Suka tidak suka, Jogja dikenal sebagai kota pariwisata favorit para turis. Namun, suka tidak suka juga, pariwisata menjadi bom waktu yang mengancam kehidupan warga aslinya.
“Tourisme kill the City. Pariwisata membunuh Kota Jogja. Sulit buat dibantah,” kata Aceng, yang meminta namanya buat disamarkan, pada akhir 2024 lalu.
Aceng merupakan warga asli Jogja yang tergabung dalam Lamidet Society atau LSYK, sebuah kolektif sub-suporter yang aktif dalam gerakan perlawanan atas pembangunan yang berketidakadilan di Jogja. Khususnya pariwisata, yang bagi Aceng dan kawan-kawannya, dipandang lebih banyak mudharat-nya.
“Kami tak membenci pariwisata, apalagi benci Jogja. Kami hanya mengkritik kebijakan pemerintah yang sama sekali tak memihak warga lokal. Overtourism salah satunya.”
Pariwisata maju, tapi warganya miskin
Libur Nataru kemarin adalah penyadaran bagi Aceng. Jogja semakin ramai diserbu wisatawan. Gelombang kendaraan plat luar kota yang masuk Jogja memadati jalanan hingga bikin kemacetan tak karuan panjangnya.
Menukil data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) DIY pada Senin (3/2/2025), jumlah wisatawan dalam negeri yang berkunjung ke DIY sepanjang 2024 mencapai 38,03 juta perjalanan.
Jumlah itu merupakan yang tertinggi dalam enam tahun terakhir. Ia bahkan mengalami peningkatan signifikan sebesar 24,95 persen dari tahun sebelumnya.
Catatan yang sama juga menunjukkan tingkat okupansi hotel berbintang pada Desember 2024 sebesar 70,24 persen, sementara hotel nonbintang sebesar 31,28 persen.
“Tapi, kami dapat apa. Cuma dapat macetnya. Pemasukan? Ya larinya ke pejabat-pejabat, warga asli seperti kami dapat remahan saja,” tegas Aceng.
Ironisnya, meski menjadi jujugan wisata favorit, Jogja didaulat sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa, menurut data BPS pada Maret 2024. Jumlah penduduk miskin di Jogja mencapai 445.550 orang.
Pariwisata Jogja malah bikin warganya terasing
Bagi Aceng, ironi tersebut adalah bukti bagaimana klaim “pariwisata menjadi mata uang di Jogja” adalah mitos. Di balik ingar-bingar pariwisata, kemiskinan dan kesenjangan masih mengintip dari rumah-rumah sempit warga aslinya.
“Pertanyaan kemudian, siapa yang akhirnya diuntungkan? Rakyat kecil? Nggak ada. Tetap yang tambah kaya hanyalah yang punya kuasa,” ungkap Aceng.
Mojok sendiri juga pernah menulis cerita Fandi, pemuda asli Jogja yang resah dengan pariwisata Jogja. Ceritanya dapat dibaca dalam liputan “Mereka yang Memilih Menyingkir dari Keramaian Jogja saat Libur Nataru”.
Dalam tulisan tersebut, sebagai warga asli Jogja, Fandi membantah beberapa mitos berkaitan pariwisata Jogja. Sebagai misal, klaim bahwa “tsunami wisatawan bakal menguntungkan UMKM lokal”.
Baginya, klaim ini cuma pepesan kosong. Sebab, ibunya yang merupakan pengusaha UMKM, belum pernah yang namanya ketiban durian runtuh saat Jogja ramai diserbu wisatawan.
“Pertama, harus dilihat dulu UMKM yang banyak itu apakah punya orang asli Jogja. Apakah yang punya usaha menyerap tenaga kerja orang asli sini? Kan nggak, kebanyakan orang asing,” kata Fandi, saat berbincang dengan Mojok, Jumat (27/12/2024) lalu.
“Lantas, siapa yang diuntungkan? Orang luar dan pejabat. Kami jadi penonton saja.”
Kebijakan yang tak menyasar kesejahteraan rakyat
Ada penjelasan masuk akal mengapa di balik gemerlap pariwisata Jogja, nyatanya masih banyak warga miskin yang–kalau mengutip kata Fandi–cuma jadi penonton.
Menurut Kepala Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM, Mohamad Yusuf, ini terjadi karena model kebijakan pariwisata yang diterapkan oleh Pemda DIY itu sendiri.
Misalnya, seperti yang dijelaskan Yusuf, orientasi pemda cuma memandang pariwisata sekadar untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
“Padahal, PAD tidak berhubungan langsung dengan pengentasan kemiskinan,” kata dosen Departemen Antropologi FIB UGM ini.
Selain itu, Yusuf juga memandang bahwa warga lokal jarang dilibatkan. Paling kentara di Malioboro, pusat pariwisata DIY itu, yang malah warga lokalnya jarang melakukan aktivitas perekonomian di sana.
“Bahkan, pemilik hotel dan restoran di DIY pun sebagian besar bukan warga lokal. Ini yang disebut dengan leakage in tourism, kebocoran pariwisata. Keuntungan ekonomi malah ke luar Jogja.”
Yusuf juga menilai bahwa faktor lain juga karena geliat desa wisata di Jogja masih terpusat pada kalangan elite. Alhasil, warga lokal yang mendapat keuntungan dari desa wisata pun dapat dihitung jari.
Pariwisata Jogja mengancam sumber air warga
Pada Senin (20/1/2025) lalu, Mojok juga memuat liputan berjudul “Jogja Krisis Air, Pemerintah Malah Bikin Proyek yang Menghambat Sumber Air”. Liputan ini memberi unjuk bahwa Jogja tengah mengalami krisis air.
Hal ini disampaikan langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X melalu sambutannya dalam acara penanaman 1.000 pohon langka di Nawang Jagad, Sleman.
“Kami sudah tidak mungkin lagi untuk bisa mendapatkan air dari Merapi, kecuali yang berada di sebelah timur yang sekarang masih berfungsi,” ucap Sultan, mengakui sejak erupsi Gunung Merapi 2010 lalu, ketersediaan air dari lereng semakin menipis.
Sementara peneliti Lingkar Keadilan Ruang, Toto Sudiarjo, menyebut bahwa krisis air di lereng Merapi terjadi akibat praktik pertambangan ilegal untuk material batu dan pasir yang masih masif.
“Kondisi ini memperparah kekeringan di Jogja dari tahun ke tahun,” jelas Toto.
Krisis air di lereng Merapi memperparah krisis yang sebelumnya sudah terjadi di daerah lain, seperti Gunungkidul. Toto menjelaskan, pembangunan untuk percepatan proyek 10 Bali Baru di Jogja telah merusak daerah resapan air di Gunungkidul. Telaga-telaga alami yang dikelilingi bukit karst dan pohon-pohon penyimpan air, banyak yang dibongkar untuk pembangunan jalan raya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Ironi Jogja, Kota Gudeg yang Kekurangan Bahan Baku Gudeg atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.