Motor plat AG menjadi salah satu motor yang sangat mudah dijumpai di Surabaya maupun Malang. Karena memang banyak orang dari rumpun plat AG (Kediri, Blitar, Nganjuk, Trenggalek, dan Tulungagung) yang merantau ke dua kota tersebut. Entah untuk kuliah, atau juga bekerja.
Selama tujuh tahun merantau di Surabaya, satu kalipun saya tidak pernah mendengar selentingan miring perihal pengendara motor plat AG di Surabaya. Karena mereka memang cenderung nggak neko-neko.
Selentingan miring lebih banyak menyasar plat M, plat N, dan plat P. Di tulisan lain, saya akan coba jelaskan apa duduk perkaranya.
Hanya saja, pengendara motor plat AG merasa tidak nyaman dengan perlakuan orang-orang di Malang maupun Surabaya.
Pengendara motor Plat AG kerap diledek karena logat
Keresahan itu salah satunya disampaikan oleh Asror (26), pemuda asal Kandangan, Kediri, yang sejak 2022 lalu merantau ke Surabaya untuk bekerja, setelah sebelumnya menuntaskan pendidikan tinggi di Malang.
“Nggak di Malang, nggak di Surabaya, ledekan ke orang-orang yang bawa motor plat AG itu sama: soal logat dan kosakata,” ungkap Asror saat saya wawancara bersamaan dengan wawancara perihal keresahan orang daerah Kandangan, Kediri, belum lama ini.
Logat rumpun plat AG bagi sebagian orang memang terdengar unik. Ditambah lagi sejumlah kosakata yang terdengar lucu, misalnya “peh”, “biyoh”, “panggah”.
Belum lagi ungkapan hiperbolis khas pengendara motor plat AG. Misalnya, untuk mengungkapkan lama yang lama banget, mereka menggunakan kata “Souwe”. Sementara, misalnya di Surabaya, orang-orang biasanya cukup menggunakan kata “Suwe” (untuk menekankan lama banget, paling ya “Suwe tenan”).
Belum lagi soal logat. Logat orang-orang rumpun plat AG dianggap lebih medok. Apalagi kalau melafalkan bahasa Indonesia. Alhasil, bagi sebagian orang di Surabaya, terdengar lucu.
Ledekan di Malang lebih parah ketimbang Surabaya
“Jadi waktu kuliah dulu di Malang, pas tahu aku dari Kediri, ada saja mahasiswa yang bilang, ‘Puehhh! Dari Kediri, to?’. Lalu kalau ada kosakata yang bagi mereka asing, langsung mereka ulang-ulang, ‘Istilah apa itu, Cok?!’, begitu tanya mereka meledek,” ujar Asror.
Saat di Surabaya pun sering dapat gojlokan soal logat. Namun, bagi Asror, tingkat keparahannya lebih parah di Malang ketimbang Surabaya.
Kalau di Surabaya, kata Asror, cenderung hanya meledek bagian logat dan kosakata. Paling mentok orang-orang mencoba menirukan dengan gestur wajah dijelek-jelekkan dan diikuti derai tawa.
Sementara di Malang, kosakata khas para pengendara motor plat AG bisa berubah menjadi nama julukan. Asror mengaku kerap dipanggil teman-temannya dengan panggilan “Peh”. Misalnya, “Halo, Peh, dari mana kamu?”. Atau, “Peh, ngopi yok”.
Baca halaman selanjutnya…
Yang tidak orang lihat tentang orang-orang plat AG