Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi salah satu instansi yang terimbas adanya efisiensi anggaran oleh negara. Namun, mereka tak menyerah untuk menggelar “Jogja Film Pitch & Fund” 2025. Kepala Dinas Kebudayaan DIY Dian Lakshmi Pratiwi menyebut kemungkinan hanya ada 3 besar film pendek yang akan terpilih tahun ini.
Jumlah tersebut makin sedikit dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2023 misalnya. Dari 15 proposal yang masuk tahap pitching, terjadi proses One On One Metting di mana para peserta mempresentasikan karyanya hingga terpilih 10 proposal. Selanjutnya, tim kurator akan memilih 5 film pendek yang bagus dan layak untuk mendapatkan pendanaan dari Dinas Kebudayaan DIY.
Tahun berikutnya, Dinas Kebudayaan DIY hanya memberi kuota 4 film pendek terpilih dari 34 proposal. Sedangkan, di tahun ini kompetisinya semakin ketat karena hanya ada 3 film pendek yang terpilih karena efisiensi anggaran.
“Mohon maaf karena efisiensi tahun 2025 ini, 3 besar nanti yang akan lolos pendanaan,” ucap Dian di Grand Kangen Hotel, Jogja pada Kamis (24/4/2025).
“Memang ada keterbatasan pendanaan dengan kemampuan anggaran yang kami siapkan Rp180 juta untuk pembuatan film,” lanjutnya.
Ekosistem film Jogja adalah tanggungjawab bersama
Menurut Dian, adanya efisiensi anggaran seharusnya justru memotivasi para filmmaker maupun komunitas untuk meningkatkan kemandirian. Ia menegaskan ekosistem perfilman akan tumbuh dengan baik berkat tanggungjawab bersama antara pemerintah dan para budayawan.
Justru dengan adanya tantangan tersebut, Dian berharap para pekerja seni dapat menjaga daya berkreasi dan energi mereka untuk menciptakan suatu karya.
“Malah buktinya sekarang kami sudah menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) perfilman di DPRD DIY. Nah waktu inilah yang kemudian bisa kita refleksikan. Apa sih sebenarnya yang dibutuhkan dalam ekosistem perfilman? Sehingga bisa menguatkan antara sistem dan regulasi,” ujarnya.
Dengan begitu, perizinan film jadi lebih mudah, serta kolaborasinya pun jadi semakin cair. Sejauh ini, kata Dian, instansinya telah membantu menciptakan ekosistem film dengan menggelar diskusi seputar film atau festival seperti film pelajar, film dokumenter, Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), hingga pendanaan seperti program Jogja Film Pitch & Fund.
“Yang perlu dimaknai adalah ketika efisiensi mengakibatkan pengurangan jumlah film terpilih menjadi tiga, tapi ruang yang lain justru lebih terbuka. Jadi istilahnya kalau rezeki itu tidak ada yang tertutup, yang lain masih buka,” ucap Dian.
Indonesia gelap tak menghambat komunitas film
Jogja Film Pitch & Fund sendiri sudah diadakan sejak tahun 2015. Program dari Dinas Kebudayaan DIY ini seolah menjadi angin segar bagi para filmmaker dan komunitas film di Jogja di tengah upaya mereka membangun industri perfilman.
Perwakilan Kurator Jogja Film Pitch & Fund, Dwi Sujanti Nugraheni bercerita industri perfilman itu berjalan tanpa ada suntikan dana sama sekali sejak tahun 2000-an. Setelah 14 tahun berjalan, baru ada pitching setengah tertutup.
“Jadi bayangin, selama hampir 14 tahun itu kami kudu ngadek dewe (harus berdiri sendiri), tapi syukurnya Jogja itu modal sosialnya masih besar banget untuk membuat film, bahkan filmnya bisa sampai ke festival internasional,” ujar Dwi.
Dari rentang kurun waktu tersebut hingga sekarang, ia menyebut sudah ada banyak alumni Jogja yang berada di industri film. Oleh karena itu, Dwi berharap adanya efisiensi maupun kondisi Indonesia gelap sekalipun, justru tak meredupkan semangat filmmaker untuk berkarya.
“Saya pikir kondisi ini justru menguatkan modal sosial kita lagi, sebab sampai hari ini modal sosial tersebut masih kuat di Jogja dan belum terkalahkan oleh tempat-tempat lain,” ucapnya.
“Saya masih optimis, mau ada duit atau nggak ada duit dari pemerintah, kami masih bisa lanjut. Dan biasanya, ketika ada masa sulit itu justru lahir karya-karya yang bagus,” lanjutnya.
Kualitas film di Jogja makin terjamin
Dwi juga berharap para filmmaker lebih peka terhadap karya yang mereka akan hasilkan. Misalnya, pesan dalam film yang ingin disampaikan hingga suatu hari Jogja menghasilkan signature atau ciri khas. “Oh ini film Jogja,” katanya.
Senada dengan Dwi, Kepala Dinas Kebudayaan DIY Dian Lakshmi Pratiwi mengatakan semakin kecil kuota yang terpilih untuk pendanaan, maka ia membayangkan betapa ketatnya proses kurasi. Itu menandakan juga bahwa film pendek yang terpilih memiliki kualitas yang terjamin.
“Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka itu akan semakin mendorong kemampuan eksplorasi, mencoba meningkatkan segala hal, sehingga bisa kita bayangkan ke depan kualitas itu semakin meningkat justru dengan adanya efisiensi,” ucapnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: 4 Film Pendek Karya Seniman Lokal yang Lolos Jogja Film Pitch & Fund 2024, Mulai dari Dokumenter hingga Fiksi Satir atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.