Membaca cerita konyol Ashad saat pertama kali naik kereta api eksekutif dalam tulisan “Pertama Kali Naik Kereta Api Eksekutif: Sok Kaya Berujung Norak dan Malu-maluin, Kena Tegur karena Gondol Selimut KAI”, ingatan Syafri (26) lantas terlempar pada momen konyol saat pertama kali dia menginap di sebuah hotel di Malang.
Bagi orang-orang kelas bawah—yang jarang bersentuhan dengan kemewahan—pengalaman pertama kali menyentuh hal-hal yang sebelumnya jauh dari jamahan memang kerap memicu peristiwa konyol.
Sayapun demikian. Mall adalah fasad yang awalnya jauh dari ruang hidup saya. Sampai akhirnya untuk pertama kali saya mencicipinya kala merantau di Surabaya pada 2017. Saya sudah beberapa kali menuliskannya di Mojok. Salah satunya dalam tulisan ini “Jogja City Mall Bikin Orang yang Biasanya Cuma Ngemal di Royal Plaza Surabaya Mumet dan Terlihat Kampungan”.
Untuk saat ini, mari kita menyimak cerita konyol Syafri saat pertama kali menginap di sebuah hotel di Malang.
Asing dengan aplikasi pesan penginapan
Syafri berasal dari sebuah desa nun di pelosok Tulungagung, Jawa Timur. Dia memang akhirnya kuliah dan bekerja di Surabaya. Sebuah kota metropolitan dengan gemerlap gedung tinggi dan gemilang kemewahan.
Tapi menginap di hotel adalah sesuatu yang masih tak terjangkau bagi Syafri. Situasi tidurnya berkutat pada kamar kos, kamar kayu di rumahnya, dan kalau toh sedang bepergian ke luar daerah—misalnya untuk mendaki gunung atau mengikuti acara tertentu—pasti dia lebih memilih ngemper di manapun.
“Pokoknya asal bisa merebahkan badan tanpa harus keluar uang,” ujarnya, Selasa (20/5/2025) malam WIB.
Itulah kenapa Syafri mengaku sangat asing dengan beragam aplikasi pesan penginapan. Sekalipun iklannya sering berseliweran di ponselnya.
“Aplikasi pesan-pesan yang kupunya ya ojol, KAI Access,” tuturnya.
Sensasi menjajal kasur empuk dan kamar ber-AC di sebuah hotel di Malang
Pada 2022 lalu, karena urusan pekerjaan, Syafri akhirnya menginap di sebuah hotel di Malang. Syafri tentu saja tidak bisa menyembunyikan rasa bungahnya.
Apalagi dia tidak perlu repot-repot pesan sendiri. Semua sudah diurus oleh pihak kantor. Dia tinggal datang ke alamat hotel yang dipesan, lalu tinggal konfirmasi ke resepsionis. Beres.
“Pas lihat kasur segede gitu kan, wah langsung aku rebahan dan gelesotan. Ternyata empuk sekali. Selama ini aku tidurnya kan yang atos-atos. Tidur di lantai, kasur tipis, di rumah pun kasurku juga bukan kasur empuk,” bebernya.
Syafri tidak tahu bintang berapakah hotel di Malang yang dia inapi itu. Tapi yang jelas, meski hanya sesaat, Syafri merasa akhirnya bisa merasakan tidur ala orang kaya. Tidur di kasur empuk dengan TV besar dan kamar ber-AC.
“Beda misalnya di kosku di Surabaya. Kipas nyala di angka 3 nggak ngefek saking panasnya kota itu,” kata Syafrie.
Bisa mandi air hangat setiap saat tanpa repot merebus air
Syafri tentu tahu bahwa di dunia ini ada teknologi untuk mandi bernama shower. Tapi secara fungsional, dia belum pernah merasakan sensasi mandi dengan alat itu.
Di rumah, dia mandi di bak mandi dari semen. Sementara di kos, dia mandi di ember hasil menadah keran. Maka, momen mandi di shower membayar kekosongannya atas alat itu.
“Yang baru kutahu juga, ternyata bisa ngatur mau mandi air dingin atau air hangat. Ya jelas air hangat lah. Rasanya kayak terapi,” tutur Syafri.
Dia membayangkan, betapa enaknya jika punya rumah yang kamar mandinya memiliki shower seperti di hotel. Bisa mandi air hangat kapan saja tanpa repot-repot merebus air terlebih dulu.
Sebab, tiap pulang ke Tulungagung dan merasa air di bak mandinya terasa dingin menusuk, Syafri biasanya harus merebus air dulu untuk mandi air hangat. Sangat repot. Tidak efisien.
Bergaya ala orang kaya
Sebenarnya, karena sudah familiar dengan nuansa metropolitan Surabaya, Syafri tidak terlalu kaget dengan aneka jenis sarapan di hotel. Hanya memang ada beberapa menu yang kalau tidak karena subsidi, rasa-rasanya Syafri akan sulit untuk mencicipi.
Misalnya, bisa makan daging-dagingan, roti, sereal, dan buah-buahan dalam sekali waktu. Sementara kalau kehidupannya di kos, prioritasnya adalah makan kenyang dan murah dua kali sehari. Paling sering tentu saja pecel, soto lamongan, atau menu-menu warteg dan warung sederhana Gresikan.
“Pagi-pagi, duduk santai di kolam renang hotel, jancok lah, begini ya rasanya hidup orang-orang kaya seperti di film-film,” seloroh Syafri.
Bingung cara buka pintu kamar di hotel Malang
Di sela-sela upaya Syafri menikmati POV menjadi orang kaya yang menginap di hotel, ada dua hal konyol yang kalau diingat-ingat membuat dia suka tersipu sendiri.
Pertama, persoalan membuka pintu. Ketika baru tiba di hotel dan mengonfirmasi di resepsionis, seorang petugas hotel mengantarnya ke kamar yang dipesan.
Berbekal sebuah kartu, petugas hotel lalu membukakan kamar Syafri dan menjelaskan beberapa fasilitas di dalamnya, sebelum akhirnya menyerahkan kartu tersebut pada Syafri.
Sialnya, Syafri tidak terlalu memerhatikan cara penggunaan kartu tersebut. Alhasil, ketika dia keluar kamar dan hendak masuk ke kamar yang dalam posisi terkunci, dia kebingungan.
“Kalau lihat di film-film kan kartu ini digesek ke alat di pintu. Aku nggak bisa-bisa, cok. Kugesek berkali-kali nggak bisa. Pintu nggak kebuka,” akunya.
Kepalang bingung, Syafri lantas meminta bantuan ke seorang petugas bersih-bersih yang melintas. Ternyata Syafri yang salah cara. Kartu tersebut sedianya cukup ditempelkan saja ke sebuah alat di bawah gagang pintu. Lalu alat itu akan mengakses kode kunci dari si kartu, dan pintupun akan terbuka.
Saya sendiri punya pengalaman yang sama persis. Kira-kira pada pertengahan 2024 lalu saat sedang bertugas di Blora, Jawa Tengah. Karena tidak memerhatikan cara membuka pintu dengan kartu, saya sempat kebingungan sampai akhirnya meminta teman di kamar lain untuk membantu membuka.
Duh, malunya minta ampun. Kayak ndeso sekali. Tapi memang itu menjadi pengalaman pertama saya nginep di sebuah hotel. Itupun masih hotel bintang 1.
Tanya cara checkout di internet
Hal konyol lain yang Syafri ingat adalah ketika hendak checkout. Dia diberitahu pihak kantor pada hari apa dan pukul berapa dia harus berkemas.
Masalahnya, dia masih bertanya-tanya: bagaimana sebenarnya sistem checkout itu? Apakah sama seperti saat hendak menginap: ke resepsionis lalu mengonfirmasi?
Syafri nyaris bertanya pada teman atau petugas hotel. Tapi peristiwa pintu membuatnya berkomitmen untuk jangan sampai malu-maluin diri sendiri lagi.
“Solusinya tanya Google. Ternyata mirip waktu baru mau nginep (maksudnya checkin),” ucapnya.
Pengalaman pertama yang konyol memang. Tapi pasca kejadian itu, dia merasa memiliki pengalaman dan pengetahuan berharga. Orang mungkin menyebutnya sepele. Tapi yang sepele-sepele itu justru yang kadang bikin kesandung-sandung.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Sulitnya Jadi Pekerja Hotel, Menghadapi Baby Boomers yang Mesum atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan