Tak semua orang Klaten pernah naik KRL Jogja-Solo. Pengalaman pertama naik KRL, malah berujung malu-maluin karena tak paham konsep kursi prioritas hingga salah turun stasiun.
***
Sejak KRL Jogja-Solo mulai beroperasi pada 2021, hiruk pikuk kehidupan di Klaten makin ramai. Lalu lalang kereta listrik yang membawa ribuan penumpang tiap jamnya, melintas di jalanan negeri seribu embung itu. Bahkan, kalau kata warga yang tinggal di sana, getaran relnya terasa sampai ke rumah.
Meskipun tiap hari dilintasi, Adit (23), salah satu warga kota itu, sama sekali belum pernah menjajal KRL. Alasannya sederhana: karena ia merasa Klaten ini sudah pas di tengah-tengah, antara Jogja dan Solo.
“Jadi kalau mau ke Solo atau ke Jogja, tinggal motoran aja. Cepet,” kata mahasiswa yang berasal dari Kecamatan Tulung yang ngekos di Jogja, Minggu (7/5/2025).
Adit mengakui, teman-temannya yang tinggal di Jogja atau Solo sudah sering bercerita betapa nikmat dan praktisnya naik KRL. Setidaknya kalau dibanding motoran, ia lebih cepat, murah, aman, dan nggak perlu panas-panasan atau macet-macetan.
“Nggak tahu aja, lebih senang motoran karena bisa mampir-mampir,” ungkapnya.
Malas naik KRL karena stasiun terdekat jaraknya jauh
Selain lebih suka motoran, ada alasan lain yang bikin Adit malas naik KRL Jogja-Solo. Salah satunya, karena stasiun terdekat dari rumahnya jaraknya cukup jauh.
Sebagai informasi, KRL rute Jogja-Solo memiliki 13 stasiun pemberhentian. Dari titik pertama di Stasiun Tugu, berakhir di Stasiun Palur, Solo.
Dari total 13 stasiun ini, enam di antaranya berada di Klaten. Yakni Brambanan, Srowot, Klaten, Ceper, Delanggu, dan Gawok.
Stasiun KRL terdekat dari rumah Adit adalah Stasiun Delanggu. Kendati demikian, jaraknya sekitar 15-20 menit perjalanan.
“Jadi udah malas duluan,” kata Adit. “Belum lagi kalau kudu nunggu keretanya. Soalnya setahuku kereta lewat tiap satu jam.”
Gaya-gayaan naik KRL, pesan tiket saja tidak bisa
Sampai suatu hari pada 2024, Adit ada keperluan mendesak yang membuatnya harus pulang ke rumah. Kebetulan motornya sedang rewel. Alhasil, untuk pulang dari kosnya yang berada di Jogja, ia harus meminjam motor teman kos.
Sialnya, teman kos yang akrab sedang ada di luar kota. Sementara penghuni lain tidak begitu akrab, sehingga ada rasa sungkan buat meminjam motor.
Akhirnya, ia pun memutuskan buat naik KRL Jogja-Solo saja. Toh, perjalanan tidak sampai satu jam sampai Stasiun Delanggu. Dari pemberhentian terakhir itu nanti, rencananya ia minta dijemput.
“Masalahnya karena itu pengalaman pertama naik KRL, buat sekadar pesan tiket saja aku bingung. Tanya teman-teman, jawabannya nggak jelas. Suruh pakai kartu, pakai Gopay, macem-macem lah,” ujarnya.
Karena bingung dengan jawaban teman-temannya, ia pun memutuskan untuk membuka Google. Karena dirasa menjadi opsi paling praktis, ia pun memutuskan pesan tiket KRL Jogja-Solo dari aplikasi Gojek.
Kaget, suasana dalam KRL se-chaos itu
Sesampainya di Stasiun Maguwo, Adit celingukan. Sebab, suasana sore itu cukup sepi–tak seramai yang kerap dibilang teman-temannya.
Namun, begitu kereta api tiba, ia kembali kaget sebab dari luar jendela sudah terlihat para penumpang yang saling berdesakan. Ia menuju pintu yang terbuka. Tiap kali hendak masuk, ia urungkan lagi karena gerbong sudah full.
“Kaget banget ternyata dempet-dempetan parah. Kayak sarden,” kata dia, kaget.
Memang, ia pernah dengar kalau KRL Jogja-Solo memang selalu penuh. Namun, ia tak menyangka kalau penuhnya bakal separah yang ia alami.
“Buat geser dikit atau gerak dikit aja susah, soalnya sudah langsung senggolan sama orang lain. Saking penuhnya.”
Malu karena ingin bayar kursi prioritas dan salah turun stasiun
Dari Stasiun Maguwo, KRL Jogja-Solo itu membawanya ke arah Klaten. Stasiun demi stasiun dilintasi. Namun, kepadatan penumpang seolah tak berubah.
“Ada yang turun mungkin itungannya ada 100 orang turun, eh, 150 orang lagi yang masuk.”
Bukannya makin longgar, gerbong itu malah makin padat. Sesampainya di Stasiun Klaten, karena tak biasa berdiri lama, kaki Adit mulai kelelahan.
Sampai akhirnya, ketika ada petugas KRL lewat, dengan sadar ia bertanya berapa harga tambahan yang kudu dibayar untuk bisa duduk di kursi prioritas. Awalnya, ia mengira kursi prioritas diperuntukkan bagi penumpang yang membayar lebih.
“Malu banget, kelihatan nggak pernah naik KRL. Dijawab kalau kursi prioritas itu khusus lansia sama ibu hamil,” ujarnya, mengingat jawaban petugas.
Adit sangat malu, karena adegan itu disaksikan banyak orang. Dalam situasi tersebut, dalam kepalanya ia ingin segera turun. Entah karena salah hitungan atau sudah telanjur malu, ia malah turun di stasiun berikutnya, yakni Stasiun Ceper. Padahal, seharusnya ia turun di dua stasiun berikutnya.
Alhasil, ia pun mengaku kelabakan. Sebab, saudaranya yang diminta menjemput sudah menunggu di Stasiun Delanggu.
Kalau menunggu KRL Jogja-Solo berikutnya, akan sangat lama, kira-kira sejam lagi baru melintas. Tapi kalau harus menyuruh saudaranya menjemput ke stasiun itu, ia tidak enak karena lokasinya cukup jauh.
“Akhirnya aku ngalah, naik Gojek dari Ceper ke Delanggu,” kata dia. “Sumpah itu pengalaman biasa aja, tapi rasa malunya gede banget waktu itu. Sampai sekarang, kalau aku naik KRL, kejadian itu kayak baru kemarin,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Coba-coba Naik KA Airlangga Jakarta-Surabaya: Bahagia Tiketnya Cuma Seharga 2 Porsi Pecel Lele, tapi Berujung Tak Tega sama Penumpangnya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.