah untuk melahirkan ekstrakurikuler sepak bola atau minimal futsal agar bakat anak-anak terus berkembang dan memunculkan Lintang-lintang baru.

MilkLife Soccer Challenge untuk masa depan sepak bola putri Indonesia
MilkLife Soccer Challenge Yogyakarta 2025 menampilkan SD Kanisius Duwet sebagai juara untuk KU 12, sedangkan untuk KU 10 SDN Ungaran menjadi yang terbaik.
Turnamen sepak bola putri usia dini yang diinisiasi oleh Bakti Olahraga Djarum Foundation dan MilkLife tersebut kian meningkat dari seri ke seri. Hal ini terbukti pada penyelenggaraan MilkLife Soccer Challenge – Yogyakarta 2025 yang berlangsung di Stadion Tridadi dan Lapangan Sidomoyo Sleman pada Rabu (18/6) hingga Minggu (22/6).
Tak kurang dari 1.315 siswi dari 70 Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Sekolah Dasar (SD) di Yogyakarta unjuk kebolehan mengolah ‘si kulit bundar’. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan dengan penyelenggaraan seri pertama pada bulan Juli 2024 yang diikuti oleh 452 siswi dari 24 MI dan SD. Lalu jumlah tersebut melonjak pesat hingga tiga kali lipat pada seri kedua di bulan Oktober tahun lalu yang mencatatkan 1.203 siswi dari 113 MI dan SD.
Program Director Bakti Olahraga Djarum Foundation, Yoppy Rosimin mengatakan penyelenggaraan MilkLife Soccer Challenge – Yogyakarta 2025 merupakan komitmen Djarum Foundation dan MilkLife untuk terus memupuk pertumbuhan ekosistem sepak bola putri dari level akar rumput. Untuk meningkatkan kualitas talenta pesepakbola putri muda, sejumlah inovasi dan penyesuaian diterapkan, salah satunya waktu penyelenggaraan turnamen yang selaras dengan kalender akademik.
“Setelah kami melakukan evaluasi, penyelenggaraan MilkLife Soccer Challenge akan lebih tepat jika mengikuti kalender akademik, karena perkembangan para atlet belia bisa semakin terstruktur sesuai jenjang usianya. Untuk itu, mulai akhir Juli nanti, kami akan menggelar MilkLife Soccer Challenge 2025-2026, yang akan menyasar sepuluh kota di Indonesia,” tutur Yoppy.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Melodi Indah di Lapangan Hijau: Kisah Guru Musik di Balik Kesuksesan Tim Sepak Bola Putri di Jogja, Underdog MLSC 2025 atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
.