Hani (25) menatap layar ponselnya dengan seksama. Guru honorer lulusan UNY ini membaca secara teliti pengumuman Tunjangan Hari Raya (THR) yang bakal diterima para pegawai di sekolah tempatnya mengajar.
“Belum ada hilal. Mungkin masih sama kayak tahun lalu,” ujar Hani, Kamis (13/3/2025) sore, dengan nada penuh kekecewaan.
Lebaran 2024 kemarin, secara teknis dirinya tak memperoleh THR. Dari yang ia dengar, alasannya karena statusnya yang cuma honorer dan baru mengajar beberapa bulan.
Makanya, kepala sekolah memberinya amplop berisi uang Rp100 ribu. Kalimat sang kepala sekolah masih membekas di kepalanya, “anggap saja ini THR kamu.”
Sementara tahun ini, belum ada kabar apakah guru honorer ini bakal menerima THR atau tidak. Namun, ia sudah merasa pesimis. Kalau pun dapat, palingan jumlahnya tidak banyak.
“Upah bulananku saja cuma Rp300 ribu. Kebayang ‘kan, berapa THR-ku kalau dapat?,” kata perempuan lulusan UNY ini.
Bagi lulusan UNY ini, menjadi guru adalah “amanah” orang tua
Hani sadar betul dengan kesulitan yang ia hadapi hari ini. Menjadi guru honorer, yang cuma digaji Rp300 ribu sebulan, mengharuskannya cari kerja sampingan sana-sini buat mencukupi segala kebutuhan.
Tak terhitung lagi ada berapa side job yang ia kerjakan. Termasuk mengajar les privat siswa, ikut proyek penelitian, sampai menjadi talent foto make up artist (MUA) teman-temannya.
“Dibilang cukup sih ya nggak. Baru sampai di level mendingan,” ungkapnya.
Kendati sulit, sejak awal Hani memang mantap menjadi guru. Makanya, ketika mendaftar kuliah, ia mengincar salah satu prodi keguruan di UNY dan lolos pada 2017 lalu.
Boleh dibilang, ia bukan satu-satunya orang yang bahagia dengan berita kelolosannya di UNY. Kedua orang tuanya, kata Hani, jelas lebih bahagia.
“Sejak kecil, orang tua memang ingin aku jadi guru. Satu keluarga hanya aku yang kuliah dan jadi [guru], makanya ada kebanggan tersendiri,” ujar anak terakhir dari tiga bersaudara ini.
“Ibuku meninggal beberapa bulan sebelum aku wisuda. Beliau nggak bisa melihat aku jadi guru. Tapi amanah tetap amanah, semoga ibu melihat dari atas sana,” kata lulusan UNY ini.
Bagi warga desa, guru adalah profesi paling mulia
Perempuan lulusan UNY itu mengingat pesan ibunya yang bikin dia mantap menjadi seorang guru. Bagi sang ibu, guru adalah profesi mulia. Sebab, ia punya tanggung jawab “menata” generasi.
Tak sampai di situ. Guru memang memang masih dipandang sebagai profesi mentereng bagi masyarakat desa. Banyak studi memperlihatkan, di desa-desa ada dua profesi yang bikin seseorang dihormati, yakni menjadi guru dan pegawai pemerintahan.
Bagi masyarakat desa, untuk bisa menjadi guru, maka seseorang harus kuliah–sesuatu yang dianggap privilese di sana. Pendeknya, tak sembarangan orang bisa mendapatkannya.
Ditambah, dari masa ke masa citra guru memang harum. Apalagi, ketidaktahuan masyarakat desa yang kerap melihat guru hanya dari “guru-yang-PNS” saja. Sehingga, profesi ini dianggap mumpuni secara ekonomi.
Temuan ini juga diperkuat oleh survei Varkey Foundation pada 2018 lalu. Skor indeks profesi guru mencapai 62,1 persen, menjadi yang paling tinggi di antara profesi lain.
Hani pun mengaku fenomena ini juga terjadi di desanya. Menurutnya, bagi orang desa, profesi dikatakan terhormat apabila seseorang dipanggil “Pak” atau “Bu” dengan logat kromo alus.
“Nah, orang-orang desa, kalau mengobrol sama guru, terlepas tua atau muda usianya pasti pakai ‘Pak’ atau ‘Bu’ dan basa [bahasa Jawa halus],” kata lulusan UNY ini. “Makanya, di desa, guru itu terhormat banget.”
Lulusan UNY ini “dibanting” oleh kenyataan pedih
Kendati demikian, apa yang menjadi ekspektasi orang tua dan warga desa 180 derajat dari yang ia rasakan hari ini. Hani sadar betul, nasib guru jauh dari kata sejahtera.
“Guru honorer itu kalau mau dibikin piramida kesejahteraan, nah, kami paling bawah. Jumlahnya besar, tapi nggak ada yang sejahtera. Susah buat mencapai puncak,” jelas Hani.
Perempuan lulusan UNY ini mengaku “dibanting-banting” oleh kenyataan pedih. Cita-cita mulia orang tuanya, ditambah besarnya pengorbanan mereka, serasa sia-sia kalau dihadapkan situasi yang dialaminya hari ini.
“Kuliah di UNY, keluar duit tiga juta per semester, bapak dan ibu kudu utang sana-sini buat membayarnya. Dan, apa? Mendapat upah layak pun tidak,” katanya.
Bagi Hani, para guru honorer yang senasib dengannya tak menuntut hal yang sifatnya muluk-muluk. Minimal nasib mereka lebih diperhatikan.
“Kami nggak minta gaji puluhan juta atau fasilitas muluk lainnya. Cuma mau upah layak saja. Menggaji menteri dan stafsus yang kita nggak tahu kerjanya ngapain aja dengan puluhan juta, negara mampu. Tapi menggaji guru secara layak pun tidak mampu.”
Dibunuh ekspektasi
Kini, Hani pun menyadari kalau dirinya memang telah “dibunuh” ekspektasi orang tua dan warga desa. Dengan mata berkaca-kaca, lulusan UNY ini mengaku lelah.
“Lelah dengan ekspektasi. Kami diharapkan menjadi orang yang bisa mengajar, mencerdaskan banyak anak, ini dan itu, tapi nggak ada yang melihat kalau urusan perut kami saja belum selesai,” jelasnya.
Ia pun mengaku tak tahu sampai kapan harus bertahan. Pikirannya terbelah: tetap menjalankan amanah almarhum ibunya tapi nasib menderita, atau mengkhianati wasiat itu tapi bisa hidup lebih baik.
“Suatu saat mungkin aku akan kalah juga. Karena sekarang rasanya sudah ‘dibunuh’ secara perlahan,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Bagi Lulusan UNY, Kerja Sampingan jadi Guru Les Privat Lebih Menjanjikan: 10 Kali Upah Honorer atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.