Pengalaman pertama naik bus ekonomi malah menyisakan trauma. Maklum, bagi orang berduit, bus ekonomi adalah sengeri-ngerinya moda transportasi.
Seumur-umur, baru pada 2018 Nata (26) menjajal naik bus ekonomi untuk rute Surabaya-Jepara. Dan itu menjadi momen pertama sekaligus terakhir baginya merasakan sensasi naik transportasi untuk kalangan menengah bawah tersebut.
Hidup nyaman dengan mobil pribadi
Jangankan bus, kereta api saja menjadi transportasi umum yang nyaris tidak tersentuh bagi Nata dan keluarganya.
Sejak kecil Nata mengaku sudah hidup nyaman dengan mobil pribadi. Bahkan sejak SMA dia sudah dilepas orangtuanya untuk mengendarai mobil sendiri. Jadi, ke mana-mana—ke luar daerah sekalipun—Nata lebih sering menggunakan mobil pribadinya.
“Kalau kereta pernah ekonomi. Beberapa kali eksekutif. Karena ekonomi, walaupun murah, tapi nggak nyaman karena rasanya sesak. Kalau eksekutif kan lega dan nyaman,” tuturnya kepada Mojok, Rabu (11/6/2025) malam WIB.
Terpaksa naik bus ekonomi demi liburan ke pantai indah
Masa kuliah di Surabaya, Nata yang asli Surabaya memiliki seorang teman dekat asal Jepara, Jawa Tengah.
Pada libur panjang 2018, Nata entah kenapa sedang sangat ingin liburan ke Jepara. Kalau tidak ke Karimunjawa, setidaknya masih bisa menikmati pantai di Jepara yang konon indah-indah.
Ada tiga orang yang berangkat. Nata, temannya yang asli Jepara, dan satu temannya lagi.
Sebelum menentukan hari keberangkatan, Nata mencoba memastikan kepada temannya: Surabaya-Jepara bisakah ditempuh dengan kereta api? Teman Nata tertawa mendengar pertanyaan itu. Karena memang tidak ada kereta api yang melintasi Jepara. Pilihannya hanya bus.
Nata hanya bisa menelan ludah. Tapi karena dia memang sedang niat liburan ke Jepara, dia ngikut saja jika memang satu-satunya pilihan yang bisa dipakai adalah bus.
“Buat pengalaman juga kan. Coba-coba naik bus ekonomi,” ucap Nata. Saat itu, teman Nata mengajak Nata untuk menjajal naik bus ekonomi dengan pertimbangan lebih murah.
Jadi “norak” di Terminal Bungurasih
Orang berduit juga bisa norak. Begitu yang Nata alami saat hendak naik bus ekonomi di Terminal Bungurasih.
“Kalau kata temenku, gaya pakaianku terlalu kece untuk ukuran penumpang bus. Kemaja, dilapisi jaket. Pakai sepatu bagus. Awalnya aku nganggep, ya itu standar pakaianku buat bepergian jauh. Tapi aku baru paham kalau salah pakaian waktu sudah di dalam bus,” kata Nata.
Karena penampilan yang begitu mencolok, tak ayal jika Nata didekati banyak calo di Terminal Bungurasih.
Nata kelewat parno. Di kepalanya, terminal identik dengan copet atau rampok. Oleh karena itu, saat ada seorang calo mendekat untuk menanyakan tujuan, Nata refleks memindahkan tasnya dari punggung untuk didekap di depan.
Hal itu ternyata memicu amarah si calo. Si calo merasa tersinggung: Cuma mau tanya tujuan, tapi seperti dikira mau merampok. Makian “Jancok” dan “Asu” pun harus Nata terima.
“Ya untungnya ada temenku yang sudah biasa di Terminal Bungurasih. Jadi pokoknya aku ngikut dia aja. Kalau aku sendiri di terminal, kayaknya udah habis lah aku. Nggak tahu apa-apa. Bingung juga kalau ngadepin calo. Keburu gemeter duluan,” ucapnya.
Pengamen galak dan pengamen melas
Nata sebenarnya sudah tahu belaka, bus ekonomi pasti identik dengan pengamen. Namun, yang tidak dia bayangkan, ternyata ada sangat banyak pengamen yang keluar-masuk bus.
Nata kaget betul ketika seorang pengamen tiba-tiba ngedumel kepadanya, hanya karena Nata melengos saat si pengamen menyodorkan bungkus permen untuk meminta recehan.
“Cok, cek sombonge. Lek gak menehi, omong wae, Mas. Gak usah melengos ngunu (Cok, sombong sekali. Kalau nggak ngasih, bilang aja, Mas. Jangan melengos begitu),” begitu ujar si pengamen.
Padahal, niat Nata melengos adalah tanda kalau dia tidak punya recehan. Sementara kalau kata temannya, cara lebih baik adalah dengan menodongkan tangan kanan sembari menunduk sedikit sebagai tanda menolak memberi secara halus.
Kata teman Nata, jangankan melengos. Sudah pakai SOP menolak halus saja kadang masih kena semprot sama pengamen kok. Karena ada tipikal pengamen yang kalau sudah menodongkan bungkus permeh, berarti harus dikasih recehan.
“Aku tersentuh pas lihat ternyata ada pengamen anak-anak, pengamen perempuan, dan pengeman-pengamen yang perawakannya melas. Ternyata jalanan sekeras itu. Selama ini, aku nggak nemu itu di kereta api,” ujar Nata.
Tersiksa batin dan raga selama di bus ekonomi
Perjalanan Surabaya-Gresik awalnya terasa biasa saja bagi Nata. Tapi setelahnya, dia merasa benar-benar tersiksa batin dan raga.
“Raga tersiksa karena ternyata panas banget. Sumuk. Salah pakaian sih aku. Pakai jaket dan kemeja. Nggak ada AC-nya pula kan,” tutur Nata.
Sementara batinnya juga tersiksa karena dia dikungkung keparnoan: Bagaimana jika tas mereka diobok-obok orang, lalu dompet dan HP hilang?
Nata melihat temannya bisa tidur dengan pulas. Sementara dia susah payah menahan kanuk sambil terus mendekap tasnya. Sebab, jika semua tertidur dan lengah, pencopet bisa beraksi kapan saja.
Padahal, kata teman Nata, tidak perlu khawatir berlebihan. Sebab, nyaris tidak pernah ada kasus kecopetan di bus-bus jalur pantura. Yang ada adalah potensi kecelakaan. Malah makin ngeri lagi.
“Benar-benar ugal-ugalan. Aku berulang kali tahan napas. Seperti naik roller coaster,” imbuh pemuda kota itu.
Menahan kencing berjam-jam
Sejak masuk Rembang, Nata sebenarnya sudah kebelet kencing. Sialnya, tidak ada toilet di dalam bus ekonomi. Sementara perjalanan masih beberapa jam lagi.
Maka, pilihannya hanya satu: Menahan kencing sampai nanti bus benar-benar sampai tujuan.
Bayangan itu sempat menjadi mimpi buruk bagi Nata. Dia tidak tahu bakal bisa menahan seberapa lama lagi, karena rasanya sudah di pucuk.
“Aku sampai kepikiran buat kencing di botol,” akunya.
Untungnya, bus ekonomi yang dia tumpangi sempat berhenti beberapa saat di Kudus. Para penumpang dipersilakan untuk ke toilet jika ingin buang hajat.
Nata pun berlari tunggang-langgang. Pertama, berlari biar segera sampai ke toilet. Kedua, berlari buru-buru ke bus agar tidak tertinggal. Mengingat, bedanya dengan kereta, kernet bus tidak memberi perkiraan berapa lama bus akan berhenti.
Ingin pulang lewat Semarang
Gara-gara itu, seusai berlibur di Jepara, Nata sempat usul bagaimana kalau balik Surabaya lewat Semarang saja. Biar bisa naik kereta api.
Tapi kata teman Nata, rute itu malah terkesan berputar-putar. Nggak efisien. Alhasil, Nata pun mau tak mau harus mengulangi kesengsaraan yang sama sebagaimana saat dia berangkat sebelumnya.
“Cukup itu saja, jadi pertama dan terakhir. Aku nyerah kalau harus bepergian pakai bus ekonomi,” tutup Nata.
“Kalau bus patas atau sleeper bus?” Tanya saya. Nata dengan tegas menolak jenis bus apapun. Bahkan yang menawarkan kenyamanan seperti sleeper sekalipun.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Orang Desa Pertama Kali Naik Kereta Api Ekonomi: Banyak Gaya karena Bosan Naik Bus Ekonomi, Berujung Nelangsa Beli Nasgor di KAI atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan