Di Pati, Jawa Tengah, di antara tolok ukur kesuksesan seseorang adalah dari apakah mampu membli mobil pribadi atau tidak. Kalau sudah bisa beli, maka langsung dianggap sukses karena butuh uang besar untuk memulangkan kendaraan roda empat tersebut. Setidaknya begitulah yang diungkapkan oleh narasumber Mojok.
Akan tetapi, hidup memang tidak bisa terus-menerus menuruti gengsi. Niat hati beli mobil pribadi untuk pamer ke tetangga malah berujung repot sendiri.
Mobil pribadi jadi harga diri orang Pati
Syafi’i (28) awalnya hanya bekerja serabutan. Baik di Pati sendiri maupun di kota-kota lain seperti Semarang. Paling sering menjadi kuli bangunan.
Dari situ saja sebenarnya sudah cukup untuk hidup. Akan tetapi, di Pati, itu saja tidak cukup. Uang hasil kerja harus bisa diwujudkan dalam bentuk benda-benda bergengsi. Mobil pribadi salah satunya.
“Aku kesel saja. Karena kalau ada anak muda bisa beli mobil dari hasil kerjanya, langsung dibangga-banggakan di kampung. Jadi tolok ukur pemuda sukses,” tutur Syafi’i, Minggu (15/6/2025).
Tak tahan dengan situasi seperti itu, pada 2017 dia akhirnya memutuskan merantau ke Malaysia. Berkaca dari kebanyakan tetangganya, kalau sudah ke Malaysia, biasanya pulang-pulang langsung beli ini-itu: tanah lah, motor baru lah, bahkan mobil pribadi.
Mobil pribadi terbeli langsung pamer ke tetangga
Satu tahun setengah di Malaysia, Syafi’i berhasil mengumpulkan uang yang akhirnya bisa dia gunakan untuk membeli mobil pribadi pada penghujung 2018. Bukan mobil baru memang, tapi bekas. Tapi setidaknya resmi, bukan bodong.
“Jujur saja. Niat awalnya memang buat pamer saja ke tetangga yang kekehan cangkem (banyak omong),” kata Syafi’i.
Selama pulang ke rumah, Syafi’i sengaja jarang pergi-pergi pakai motor. Sekalipun hanya main ke rumah sendiri atau ke luar desa yang sebenarnya tidak jauh-jauh amat.
Tujuannya memang, satu, untuk menunjukkan ke orang-orang kalau dia sudah sukses karena sudah bisa beli mobil pribadi sendiri. Dua, untuk manas-manasi orang yang suka mencibirnya tapi nyatanya tak kunjung “sukses”.
Syafi’i mengaku benar-benar puas dengan hal-hal yang dia lakukan itu. Apalagi, setelah punya mobil sendiri, ada saja ibu-ibu yang punya anak gadis menggoda-goda Syafi’i.
Entah dengan cara samar seperti menyinggung, “Anakku loh belum nikah-nikah. Padahal di Pati nggak kurang-kurang laki-laki mapan.” Atau bahkan secara terang-terangan, “Kamu mau nggak jadi menantuku?”, dengan nada bercanda tapi serius pada tawarannya.
Baca halaman selanjutnya…
Malah jadi repot sendiri hingga berujung dijual lagi